Senin, 08 Juli 2013

Ziarah Kebun Kopi (bagian 2)


(catatan menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

Absurd, para barista di Indonesia umumnya merujuk pada Amerika untuk menentukan standard citarasa kopi. Indonesia, sebagai negara penghasil biji kopi merujuk pada amerika, negara yang tidak mempunyai kebun kopi, untuk menentukan standard citarasa kopi. Apakah karena Amerika adalah negara yang mengendalikan ekonomi global, termasuk perdagangan kopi dunia…?

                                                  ----------------------------

Perjalanan saya untuk ziarah kebun kopi baru sampai Kayumas, Situbondo.  Itupun tidak bisa lama, tentu tidak terlalu banyak juga catatan yang bisa saya kumpulkan. Hanya sepenggal catatan silaturahmi seperti yang saya tuliskan pada tulisan ziarah kebun kopi (bagian 1).  Sambil menanti perjalanan esok harinya ke ijen, waktu yang tersedia selama satu malam saya gunakan untuk silaturahmi di rumah nanang[1] sekaligus berkenalan dengan keluarga kecilnya.


Silaturahmi kopi di rumah nanang dan alin

Sebenarnya tidak hanya agar dapat beristirahat sejenak, berkunjung ke rumah nanang juga untuk mendengarkan cerita nanang dan alin bagaimana perjalanan awal mereka mulai berkecimpung dipengolahan biji kopi. Di rumah mereka saya berkesempatan melihat biji kopi arabika kayumas dalam bentuk greenbeans (saat perjalanan ke rumah pak gani di kayumas saya tidak mendapatkan greenbeans, karena persediaannya sudah habis, sementara musim panen kopi juga belum memasuki puncak dan belum ada pengolahan).  Tidak hanya itu, saya juga dapat berdiskusi dengan nanang seputar pengolahan biji kopi, mulai sejak buah dipetik hingga menghasilkan kopi yang telah disangrai. Sambil nanang mempraktekkan cara kerja mesin sangrai kopi yang terletak di ruang mungil, pada lantai dua di rumahnya. 

Pasangan muda itu memang baru pada tahap menata usaha pengolahan biji kopi dengan andalannya kopi arabika kayumas, dan saat ini mulai mengembangkan juga kopi luwak kayumas.  Usahanya dilakukan secara bertahap, dimulai dengan jualan biji kopi hasil olahan dari kayumas.  Kemudian menyangrai sendiri secara manual (menggunakan kuali tanah) biji kopi kering, dan sebagian menjadikannya kopi bubuk.   Lalu mulai memiliki mesin roasting kopi, memesannya secara khusus, dengan mempelajari mesin roasting pabrikan. Kini proses roasting biji kopinya sudah didukung dengan mesin yang lebih baik dari mesin yang sebelumnya. Keuletannya membangun akses pemasaran dengan memanfaatkan jaringan yang sebelumnya sudah dimiliki membuahkan hasil. Dua tahun membuka usaha pengolahan biji kopi, kini nanang dan alin sudah mempunyai pelanggan tetap. Beberapa café di Jakarta secara rutin memintanya mengirimkan biji kopi hasil roasting.

Tidak mudah memang membuka jaringan pemasaran kopi di tengah menjamurnya bisnis kopi dengan mekanisme pasar bebas seperti saat ini. Kekuatan informasi, tekhnologi dan jaringan menjadi faktor yang sangat  menentukan.  Usaha yang dilakukan nanang dan alin setidaknya membuktikan bahwa mereka harus menerabas ketiga faktor penentu itu.  Menggali sebanyak mungkin informasi yang berkembang tentang kopi, termasuk trend kopi yang saat ini sedang dinikmati para barista yang menjadi bahan baku andalan di café-café. Nanang dan alin juga cukup rajin mengikuti berbagai pameran dan kompetisi kopi. Terakhir, kopi hasil olahan mereka masuk 7 besar lelang kopi nusantara.  Selain juga mereka rajin membangun komunikasi dan memanfaatkan jejaring sosial untuk sekedar sharing produk atau menyapa komunitas-komunitas pecinta kopi.


Kopi, dari hulu ke hilir (membangun pasar aternatif…?)

Menekuri kembali setiap proses yang dilakukan nanang dan alin dalam membangun usaha pengolahan biji kopi, kemudian memanggil kembali ingatan tentang perjalanan sebelumnya, saat silaturahami dan berbagi cerita dengan petani kopi di kayumas. Rasanya seperti menapaki satu perjalanan panjang, tentang kopi dari hulu ke hilir.  Berbagai pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya disepanjang peziarahan kopi yang saya lakukan masih terus muncul bahkan hingga catatan perjalanan ini saya tuangkan.  Haruskah petani kopi melewati semua jalur yang disediakan oleh pasar agar mereka dapat mencapai titik akhir pejalanan kopi ke konsumen…?  Jika ya, harus demikian, dengan berbagai keterbatasan yang saat ini dihadapi petani kopi mungkinkah mereka dapat bersaing secara adil dengan pedagang kopi yang didominasi oleh industri pengolahan kopi skala besar…?  Tidak hanya karena kesenjangan jarak (secara geografis, sebagian besar lokasi petani-petani kopi sulit dijangkau), juga karena kesenjangan pengetahuan, jaringan dan akses tekhnologi. 

Atau, harus ada sistem alternatif dengan mekanisme yang lebih mudah dijangkau dan lebih menguntungkan petani, diluar mekanisme yang saat ini disediakan oleh pasar (mainstream) dibawah kendali sistem neolib. 

Yang dilakukan oleh nanang dan alin sebenarnya salah satu upaya untuk memotong rantai jalur perdagangan kopi.  Membangun kontak langsung dengan petani, sambil memindahkan pengetahuan kepada petani kopi terutama untuk menjaga kualitas bahan baku yang dihasilkan. Dengan kompensasi, petani bisa menerima harga jual biji kopi yang lebih tinggi yang diberikan dibanding harga pasar.  Sambil mereka sedang menata kemungkinan bentuk kerjasama lain yang bisa lebih menguntungkan si petani kopi. Karena bagaimanapun, ketika pilihannya adalah masuk dalam sistem pasar mainstream, maka konsekuensinya berbagai aturan main yang berlaku dalam pasar tersebut juga harus diikuti jika ingin memenangkan persaingan penjualan kopi di pasar kopi. Termasuk harus juga mengikuti standarisasi pengolahan biji kopi yangberlaku umum.  Bahkan, untuk citarasa kopi, para barista umumnya mengacu pada standar ujicoba citarasa kopi dunia yang dikeluarkan oleh SCAA (specialty coffee association of america). Absurd, para barista di Indonesia umumnya merujuk pada Amerika untuk menentukan standard citarasa kopi. Indonesia sebagai negara penghasil biji kopi merujuk pada amerika, negara yang tidak mempunyai kebun kopi untuk menentukan citarasa kopi. Apakah karena Amerika adalah negara yang mengendalikan ekonomi global, termasuk perdagangan kopi dunia…?

Mungkin yang harus banyak dikembangkan adalah gagasan dan upaya beberapa petani kopi baik perorangan maupun kelompok yang menciptakan ruang sendiri untuk menjangkau konsumen.  Dalam catatan saya, petani kopi di desa keceme, suroloyo, kulonprogo, yogyakarta, pernah melakukan itu.  Mengolah sendiri biji kopinya, mengemas sendiri, bahkan membuka kedai kopi sendiri di kota yogya untuk memperkenalkan produknya pada publik luas. Langkah tersebut bahkan disikapi secara positif oleh Pemerintah setempat, dengan ikut mengangkat kopi suroloyo sebagai andalan di kabupaten Kulonprogo.  Tidak perlu harus mengeluarkan biaya besar dan melewati berbagai rantai perdagangan untuk semata-mata melakukan eksport, memenuhi kebutuhan pasar kopi global, jika pasar lokal saja masih harus dipenuhi kebutuhannya.  Tidakkah lebih baik petani memainkan peran penting, menjadi penentu dalam pedagangan komoditas pertaniannya, meskipun untuk memenuhikebutuhan tingkat lokal, daripada tunduk pada mekanisme pasar global…? 

Saya menghentikan catatan saya malam itu, merebahkan tubuh, dan mencoba untuk memejamkan mata. Biji kopi coklat tua yang dihasilkan mesin roasting di lantai dua rumah nanang sesekali berkelebat, seperti kerikil-kerikil yang memberat di kelopak mata. Sampai saya tak lagi mampu membuka mata dan tak lagi dapat berpikir tentang kopi.

Pagi setelahnya, saya terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Alin, istri nanang mengetuk pintu kamar dan membawakan saya segelas coklat hangat. Alin juga yang membantu mencarikan seorang teman yang bisa menghantar saya pagi itu ke lereng ijen. Yaa.., seperti rencana awal, dari Situbondo saya akan melanjutkan perjalanan ke kebun kopi di lereng ijen, setelah mengistirahatkan tubuh semalaman di rumah nanang dan alin. Terimakasih, nanang dan alin untuk silaturahmi dan kebaikan berbagi.


                                                             ---- (bersamboeng)----


[1] nanang adalah teman baru saya yang saat ini sedang menggeluti perkopian di situbondo. pada tulisan ziarah kebun kopi (bagian 1) saya cukup banyak menyebut tentang nanang, sehingga tak perlu saya uraikan lagi dalam tulisan bagian 2 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar