(catatan menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)
“Kopi Amstirdam bukan kopi dari kota amsterdam, mbak. Melainkan kopi dari daerah sini, lah wong amstirdam itu singkatan dari; ampelgading, sumber manjing, tirtoyudo, dampit. Bahan baku kopinya ya dari petani-petani di empat kecamatan itu, tapi tetap saja, yang punya usahanya bukan petani. Sepertinya punya asing.”
------------------------
Pohon-pohon kopi itu jangkung, begitu juga lembaran daunnya lebar dan mengkilap. Sangat berbeda jauh dari pohon kopi pada umumnya yang saya temukan dua hari sebelumnya di kawasan lereng ijen, kecil-pendek dengan daunnya yang juga berukuran lebih kecil. Secara kasat mata, perbedaan fisik itu dengan mudah menjadi penanda perbedaan kebun kopi arabika dengan robusta. Yaa, Ampelgading adalah satu dari beberapa kecamatan penghasil kopi di malang selatan, terutama kopi jenis robusta. Untuk mencapai Ampelgading, dari kota Malang butuh waktu sekitar satu jam.
Minum kopi di rumah petani kopi
Pagi itu udara terasa segar, wangi bunga kopi begitu kuat meruap di sekitar jalan kampung. Wanginya terperangkap di dalam mobil kijang tua yang saya tumpangi. Mobil tua itu milik cak luthfi, teman dari malang yang pagi itu menemani saya dan beberapa teman lain, ke kebun kopi Ampelgading. Tujuan perjalanan kami hanya satu, menuju rumah pak abdul rahman, petani kopi. Fauzan, anak laki-laki pak abdul rahman yang masih kuliah dikota malang turut serta bersama kami.
Pak abdul rahman sedang berada dikebun ketika kami tiba di rumahnya. Sambil menunggu Fuazan menjemput abahnya, kami menikmati suguhan kopi panas. Meskipun manisnya gula pada kopi seduhan itu cukup menggigit seperti pada umumnya kopi ala orang jawa, tapi saya masih menemukan citarasa kopi dibalik rasa manis itu. Rasa dan aroma pahit khas kopi robusta berbaur dengan aroma dan pahit akibat proses penyangraian yang lama. Seperti itu memang pada umumnya petani kopi dan masyarakat di sekitar kebun kopi mengolah kopinya. Mereka lebih suka menyangrai kopi hingga berwarna hitam pekat. Teman saya nanya, gimana kopinya, mantab…? Kata saya pertanyaanya itu sulit, jawabannya relatif, karena sangat personal. Bagi saya ya nikmat-nikmat saja tuh. Karena saat meminumnya saya bisa sambil menciumi aroma kembang kopi, bisa melihat biji-bijinya yang hijau dan merah dari teras rumah pak abdul rahman, juga bisa ngobrol dengan petani kopinya. Jadi.., ya terasa nikmat saja.
Dampit, sentra pengepulan kopi malang selatan
Pak abdul rahman orang yang sangat semangat jika berbicara tetang kopi. Ketika berbicara tetang tata niaga kopi, beliau paham bagaimana sesungguhnya posisi petani. Salah satu yang saya tangkap dari pembicaraannya adalah lemahnya daya tawar petani kopi ketika menjual biji-biji kopi hasil panennya. Satu-satunya tempat penyaluran biji kopi dari petani yang paling mudah dijangkau ya ke pengepul di pasar dampit. Dampit adalah salah satu kecamatan dimalang selatan yang juga menghasilkan kopi. Sudah sejak lama, dampit dijadikan sebagai pusat pengepulan komoditas pertanian dari beberapa kecamatan di malang selatan. Pemerintah Hindia Belandalah yang awalnya membuka sentra penampungan berbagai komoditas pertanian di dampit, untuk memudahkan sistem dagang mereka saat itu. Bahkan hingga kini di sekitar pasar dampit masih ditemukan beberapa bangunan tua bekas gudang penyimpanan komoditas dagang kalonial belanda.
Jadi, dari dulu, sejarah kopi di Malang Selatan, tak ubahnya seperti sejarah keberadaan kopi di daerah-daerah lain di Indonesia. Tumbuh di perkebunan-perkebunan dibawah kendali pemerintah hindia Belanda, untuk menggenjot produksi, memenuhi kebutuhan kopi di pasar eropa. Petani yang bertanam tak pernah terlibat dalam urusan tata niaga. Bahkan menanamnya pun semula karena terpaksa. Kata pak abdul rahman, dari dulu, sejak jaman penjajahan, pertanian Indonesia memang sudah dikuasai asing. Hingga saat ini pun masih terjadi, termasuk untuk kopi. Salah satu contohnya adalah kopi amstirdam, yang kabarnya berasal dari Malang. “KopiAmstirdam bukan kopi dari kota amsterdam, mbak. Melainkan kopi dari daerah sini, lah wong amstirdam itu singkatan dari; ampelgading, sumber manjing, tirtoyudo, dampit. Bahan baku kopinya ya dari petani-petani di empat kecamatan itu, tapi tetap saja, yang punya usahanya bukan petani. Sepertinya punya asing.” Hmm.., saya tidak tahu persis kata “asing” yang disebut pak abdul rahman maksudnya apa. Apakah negara asing, atau orang asing, atau orang-orang di luar petani dari empat kecamatan itu. Tapi saya memang tergelitik ketika satu kali mencari informasi lewat internet tentang kopi amstirdam yang dikenal sebagai penghasil kopi luwak. Kabarnya sih diproses oleh petani, tata niaganya dibawah salah satu perusahaan dagang di Singosari, Malang. Tetapi perusahaan itu memiliki kantor cabang di Canada (?).
Kegenitan Dinas Perkebunan dan Lembaga Penelitian
Bagi saya, ada lagi hal menarik yang jadi sorotan pak abdul rahman di tengah perbincangan kami. Soal kegenitan pemerintah, terutama dinas perkebunan dan lembaga-lembaga penelitian yang suka melakukan ujicoba perkawinan varietas kopi di kebun-kebun milik petani. Ada yang menghasilkan buah kopi lebih banyak, tapi tidak sedikit juga yang justru lebih banyak membuahkan masalah. Tidak jarang varietas baru hasil kawinan itu mengundang hama dan penyakit baru pada tanaman kopi yang tidak mampu diselesaikan oleh dinas perkebunan dan lembaga-lembaga penelitian tersebut. Pak abdul rahman mengajak saya melihat beberapa pohon kopi hasil persilangan, juga penyakit tanaman kopi yang belum mampu dijawab solusinya. Penyakit itu meninggalkan biji-biji kopi yang menghitam dan kering, seperti gosong.
Tentang tanah yang mesti diolah
Sambil berjalan kembali menuju kerumah pak abdul rahman, kami berbincang tentang tanah. Perbincangan itu membawa kembali ingatan saya tentang Pak Gani di Kayumas, Situbondo. Pak Gani dengan lahan kebun kopinya yang luas, sekitar 20 hektar, dan pak abdul rahman dengan luas kebun kopi sekitar 2 hektar. Keduanya adalah petani kopi turun temurun. Keduanya punya sikap yang sama ketika bicara tentang tanah. Bahwa tanah adalah modal utama bagi petani. Tidak akan tergantikan dengan nilai uang berapapun. Karena manfaatnya dirasakan sepanjang kehidupan. Maka, mereka dengan tegas mengatakan tidak akan menjual tanahnya. Lalu, ketika saya bertanya, siapa nanti yang akan meneruskan bertani…? Pak abdul rahman tidak menjawab dengan lugas, hanya memberi senyuman sambil melihat ke Fauzan, anaknya yang kuliah di kota Malang. Tentu itu menjadi isyarat, yang semoga juga dimengerti oleh Fauzan.
Menjelang pamit, saya memberikan Pak abdul rahman dua bungkus kecil kopi arabika yang saya bawa dari kayumas. Sebungkus kopi masih berupa biji mentah (greenbeans), sebungkusnya lagi biji yang sudah matang, hasil penyangraian di rumah nanang, teman saya yang di situbondo. Lama pak abdul rahman memperhatikan biji kopi yang saya berikan sambil membandingkan dengan biji kopi sisa penjualan mereka ke pasar dampit. Beliau berbincangsejenak dengan istrinya tentang selisih harga biji kopi hasil sortiran seperti yang saya bawa dari Kayumas dengan biji kopi yang tidak disortir. Sebelumnya beliau memang bertanya pada saya, berapa selisih harga biji kopi arabika yangsudah disortir dengan yang belum di tangan para pedagang kopi. Saya memberikan informasi sepengetahuan saya saja. Tapi yang jelas, harganya berbeda jauh sekali dengan harga biji kopi jika dijual ke pengepul. “Itulah, pengepul itu tidak mau membedakan harga kopi hasil sortir dengan biji kopi kualitas campur, makanya petani kopi di sini tidak pernah melakukan proses penyortiran sebelum menjual biji kopinya” begitu pak abdul rahman menjelaskan. Iya Pak abdul rahman, pengepul pada umumnya begitu. Karena mereka tahu, jika itu dilakukan, mereka tidak bisa mengambil keuntungan lebih besar, keuntungan itu akan menjadi miliki si petani kopi. Itu sebabnya sebagian pengepul justru mengambil untung dari selisih harga kopi berdasarkan kualitas, yang didapat dengan membedakan kopi sortir dengan campur, dan mereka melakukan penyortiran sendiri. Kecuali petani kopi memang sudah punya jaringan pemasaran sendiri langsung ke pengguna kopi, tidak melalui pengepul.
Pak abdul rahman memberikan saya sebungkus biji kopi robusta yang masih mentah (greenbeans), sebelumnya dia dan istrinya menyortir sebagian dengan mengeluarkan beberapa biji kopi yang tampak tidak utuh. Kata saya, tidak usah disortir. Biar saya bawa apa adanya, nanti saya sortir sendiri, sekalian melatih kesabaran memilah satu persatu biji-biji kopi.
Silaturahmi ke rumah dan kebun kopi pak abdul rahman di ampelgading, malang selatan adalah perjalanan terakhir saya melakukan peziarahan ke kebun-kebun kopi kali ini. Tentu tidak akan mampu memotret beragam kekayaan kopi nusantara. Perjalanan ini hanya silaturahmi, sambil belajar merasakan apa yang dirasakan petani. Meraba apa yang tampak di kebun-kebun kopi, mencium aroma jejak masa lalu pada kebun-kebun kopi tua dan melihat apa yang ditinggalkannya bagi generasi saat ini.
Terimakasih yang teramat dalam untuk teman-teman yang menyertai di penggalan perjalanan. Terimakasih untuk teman-teman di Malang, cak luthfi dan kawan-kawan. Semoga kegelisahan yang memuncah selepas diskusi dengan pak abdul rahman menemukan penyalurannya. Membangun satu pengelolaan kopi dari hulu ke hilir, dengan pasar alternatif, melepas jerat pasar mainstream.
---------- selesai -----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar