Senin, 08 Juli 2013

Ziarah Kebun Kopi (bagian 3)


(menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

Kalau mau minum kopi yang enak, jangan pergi ke kebun kopi. Tapi pergilah ke café-café yang menyediakan berbagai seduhan kopi dengan beragam citarasa.  Ironis memang, karena tidak sedikit warung-warung sekitar kawasan kebun kopi yang menyajikan kopi sasetan dari berbagai produk.  Kalaupun tersedia kopi tubruk, rasanya tidak lebih baik dari rasa kopi sasetan.  

                                                            -----------------------

Sebenarnya saya tidak ingin mengamini pernyataan di atas. Tapi fakta itu saya temukan ketika mengunjungi beberapa kebun kopi. Klimaksnya, ketika saya mendatangi kawasan perkebunan kopi di lereng ijen, Bondowoso.  Pagi itu  cuaca menuju perkebunan kopi di lereng ijen cukup bersahabat. Udara dinginnya tidak begitu menusuk. Di depan sebuah warung, saya meminta Faisol - teman yang menghantar saya - untuk menghentikan laju motor yang kami kendarai.  Warung itu sangat sederhana, seperti pada umumnya warung kopi di perkampungan.  Yang membuat saya sedikit kecewa adalah aneka produk kopi saset yang bergelantungan di dinding dekat etalase warung.  Saya mencoba tak terpengaruh, tetap memesan segelas kopi hitam.  Tak lama dua gelas kopi hitam tersaji di atas meja, untuk saya dan faisol.  Saya menyeruput sedikit, faisol juga mengikuti. Lalu kami saling berpandangan, saya mengangkat alis, dibalas faisol dengan menahan senyum. Begitu kami mengungkapkan kecewa, karena yang kami rasakan sebenarnya air kopi yang sangat encer dengan rasa gula dominan.  Di kursi lain yang takjauh dari tempat duduk saya, seorang bapak justru memesan kopi saset.  Nyaris tidak ada bedanya minum kopi dikawasan pegunungan ijen dengan minum kopi di warung-warung yang tersebar dipasar atau terminal. 

Setelah melanjutkan kembali perjalanan hingga menjelang pulang, saya sempatkan untuk masuk lagi ke dua warung lain.  Dari dua warung terakhir yang saya datangi, hanya satu warung yang menyajikan kopi sedikit lebih baik, lebih terasa kopi.  Persamaan yang mencolok dari ketiga warung kopi tersebut terletak pada pemandangan di sekitar dinding warung, gelantungan warna warni plastik kopi saset-an dari berbagaiproduk. 

Yaa.., mengunjungi perkebunan kopi di kawasan pegunungan ijen memang bukan pilihan yang tepat jika tujuannya untuk memanjakan lidah, merasakan nikmatnya kopi terbaik yang dihasilkan dari perkebunan tersebut.  Itu sebabnya, setiba di kawasan perkebunan itu saya lebih fokuskan untuk motret tanaman kopi arabika dan ngobrol dengan beberapa buruh perempuan pemetik buah kopi.  Ada juga dengan petani penggarap, menanam kopi di lahan Perhutani, dengan sistem bagi hasil.  Apakah mereka, para buruh petik kopi dan petani penggarap menikmati juga kopi arabika yang mereka tanam dan petik..? Atau justru dapur-dapur mereka juga diisi oleh kopi saset dari berbagai produk..?  Entah, yang pasti, seorang buruh petik kopi di perkebunan milik Perhutani di pegunungan ijen bercerita bahwa mereka hanya terbiasa minum kopi yang sudah dicampur dengan beras atau jagung sangrai. Itupun, bahan kopinya mereka dapat dari memungut biji kopi yang sudah jatuh ke tanah. 

Saat bersiap untuk pulang, ketika masih di warung kopi terakhir, saya bertanya pada seseorang yang tampaknya sudah terbiasa datang ke kawasan ijen dan cukup akrab dengan ibu pemilik warung.  Pertanyaan saya sederhana, apakah mereka tahu dimana kedai kopi di kawasan itu yang bisa menyajikan kopi arabika ijen dan bisa menjelaskan sedikit tentang karakter kopi tersebut.  Laki-laki yang saya tanya itu, yang kemudian saya ketahui bernama Johanes, tertawa. Dia justru memberikan pernyataan hampir sama seperti yang tertuang diawal tulisan saya ini. “Kalau mau minum kopi yang enak di sekitar sini, jangan ke kebun kopi ini mbak, lebih baik ikut saya ke banyuwangi, disana ada kedai kopi yang menyajikan beberapa jenis kopi dan kita bisa diskusi kopi dengan pemiliknya” begitu pernyataan mas Johanes meyakinkan saya.


Kopi kurangajar, kopine kafe.

Butuh waktu sekitar satu jam, dari kawasan kawah ijen ke Banyuwangi. Beruntung faisol masih berbaik hati mengantar saya. Motor kami beriringan dengan motor mas johanes yang berboncengan dengan mbak selly, istrinya. Serta motor seorang lagi temannya yang juga berasal dari Banyuwangi.  Terakhir baru saya ketahui kalau kehadiran mereka di kawasan kawah ijen hanya untuk istirahat sejenak dari perjalanan panjang yogyakarta-banyuwangi. 

Kopine kafe terletak di kota Banyuwangi, tepatnya di jalan wijaya kusuma, dekat gor tawangalun.  Jarum jam mengarah ke angka 3 sore ketika kami tiba di kedai kopi itu.  Tidak banyak pengunjung, hanya ada 3 orang di satu meja.  Saya mondar mandir sejenak di depan etalase, memperhatikan beberapa biji kopi yang telah dikemas rapi lengkap dengan nama kopi di tiap kemasan.  Juga memperhatikan beberapa alat   pembuat kopi sederhana dengan merk tertentu. Lalu saya menuju meja yang telah ditempati mas johanes dan mbak selly, bergabung bersama mereka.  Tak lama kemudian, om willy, pemilik kedai datang membawa gelas keramik kecil, beberapa jenis biji kopi dan mesin pembuat kopi espresso untuk penyajian tiga cangkir kecil. 

Tak banyak basa basi sebagai obrolan awal.  Saya mengeluarkan biji kopi kayumas yang saya dapat dari hasil penyanggraian di rumah nanang, teman saya yang menggeluti kopi di situbondo.  Om willy menggilingnya segenggaman, lalu menyajikannya dicangkir keramik sudah dalam bentuk minuman.  Saya, faisol dan mas johanes mencicipinya, mencoba merasakan dan kami sedikit mendiskusikan rasa itu. Lalu om willy beralih ke biji kopi lain, yaitu arabika gayo, menggiling hingga menyajikannya kembali dalam bentuk minuman di cangkir keramik kecil. Obrolan kami terus berlanjut, mendiskusikan karakter beberapa jenis kopi arabika lain dari geografis yang berbeda. Saya menolak tawaran om willy untuk mencoba yang arabika toraja sebelum biji kopi itu masuk ke penggilingan, karena saya sudah cukup akrab dengan jenis kopi itu. Sebaliknya, antusiasme saya muncul ketika om willy menyodorkan arabika khas banyuwangi, sayang saya lupa mencatat nama geografisnya, yang pasti buka kalibendo (salah satu wilayah geografis penghasil kopi arabika yang cukup terkenal di banyuwangi).   Aroma karamel terasa lebih kuat, diikuti sedikit aroma asam segar. Kata om willy, aroma karamel itu hanya keluar jika proses roasting dilakukan dengan tepat.

Dari berbagai kopi yang singgah di lidah saya sore itu, hanya kopi “kurangajar” yang saya cecap hingga berulang-ulang.  Entah apa sebab, om willy menamakannya kopi kurangajar, kata om willy karena dia belum menemukan nama yang tepat untuk karakter kopi bland itu.  Tapi sepertinya, disebut kurangajar karena kopi bland itu berhasil mengelabui si peminumnya.  Si peminum kopi itu tidak akan merasakan rasa pahit ketika cairan itu menyentuh ujung lidah. Tapi saat diteguk, rasa pahitnya menempel di pangkal lidah dan tak hilang kecuali dinetralisir dengan beberapa kali tegukan air mineral.  Om willy dan mas johanes tertawa ketika saya mengilustrasikan perkenalan saya dengan kopi kurangajar racikannya itu seperti perkenalan dengan seorang laki-laki tengil yang tengilnya itu sangat menyebalkan tapi bikin kangen. 

Meskipun saya terkesan dengan kopi racikan kopine kafe yang mencampur kopi arabika dari tiga wilayah geografis yang berjauhan (gayo, toraja kalosi, yang satunya lagi saya disuruh menebak tapi tidak berhasil dan om willy masih merahasiakan), sebenarnya saya tidak suka kopi bland.  Kopi campur itu memang berhasil memunculkan satu citarasa tertentu yang cukup kuat karena mengambil kebaikan-kebaikan karakter dari tiap-tiap kopi, tapi sekaligus menenggelamkan karakter geografisnya. Dengan bahasa yang berbeda, om willy mengingatkan saya, bahwa meskipun kita menyukai satu karakter kopi tertentu, tetapi tidak berarti kopi lain tidak bagus.  Karena sesungguhnya, setiap jenis kopi, setiap varietas kopi, setiap wilayah geografis penghasil kopi pasti memiliki karakternya sendiri-sendiri. Pernyataan itu menjelaskan bahwa, kopi nusantara itu sangat beragam dan memiliki karakter yang sangat kaya. Penjelasan itu sekaligus memunculkan kembali kegelisahan saya, kenapa kedai-kedai atau tempat ngopi di sekitar kebun kopi tidak cukup berhasil menyajikan kekuatan karakter kopi yang dihasilkan kebun kopi itu…? Apakah karena biji kopi terbaiknya sudah dibawa keluar untuk memenuhi kebutuhan pasardi luar wilayah kebun kopi itu, atau hanya persoalan cara pengolahan dan penyajian…?

Jarang sekali memang menemukan peralatan pengolahan biji kopi serta pengetahuan penyajian kopi yang bisa memunculkan karakter kopi, mendekat dan dimiliki oleh petani dan masyarakat disekitar wilayah perkebunan kopi. Petani kopi dan masyarakat di sekitar wilayah kebun kopi (baik kebun rakyat maupun suasta) yang banyak menggeluti kopi di bagian hulu, sebenarnya tahu bahwa ada proses yang dilakukan di hilir.  Tetapi mereka sulit sekali untuk bisa berdekatan dengan proses hilir tersebut.  Seperti dua kutub yang saling berjauhan, kutub utara tahu ada kutub bagian selatan, tapi butuh jangkauan dan perjalanan panjang untuk dapat menyentuhnya. 

Sehingga, menjadi tak aneh, jika kemudian pengetahuan pengolahan kopi dan penyajian yang bisa memuncul kankarakter jenis kopi dari wilayah geografis tertentu lebih berkembang dicafé-café, di tangan para barista, orang-orang yang selama ini lebih dekat dengan akses pengetahuan dan keterampilan penyajian kopi. 

Kunjungan ke kopine kafe saya tutup dengan menyeruput sajian terakhir, yaitu kopi luwak dari tanah blambangan. Kopi yang menurut saya lebih menyajikan kemewahan rasa. Rasanya yang terlalu lezat membuat si peminum kopi luwak seperti kehilangan tantangan. Satu-satunya tantangan yang muncul saat minum kopi luwak pada harganya yang selangit.  Dalam hal ini, menurut saya pasar cukup berhasil mengangkat harkat martabat biji kopi yang sudah menjadi sampah (awalnya dianggap sampah, karena sudah jadi kotoran luwak), menjadi komoditas yang memiliki nilai jauh lebih tinggi dari biji kopi aslinya. 

Perjalanan mengunjungi kopine kafe saya anggap sebagai bonus penziarahan ke kebun kopi di pegunungan ijen.  Saya bisa mendapat cerita tentang beragam karakter kopi nusantara hanya di satu café dan bisa silaturahmi dengan teman-teman baru; mas johanes dan mbak selly, serta dengan om willy yang mengganggu lidah saya dengan racikan kopi kurangajarnya.  Meskipun tidak akan bisa menggantikan impian saya untuk bisa mencicipi kopi arabika dari perkebunan ijen langsung dikebun kopi itu.

Tepat jam 8 malam, mobil travel menjemput saya di rumah keluarga mas johanes. Saya beruntung, setelah dari kopine kafe masih sempat membersihkan badan di rumah mas johanes dan mbak selly.  Sehingga bisa lebih nyaman selama diperjalanan menuju ke kota malang. Tinggal satu lagi rute perjalanan ziarah kebun kopi saya kali ini, malang selatan.  Tempat Belanda pernah meninggalkan sebaran bibit kopi robusta. 

                                                                
                                                                 ---- (bersamboeng)----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar