Kamis, 11 Juli 2013

Petani Kopi dan Mimpi Kesejahteraan yang Tergerus


Dapatkah kedaulatan petani kopi dikembalikan…? Agar mereka dapat menentukan pilihan terhadap proses dan tahapan produksi selepas panen yang akan mereka lakukan. Agar mereka juga dapat melakukan negosiasi nilai jual sesuai dengan kualitas kopi yang mereka hasilkan.  Agar mereka dapat menentukan dengan siapa dan kepada siapa mereka akan menjual kopi-kopi hasil olahannya. 

  ---- (pertanyataan-pertanyaan yang selalu terlintas di setiap silaturahmi dengan petani kopi) ----


“Kalau saya menjual kopi hasil kebun saya dengan harga yang lebih mahal dari harga dipasar, memangnya kenapa... Ini kopi saya, saya yang tanam, saya yang urus, saya yang memanen, saya olah sendiri dengan mutu yang baik, lalu saya kasih harga lebih mahal. Masa tidak boleh…” begitu salah satu sikap yang diperlihatkan Pak Gani, petani kopi desa Kayu Mas, Situbondo, sebagai bentuk perlawanannya terhadap jeratan sistem pasar yang sering membuat petani tak punya posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga  jual dari hasil kebunnya sendiri. Termasuk para petani kopi.

Sikap yang hampir sama yang diperlihatkan oleh Pak Abdul Rahman, petani kopi di desa Taman Asri, Kec. Ampel Gading-Malang, yang saya kunjungi dalam rangkaian perjalanan ziarah dan silaturahmi kopi. Dalam bincang-bincang kami, terselip pernyataan; “Pemerintah membiarkan petani-petani kopi dijajah oleh industri-industri kopi milik perusahaan asing, mereka membawa kopi-kopi terbaik, menjualnya dengan harga mahal, tetapi membeli dari petani dengan harga yang sangat murah.” 

Di Indonesia, kita hanya menemukan sedikit petani yang secara sadar, baik individu maupun terorganisir berani bertindak dan bersikap seperti Pak Gani dan Pak Abdul Rahman.  Pengetahuan, keterampilan, penguasaan atas beberapa modal produksi serta jaringan pemasaran menjadi faktor yang turut memperkuat sikap tersebut.  Sebagian besar lagi, petani kopi di Indonesia tak memiliki posisi tawar yang kuat menghadapi mekanisme pasar. 

“Bisa Murah, Bisa Mahal” 

Berapa harga secangkir kopi hitam di café-café yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia…?  Rata-rata 10 ribu. Beberapa café bahkan menjual hingga diatas 20 ribu rupiah percangkir.   Berapa harga kopi kering (greenbeans) untuk jenis arabica dari petani kopi ke tengkulak…? Rata-rata 30 ribu, tanpa sortir. Kalau lagi bagus, harganya mencapai 35ribu rupiah perkilo.  Di tingkat pengepul, beberapa melakukan pensortiran, untuk memilah biji kopi yang bagus dengan yang rusak.  Biji kopi yang telah disortir mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi, bisa mencapai 60ribu rupiah perkilo. Sekilo biji kopi yang belum disortir rata-rata menghasilkan sekitar 700 gram kopi hasil sortiran. Lalu, kenapa petani tidakmenjual kopi yang telah disortir ke pengepul…? Karena di pasar, pengepul tidak membedakan harga kopi kualitas bagus yang diperoleh dari hasil sortir dengan biji kopi campur.  Jadi, bagi petani, untuk apa melakukan pensortiran, jika harga jual yang mereka terima sama saja. 
Mari kita lanjutkan cerita perjalanan biji-biji kopi, harga jualnya yang melambung di café-café dengan kisah petani-petani kopi. 

Biji kopi kering (yang biasa disebut greenbeans) jika sudah diroasting tentu harga perkilonya akan lebih tinggi lagi, bisa mencapai rata-rata 200 ribu rupiah. Untuk beberapa jenis kopi yang dianggap spesial dan susah ditemukan (misalnya kopi wamena dan kintamani) perkilonya bisa mencapai300 sampai 400 ribu. Dari 700 gram greenbeans (hasil sortir) menjadi biji kopi hasil roasting, penyusutannya rata-rata 15-20 persen.  Sehingga hasil roasting yang diperoleh sekitar 560 gram.Dengan harga 200 ribu perkilo maka jika dikonversi ke rupiah, 560 gram hasilroasting setara dengan nilai 112 ribu. Setelah digiling menjadi bubuk kopi, 560 gram kopi tersebut bisa menghasilkan rata-rata 56 cangkir kopi tubruk. Jika dikonversi dalam rupiah, dengan harga percangkir 10 ribu, maka harga 56 cangkirkopi tersebut bisa menghasilkan 560 ribu rupiah.

Dari perhitungan rata-rata diatas, kita bisa lihat gambaran kasar perbandingan harga sekilo biji kopi kering (greenbeans) tanpa sortir yang dijual petani ke pengepul seharga 30 ribu, hingga menjadi sekitar 560 gram bubuk kopi yang jika diseduh di café-café dengan ukuran seduhan standar yang biasa digunakan para barista akan menghasilkan 56 cangkir kopi dengan total harga penjualannya sebesar 560 ribu rupiah (untuk hitungan harga secangkir kopi 10 ribu). Hitungan penjualan tersebut tentu masih hitungan perolehan kasar yang harus memasukkan juga biaya-biaya pengolahan, termasuk mesin, alat seduh,dsb.  Tetapi tetap saja ada selisih penghasilan yang semestinya bisa dinikmati petani jauh lebih besar daripada mereka menjual dalam bentuk biji kopi kering (greenbeans), apalagi jika tanpa sortir.

Lalu, jika demikian, murah atau mahalkah harga sekilo kopi di tangan petani..? Sangat tergantung, kopi yang dihasilkan petani tersebut dalam bentuk apa dan hasil dari proses apa… Jika dalam bentuk biji kering tanpa sortir, yaa, harganya murah. Tapi jika petani menjual dalam bentuk biji kering hasil sortir, apalagi jika punya jaringan langsung ke café-café dan bisa menjual kopi hasil sangrai tentu akan menjadi mahal.  Tapi fakta yang umum terjadi, petani kopi di Indonesia hanya mampu menghasilkan biji kopi kering tanpa sortir yang penjualannya sudah diblok ke tengkulak dan para pengepul di pasar-pasar terdekat. Bahkan, banyak petani kopi yang hanya mampu menjual biji kopi baru petik, dengan harga perkilonya hanya 4000 hingga 6000 ribu rupiah (sebagai catatan, dari 1000 gram biji kopi baru petik, menghasilkan sekitar 350 gram biji kopi kering).

Mengembalikan Kedaulatan

Dapatkah kedaulatan petani kopi dikembalikan…? Agar mereka dapat menentukan pilihan terhadap proses dan tahapan produksi selepas panen yang akan mereka lakukan. Agar mereka juga dapat melakukan negosiasi nilai jual sesuai dengan kualitas kopiyang mereka hasilkan.  Agar mereka dapat menentukan dengan siapa dan kepada siapa mereka akan menjual kopi-kopi hasil olahannya. 

Mestinya dapat. Jika, pengetahuan dan keterampilan pengolahan kopi paska panen di setiap tahapan menjadi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petani.  Bukan hanya menjadi domain para pengepul, pabrik-pabrik kopi dan para barista peracik kopi di café-café.  Jika, akses untuk penguasaan modal produksi (mesin, gudang, dsb..) sebagai modal dasar dalam pengolahan paska panen didekatkan kepada petani. Jika, jaringan untuk akses pemasaran kopi dibuka seluas-luasnya bagi petani. Sehingga petani dapat menentukan dimana/kemana mereka akan menjual kopi hasil olahannya dan bernegosiasi langsung untuk menentukan harga jual berdasarkan mutu yang mereka telah hasilkan.  Jika, seluruh syarat dan prasyarat tersebut dijamin sepenuhnya melalui kebijakan yang seharusnya dilahirkan olehpemimpin dan para penentu kebijakan di negara Indonesia tercinta ini. 

Fakta yang sesungguhnya terjadi, jangankan untuk kedaulatan atas hasil panennya, kedaulatan atas tanah sebagai modal dasar basis produksi pun saat ini tengah terancam, dengan semakin kuatnya desakan investasi masuk ke Indonesia untuk menguasai tanah yang saat ini merupakan lahan-lahan garapan petani.

- Semoga catatan ini, tidak mengurangi nikmatnya seruput kopi yang singgah di lidah para peminum kopi di cafe-cafe atau dimanapun saja. Sehat, sehat, sehat, kesejahteraan dan limpahan kebahagiaan kiranya menyertai keluarga petani-petani kopi di Indonesia - 

(sekelumit catatan dari perjalanan ziarah kebun kopi kekayu mas-situbondo, ijen, ampel gading-malang, dan hasil obrolan denganteman-teman pecinta kopi di rumah kopi ranin-bogor -terimakasih untuk kebaikan berbagai cerita dan informasi-)

bogor, 23.06.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar