(catatan perjalanan menyusuri jejak kebun kopi tua;kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)
Yaa.., petani dimanapun di negeri ini, punya kesamaan persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh negara. Maka yang dilakukan petani-petani tersebut adalah membangun kekuatannya dan kelompoknya dengan cara mereka sendiri, agar mereka tetap bertahan, mengolah tanah dan terus bertani.
-----------
Malam semakin meninggi, jarum jam menunjukkan angka 10. Lalu lintas di jalan poros menuju Situbondo masih terlihat ramai. Perjalanan Bandung-Malang yang saya tempuh sebelumnya dengan kereta tak lagi menyisakan lelah. Dua hari di kota Batu bersama kawan-kawan dari Malang cukuplah meluruhkan penat. Seperti rencana sebelumnya, sayapun berpamitan dengan mereka untuk meneruskan perjalanan, menemui nanang, seorang teman baru yang akan menemani ke kebun kopi di Situbondo. Adalah dhika, si peracik kopi dan pengelola kedai kopi ijo di bogor yang memberi saya nomor telphon nanang. Tak tahu seperti apa persisnya pertemanan mereka, setahu saya dhika juga baru mengenal nanang, lewat komunikasi-komunikasi tentang kopi di twitter. Intinya, kopilah yang mempertautkan kami bertiga. Bukan almamater, yang ternyata pernah sama-sama kami singgahi.
Keesokan paginya, nanang sudah datang menjemput saya di penginapan sederhana di kota Situbondo. Penginapan yang tidak sempat saya perhatikan tiap sudutnya, karena kantuk yang sangat berat menyihir dan membuat saya tenggelam dalam tidur yang sangat lelap malam sebelumnya. Hingga nyanyian seorang teman musisi yang tersimpan sebagai nada panggil membangunkan. Memotong mimpi yang belum tuntas. Ternyata telphon dari nanang, dia sudah menunggu di lobby penginapan. Setelah sarapan dan mengawali pertemuan dengan bincang-bincang ringan seputar kopi, kami pun berangkat.
Ahaa.., ternyata motor trail berwarna hijau sudah menanti di parkiran hotel. Motor trail itu menjadi teman perjalanan nanang setiap kali dia ke kayu mas, menemui petani-petani kopi, begitu nanang bercerita tentang si motor trail. Saya duduk diboncengan, berusaha senyaman mungkin. Meskiun sebenarnya agak sulit, karena ransel saya yang sangat berat menggangtung di punggung. Seperti beban yang menarik ke belakang menjauhi tubuh nanang. Pasti situasinya juga membuat nanang tidak bisa membawa motor lebih rileks, karena harus konsentrasi menjaga keseimbangan akibat beban berat yang menggantung dipunggung saya.
Senyum Pak Gani dan Tungku Penyangraian Kopi Mbak Sum
Menyusuri perjalanan menanjak sejauh 40 km dengan dengan motor trail, cukup melelahkan. Terutama karena hampir setengah jalan yang dilalui adalah bebatuan. Kami berhenti di depan rumah Pak Gani, di kayu mas. Senyum pak gani mengembang, menyambut kehadiran saya dan nanang di depan pintu rumahnya. Senyum itu mengingatkan saya pada senyum Pak Kis, sesepuh didesa Keceme, Suroloyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Pak gani dan pak kis, dua-duanya adalah petani kopi yang memiliki senyum indah, senyum yang membekas di hati saya.
Pak gani mungkin termasuk petani kopi yang cukup berhasil di Kayumas. Dengan luasnya lahan kebun kopi yang dimilikinya sebagai hasil warisan turun temurun, serta pengetahuan pengolahan kopi paska panen, diperkuat dengan jaringan pemasaran yang sudah dimiliki, cukup mempengaruhi pak gani dalam menentukan sikapnya. Yaa..,menurut saya, pak gani termasuk petani kopi yang memiliki kesadaran, yang tahu harus bagaimana berhadapan dengan pelaku pasar dan Pemerintah.
Salah satu pernyataannya yang membekas dalam ingatan saya, terkait kritiknya terhadap program-program bantuan dari pemerintah untuk petani kopi yang sering salah sasaran. Termasuk kritiknya terhadap kelompok-kelompok petani kopi yang kepemimpinan dan kepengurusannya didominasi oleh orang-orang dekat aparat Pemerintah. Sehingga, ketika ada bantuan modal dan sarana maka orang-orang tertentu sajalah yang mendapat akses. Apa yang kemudian dilakukan pak gani…? Menolak cara-cara yang dilakukan Pemerintah melalui program-program bantuannya. Berjalan sendiri, mengikuti kehendak hatinya. Meskipun, dia sadar betul bahwa sikapnya tersebut tentu tidak disukai oleh sebagaian orang yang merasa diuntungkan dengan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok petani yag dekat dengan aparat pemerintah.
Melihat sikap kemandirian yang dilakukan pak gani kembali mengingatkan saya pada sikap yang diperlihatkan pak kis di desa keceme, suroloyo. Tapi dengan cara yang sangat berbeda. Pak gani dengan sikap keras dan tegasnya, dan pak kis dengan pendekatan kebudayaannya. Membangun kesadaran dan sikap kemandirian petani lainnya dengan memasukkan pada nilai-nilai budaya yang ada di desa tersebut. Sambil mereka berkesenian. Yaa.., petani dimanapun di negeri ini, punya kesamaan persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh negara. Maka yang dilakukan petani-petani tersebut adalah membangun kekuatannya dan kelompoknya dengan cara mereka sendiri, agar mereka tetap bertahan, mengolah tanah dan terus bertani.
Obrolan saya, nanang dan pak gani tidak lama. Kami harus melanjutkan perjalanan lagi, menuju rumah mbak Sum. Tapi sebelum berpisah, pak gani sempat mengungkapkan kekhawatirannya akan tanah-tanah petani yang mulai lepas ke tangan pemodal yang datang entah darimana. Pemodal yang akan mengembangkan perkebunan kopi di sekitar kayu mas. Membeli tanah dari petani-petani. Lalu petani tersebut nantinya akan mengolah lahan dimana…? Kalau bukan hanya jadi petani penggarap atau menjadi kuli tani di perkebunan-perkebunan tersebut. Saya ingat betul kalimat dari pak gani; “saya tidak akan pernah menjual tanah kebun saya, karena tanah tak akan tergantikan oleh apapun.”
Sayang waktu berkunjung ke kayumas hanya sebentar. Saya tidak sempat ke kebun kopi pak gani yang lokasinya cukup jauh dari rumah beliau. Sebenarnya sangat ingin kesana, terutama untuk melihat dan memotret beberapa pohon kopi arabika yang menurut pak gani termasuk sisa pohon kopi tua yang pernah ditanam Belanda di wilayah tersebut.
Tak sampai perjalanan 10 menit dari rumah pak gani, saya dan nanang tiba di rumah mbak sum. Lokasi rumah mbak sum yang lebih tinggi membuat perbedaan suhu udara cukup terasa dibandingkan ketika berada di rumah pak gani.
Mbak sum bukan petani kopi. Tapi hidup berpuluh tahun di lingkungan kebun kopi. Ketika saya tanya kenapa tidak nanam kopi, jawabannya sederhana, karena memang tidak punya tanah untuk nanam kopi. “Kalau saya punya tanah, pasti saya nanam kopi, mbak” begitu pernyataan mbak sum. Jawaban yang sangat sederhana, tapi menjadi tidak sederhana jika dikaitkan dengan keinginan mbak sum untuk mendapatkan tanah. Meskipun tidak memiliki kebun kopi, tapi mbak sum berjualan kopi. Mbak sum yang awalnya adalah buruh penangkaran luwak di perkebunan kopi di kayu mas, kini memilih keluar sebagai buruh dan melakukan penangkaran luwak sendiri. Dia membeli kopi merah dari petani dengan harga lebih tinggi dari harga di pasar, lalu memberi makan luwak-luwak tangkarannya dengan biji kopi merah tersebut. Ketika saya datang, hanya ada seekor luwak dalam kandang. “Nanti mbak, kalau kopi sudah panen baru saya menjerat luwak lagi, dan memeliharanya untuk beberapa saat, selama buah kopi merah masih ada. Kalau dipelihara terus menerus, rugi mbak, saya harus menyediakan makanan lain untuk si luwak. Jadi biar dia cari makan sendiri saja”. Demikian mbak sum menjelaskan.
Di dapur rumah mbak sum, di depan tungku perapian yang merah menyala, saya, nanang dan mbak sum ngobrol ditemani seduhan kopi luwak dalam cangkir keramik. Kantung plastik ukuran sepuluh kilo bersandar di dinding dapur dekat bale-bale. Di dalamnya sekitar 5 kilo kopi luwak yang telah di sangrai tampak coklat kemilau. Saya membuka ikatannya, menyimpan biji coklat tua tersebut dalam memori kamera, lalu merasakan wangi biji kopi sangrai yang meruap kuat. Sudah setahun lebih nanang dan mbak sum membangun akses pemasaran kopi luwak hasil olahan sendiri ke beberapa tempat di luar kayumas. Bagi nanang, mbak sum lebih tepat sebagai mitra kerja. Karena meskipun usaha yang dibangun berawal dari gagasan nanang untuk mengajak mbak sum mengembangkan usaha kopi luwak, tetapi mbak sum bebas membangun jaringan pemasaran lain. Beberapa pembeli bahkan berhubungan langsung dengan mbak sum, dan mbak sum menentukan sendiri harga kopi luwak hasil olahannya tersebut.
Hari mulai petang, saya dan nanang harus kembali ke Situbondo. Keesokan hari saya harus melanjutkan perjalanan ke ijen, dan nanang juga harus melanjutkan agendanya di kantor tempat dia bekerja yang telah tertunda sehari. Dua bungkus bubuk kopi luwak hasil olahan mbak sum menemani perjalanan saya sore itu. Nomor telphon mbak sum sudah tersimpan di handphone. Begitu juga kenangan menyeruput secangkir kopi luwak selepas makan siang di depan tungku dapur rumah mbak sum sudah tersimpan di ingatan dan membekas di hati saya. Terimakasih mbak sum, semoga silaturahmi kita terus terjaga.
---- (bersamboeng)----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar