Nama prasasti itu menggoda pikiran saya. Prasasti “Kebun Kopi”. Sebenarnya prasasti itu bukan tentang kebun kopi, tapi sebuh prasasti dari zaman megalitikum, sekitar tahun 400 M, peninggalan kerajaan Tarumanegara. Begitu keterangan beberapa informasi yang saya temukan melalui internet ketika saya mencoba mencari tahu tentang prasasti kebun kopi. Bentuk prasastinya sendiri berupa bongkahan batu besar dengan cetakan menyerupai dua tapak kaki gajah yang cukup jelas di bagian atasnya yang mendatar. Itu sebabnya, prasasti ini juga dinamai dengan prasasti tapak gajah. Di antara dua tapak gajah tersebut, terpahat sebaris kalimat menggunakan aksara pallawa dan bahasa sanskerta. Pada papan yang menggantung di tiang penyanggah dekat prasasti tersebut diletakkan, ada petikan isi tulisan di batu prasasti yang dituangkan dalam tulisan latin, berbunyi; ‘’jayavislasya tarumandrasya hastinah airavata basya vibhatidam padadvayam”. Artinya; “Di sini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam dan bijaksana”.
Lalu.., mengapa disebut prasasti kebun kopi..? Adakah hubungannya dengan perkebunan kopi..? Prasasti ini memang ditemukan pertama kali di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda, di kampung Muara Hilir, Ciampea, Bogor, pada awal abad 19.
Lalu.., mengapa disebut prasasti kebun kopi..? Adakah hubungannya dengan perkebunan kopi..? Prasasti ini memang ditemukan pertama kali di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda, di kampung Muara Hilir, Ciampea, Bogor, pada awal abad 19.
Lokasi penemuannya di kebun kopi itulah yang kemudian menggelitik keinginan saya untuk mendatangi prasasti tersebut. Satu daya tarik tersendiri bisa mendatangi situs-situs perkebunan kopi tua peninggalan Belanda di Indonesia. Bogor, adalah salah satu wilayah dimana Belanda, dibawah VOC pada awal abad ke 17 pertama kali melakukan penanaman kopi di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia pada komoditi tersebut. Selain juga penanamannya dilakukan di daerah Cianjur, Sukabumi dan Batavia. Baru setelah itu, pada pertengahan abad ke-17, Belanda melakukan penyebaran tanaman kopi ke Sumatera, Bali, Sulawesi dan kepulauan Timor. Sejarah perkebunan kopi dan komoditi lain yang dikembangkan VOC di Indonesia pada masa kolonial dengan sistem kultivasi, adalah juga sejarah penderitaan bangsa Indonesia dibawah sistem tanam paksa (cultuurstelsel).Petani-petani dihisap, dipaksa menanam komoditi perdagangan VOC yang laku di pasar dunia. Sementara petani sendiri tidak diperbolehkan memetik dan menggunakan komodi tersebut untuk kebutuhannya. Sehingga, merawat situs-situs perkebunan kopi tua peninggalan Belanda, sesungguhnya menjadi bentuk penghormatan bangsa ini terhadap para pejuang, pekerja paksa dan petani-petani kopi yang justru hidup menderita saat panen kopi berlimpah.
Tingginya produksi kopi yang dihasilkan dari kebun-kebun kopi di Indonesia pada abad ke-17 hingga awal 19, telah membuat VOC meraup keuntungan yang sangat besar. Perdagangan kopi juga juga yang salah satunya mendorong VOC membangun berbagai jalur-jalur perdagangan untuk mempermudah pengangkutan komoditi tersebut ke pasar dunia. Baik jalur darat maupun jalur air.
Salah satu jalur air yang dikembangkan sebagai jalur perdagangan kopi di daerah Jawa Barat dan batavia adalah aliran sungai Cisadane dan Cianten, sebagai salah satu jalur perdagangan tua yang dibuka sejak zaman Kerajaan Punawarman pada akhir 300M. Dua nama sungai yang kini lebih sering disebut-sebut jika musim hujan tiba, terutama saat Jakarta banjir, dituding sebagai sungai yang membuat Jakarta tergenang. Daripada disebut-sebut sebagai salah satu jalur perdagangan besar di masa lampau, tempat dimana peradaban pernah bertumbuh.
Ternyata tidak mudah menemukan kembali situs-situs perkebunan kopi tua, peninggalan Belanda. Begitu juga ketika saya tiba di lokasi prasasti kebun kopi, yang saya temukan hanya sehamparan tanah, yang sebagian ditanami pohon singkong, kemudian ada lapangan kecil yang tanahnya telah ditutup lapisan semen. Kemudian, di sudut kanan tepat setelah pintu gerbang, ada saung terbuka, dilindungi pagar besi. Disitulah prasasti tapak gajah atau kebun kopi tersimpan. Berseberangan dengan prasasti tapak gajah, ada sebuah batu berbentuk lempengan, berdiameter antara 50-75 cm. Sebuah batu lempeng yang disebut-sebut sebagai bekas tempat pemujaan masyarakat Sunda jaman dahulu. Tidak satupun pohon kopi saya temukan di lokasi tersebut. Penasaran dan sedikit kecewa , saya kembali mengitari lokasi, berharap masih menemukan tanaman kopi di sekitar. Tetap saja, nihil.
Kang Dayat, tukang ojek yang mengantar saya seakan paham. Dia pamit sejenak, bergegas pergi, kemudian tak lama datang lagi sambil membonceng seorang bapak yang usianya sekitar 50 awal. Pak Ugan, begitu beliau menyebutkan namanya. Beliau adalah penjaga situs-situs bersejarah di sekitar tempat itu. Selain prasasti tapak gajah, ada tiga prasasti lain peninggalan jaman megalitikum yang berada di kampung tersebut. Saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Pak Ugan seputar kebun kopi di kampung Muara.
Beliau membenarkan, bahwa kawasan kampung Muara dulunya adalah kawasan perkebunan kopi. Salah satu perkebunan kopi yang besar di daerah tersebut adalah perkebunan kopi miliki seorang tuan tanah Belanda, Jonathan Rig. Setelah Belanda tak lagi berkuasa di Indonesia, kebun-kebun kopi tersebut masih dilanjutkan oleh petani-petani pribumi. Meskipun sebagian sudah tergantikan dengan tanaman perkebunan lain yang saat itu sedang menjadi primadona, termasuk menggantinya dengan tanaman pohon karet. Mereka yang pada zaman kolonial Belanda menjadi buruh kerja paksa, kemudian mendapat kebebasan untuk menggarap sendiri. Bapaknya Pak Ugan sendiri, yang juga seorang petani, masih meneruskan bertanam kopi hingga akhir tahun 1970. Rendahnya harga biji kopi di pasar pada waktu itu, sulitnya akses transportasi untuk mengangkut hasil panen, serta ketidakpahaman bagaimana mengolah biji-biji kopi dengan baik menjadi faktor yang membuat banyak petani kopi menyerah. Berpindah menanam komoditas lain yang sebenarnya juga tidak terlalu memberikan hasil yang lebih baik bagi mereka. Karena, apapun komoditi pertanian yang dihasilkan, petani tetap saja harus berhadapan dengan mekanisme pasar, mahalnya biaya bibit dan pupuk, serta akses transportasi yang sulit dijangkau. Selain juga, sudah semakin banyak lokasi bekas kebun kopi yang kini beralih fungsi menjadi lokasi perumahan.
Perbincangan kami sesekali diisi tawa, tawa dari canda satir tentang bangsa yang malang. Kalau zaman kolonial, petani kopi tidak dapat sejahtera karena harus tanam paksa. Kalau sekarang, tidak sejahtera karena terpaksa juga, tapi terpaksa jual. Terpaksa jual hasil panen, meski harganya anjlok. Terpaksa jual lahan atau kehilangan lahan. Terpaksa membusuk karena akses transportasi sulit.
Di tengah obrolan, hidung saya disentil oleh aromi seduhan kopi dari warung yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Aroma kopi pabrikan, kopi instan yang dikemas dalam kantung-kantung plastik. Saya menggoda Pak Ugan dan Kang Dayat si tukang ojek, mengatakan bahwa mestinya petani kopi di Kampung Muaralah yang memproduksi kopi-kopi untuk dihidangkan di rumah dan di warung-warung di kampung tersebut. Pak Ugan tertawa, tawa yang juga menyimpan rasa kecut, dia kembali menggoda; “Iya, mestinya mbak datang kesini juga bisa melihat prasasti sambil menikmati kopi kampung milik petani disini. Sayang Pemerintah tidak punya perhatian ke arah sana, petani mau susah, mau harga panen jatuh, yaa dibiarkan begitu saja. Termasuk membiarkan saja petani kopi disini pada saat harga kopi dulu pernah jatuh”. “Jangankan membantu pelestarian kebun kopi jaman dahulu, membuatkan informasi untuk memberitahukan pada masyarakat, bahwa disini pernah ada perkebunan kopi peninggalan zaman kolonial saja tidak dilakukan”, demikian Pak Ugan melanjutkan.
Yaa.., benar, tidak ada bukti apapun sebagai jejak yang dapat ditelusuri untuk memastikan bahwa Kampung Muara tersebut dulunya termasuk lokasi perkebunan kopi tua. Selain tulisan pada papan 1.5 x 1 meter milik dinas kebudayaan dan pariwisata yang telah menguasai lahan 1.700 m persegi tersebut, yang isinya; KEBON KOPI I (TAPAK GAJAH), kemudian diteruskan dengan mencantumkan tentang ketentuan pidana pasal 103 dan 106 mengenai sanksi perusakan dan pencurian cagar budaya.
Langit di barat mulai memerah. Saya minta izin pada Pak Ugan untuk segera balik ke kota Bogor. Kira-kira 500 meter perjalanan, Kang Dayat menghentikan motornya, mengajak saya berdiri sejenak di atas beton pembatas jalan. Nun di kejauhan, di bawah, tampak hamparan kebun membentang di sepanjang aliran sungai cisadane. Alirannya cukup besar, airnya berwarna coklat. Kata Kang Dayat, sisa hujan deras sehari sebelumnya. Saya mencoba bayangkan bagaimana daerah tersebut dulunya, selama berabad-abad pernah menjadi kota pelabuhan sungai yang cukup besar. Tidakkah sebenarnya, akses transportasi air tersebut akan lebih memudahkan masyarakat sekitar sungai untuk membawa hasil panennya ke kota-kota lain di sekitar aliran sungai, daripada harus mengangkut ke jalur darat yang cukup sulit dijangkau. Sayang Pemerintah tidak punya sense ke arah sana. Bukannya mengaktifkan kembali moda transprtasi air yang pernah kita miliki, malah membangun jalan-jalan besar yang sebagian dilakukan dengan merambah hutan. Maraknya pembangunan infrastuktur jalan terutama sangat dirasakan di era pemerintahan orde baru, dengan banyaknya tawaran pinjaman luar negeri untuk berbagai sektor pembangunan, terutama infrastuktur. Yang juga mematikan infrastuktur lama yang pernah menopang perkenomian nusantara.
Saya melanjutkan perjalanan dengan angkot Ciampea-Laladon, setelah Kang Dayat menghantarkan hingga ke simpang lebak. Di sepanjang perjalanan pulang, saya jadi bingung akan menulis apa tentang kunjungan ke prasasti kebun kopi. Karena sebenarnya tujuan saya ingin mengunjungi kebun kopi tua, yang ternyata tak lagi meninggalkan jejak. Semoga masih ada situs perkebunan kopi di lokasi lain yang dapat jadi pelajaran sejarah bagi bangsa ini, bahwa disitu juga ada sejarah tanam paksa oleh kolonial yang membuat petani-petani kita menderita justru pada saat kopi tanah air merajai pasar dunia. Kondisi yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan saat ini, petani-petani kopi yang memetik keuntungan sedikit pada saat minuman kopi menjadi minuman nomor satu di café-café yang tersebar di Indonesia.
(bogor, 31.03.13)