Kamis, 11 Juli 2013

Prasasti Kebun Kopi (dan kebun kopi yang tak lagi ada)

Intermezo minggu sore (catatan ziarah kebun kopi)

Nama prasasti itu menggoda pikiran saya. Prasasti “Kebun Kopi”.  Sebenarnya prasasti itu bukan tentang kebun kopi, tapi sebuh prasasti dari zaman megalitikum, sekitar tahun 400 M, peninggalan kerajaan Tarumanegara.  Begitu keterangan beberapa informasi yang saya temukan melalui internet ketika saya mencoba mencari tahu tentang prasasti kebun kopi.  Bentuk prasastinya sendiri berupa bongkahan batu besar dengan cetakan menyerupai dua tapak kaki gajah yang  cukup jelas di bagian atasnya yang mendatar.   Itu sebabnya, prasasti ini juga dinamai dengan prasasti tapak gajah.  Di antara dua tapak gajah tersebut, terpahat sebaris kalimat menggunakan aksara pallawa dan bahasa sanskerta. Pada papan yang menggantung di tiang penyanggah dekat prasasti tersebut diletakkan, ada petikan isi tulisan di batu prasasti yang dituangkan dalam  tulisan latin, berbunyi; ‘’jayavislasya tarumandrasya hastinah airavata basya vibhatidam padadvayam”.  Artinya; “Di sini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam dan bijaksana”.
 

Lalu.., mengapa disebut prasasti kebun kopi..? Adakah hubungannya dengan perkebunan kopi..? Prasasti ini memang ditemukan pertama kali di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda, di kampung Muara Hilir, Ciampea, Bogor, pada awal abad 19.
Lokasi penemuannya di kebun kopi itulah yang kemudian menggelitik keinginan saya untuk mendatangi prasasti tersebut.  Satu daya tarik tersendiri bisa mendatangi situs-situs perkebunan kopi tua peninggalan Belanda di Indonesia. Bogor, adalah salah satu wilayah dimana Belanda, dibawah VOC pada awal abad ke 17 pertama kali melakukan penanaman kopi di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia pada komoditi tersebut.  Selain juga penanamannya dilakukan di daerah Cianjur, Sukabumi dan Batavia.  Baru setelah itu, pada pertengahan abad ke-17, Belanda melakukan penyebaran tanaman kopi ke Sumatera, Bali, Sulawesi dan kepulauan Timor.  Sejarah perkebunan kopi dan komoditi lain yang dikembangkan VOC di Indonesia pada masa kolonial dengan sistem kultivasi, adalah juga sejarah penderitaan bangsa Indonesia dibawah sistem tanam paksa (cultuurstelsel).Petani-petani dihisap, dipaksa menanam komoditi perdagangan VOC yang laku di pasar dunia.  Sementara petani sendiri tidak diperbolehkan memetik dan menggunakan komodi tersebut untuk kebutuhannya.  Sehingga, merawat situs-situs perkebunan kopi tua peninggalan Belanda, sesungguhnya menjadi bentuk penghormatan bangsa ini terhadap para pejuang, pekerja paksa dan petani-petani kopi yang justru hidup menderita saat panen kopi berlimpah.

Tingginya produksi kopi yang dihasilkan dari kebun-kebun kopi di Indonesia pada abad ke-17 hingga awal 19, telah membuat VOC meraup keuntungan yang sangat besar.  Perdagangan kopi juga juga yang salah satunya mendorong VOC membangun berbagai jalur-jalur perdagangan untuk mempermudah pengangkutan komoditi tersebut ke pasar dunia.  Baik jalur darat maupun jalur air. 

Salah satu jalur air yang dikembangkan sebagai jalur perdagangan kopi di daerah Jawa Barat dan batavia adalah aliran sungai Cisadane dan Cianten, sebagai salah satu jalur perdagangan tua yang dibuka sejak zaman Kerajaan Punawarman pada akhir  300M.  Dua nama sungai yang kini lebih sering disebut-sebut jika musim hujan tiba, terutama saat Jakarta banjir, dituding sebagai  sungai yang membuat Jakarta tergenang. Daripada disebut-sebut sebagai salah satu jalur perdagangan besar di masa lampau, tempat dimana peradaban pernah bertumbuh. 

Ternyata tidak mudah menemukan kembali situs-situs perkebunan kopi tua, peninggalan Belanda. Begitu juga ketika saya tiba di lokasi prasasti kebun kopi, yang saya temukan hanya sehamparan tanah, yang sebagian ditanami pohon singkong, kemudian ada lapangan kecil yang tanahnya telah ditutup lapisan semen.  Kemudian, di sudut kanan tepat setelah pintu gerbang, ada saung terbuka, dilindungi pagar besi. Disitulah prasasti tapak gajah atau kebun kopi  tersimpan.  Berseberangan dengan prasasti tapak gajah, ada sebuah batu berbentuk lempengan, berdiameter antara 50-75 cm. Sebuah batu lempeng yang disebut-sebut sebagai bekas tempat pemujaan masyarakat Sunda  jaman dahulu.  Tidak satupun pohon kopi saya temukan di lokasi tersebut.  Penasaran dan sedikit kecewa , saya kembali mengitari lokasi, berharap masih menemukan tanaman kopi di sekitar. Tetap saja, nihil.

Kang Dayat, tukang ojek yang mengantar saya seakan paham. Dia pamit sejenak, bergegas pergi, kemudian tak lama datang lagi sambil membonceng seorang bapak yang usianya sekitar 50 awal.  Pak Ugan, begitu beliau menyebutkan namanya.  Beliau adalah penjaga situs-situs bersejarah di sekitar tempat itu.  Selain prasasti tapak gajah, ada tiga prasasti lain peninggalan jaman megalitikum yang berada di kampung tersebut.  Saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Pak Ugan seputar kebun kopi di kampung Muara.
Beliau membenarkan, bahwa kawasan kampung Muara dulunya adalah kawasan perkebunan kopi.  Salah satu perkebunan kopi yang besar di daerah tersebut adalah perkebunan kopi miliki seorang tuan tanah Belanda, Jonathan Rig.  Setelah Belanda tak lagi berkuasa di Indonesia, kebun-kebun kopi tersebut masih dilanjutkan oleh petani-petani pribumi. Meskipun sebagian sudah tergantikan dengan tanaman perkebunan lain yang saat itu sedang menjadi primadona,  termasuk menggantinya dengan tanaman pohon karet. Mereka yang pada zaman kolonial Belanda menjadi buruh kerja paksa, kemudian mendapat kebebasan untuk menggarap sendiri. Bapaknya Pak Ugan sendiri, yang juga seorang petani, masih meneruskan bertanam kopi hingga akhir tahun 1970.  Rendahnya harga biji kopi di pasar pada waktu itu, sulitnya akses transportasi untuk mengangkut hasil panen, serta ketidakpahaman bagaimana mengolah biji-biji kopi dengan baik menjadi faktor yang membuat banyak petani kopi menyerah.  Berpindah menanam komoditas lain yang sebenarnya juga tidak terlalu memberikan hasil yang lebih baik bagi mereka.  Karena, apapun komoditi pertanian yang dihasilkan, petani tetap saja harus berhadapan dengan mekanisme pasar, mahalnya biaya bibit dan pupuk, serta akses transportasi yang sulit dijangkau.  Selain juga, sudah semakin banyak lokasi bekas kebun kopi yang kini beralih fungsi menjadi lokasi perumahan.

Perbincangan kami sesekali diisi tawa, tawa dari canda satir tentang bangsa yang malang.  Kalau zaman kolonial, petani kopi tidak dapat sejahtera karena harus tanam paksa.  Kalau sekarang, tidak sejahtera karena terpaksa juga, tapi terpaksa jual.  Terpaksa jual hasil panen, meski harganya anjlok. Terpaksa jual lahan atau kehilangan lahan.  Terpaksa membusuk karena akses transportasi sulit.

Di tengah obrolan, hidung saya disentil oleh aromi seduhan kopi dari warung yang tak jauh dari tempat kami berdiri.  Aroma kopi pabrikan, kopi instan yang dikemas dalam kantung-kantung plastik.  Saya menggoda Pak Ugan dan Kang Dayat si tukang ojek, mengatakan bahwa mestinya petani kopi di Kampung Muaralah yang memproduksi kopi-kopi untuk dihidangkan di rumah dan di warung-warung di kampung tersebut.  Pak Ugan tertawa, tawa yang juga menyimpan rasa kecut, dia kembali menggoda; “Iya, mestinya mbak datang kesini juga bisa melihat prasasti sambil menikmati kopi kampung milik petani disini. Sayang Pemerintah tidak punya perhatian ke arah sana, petani mau susah, mau harga panen jatuh, yaa dibiarkan begitu saja.  Termasuk membiarkan saja petani kopi disini pada saat harga kopi dulu pernah jatuh”.  “Jangankan membantu pelestarian kebun kopi jaman dahulu, membuatkan informasi untuk memberitahukan pada masyarakat, bahwa disini pernah ada perkebunan kopi peninggalan zaman kolonial saja tidak dilakukan”, demikian Pak Ugan melanjutkan.
Yaa.., benar, tidak ada bukti apapun sebagai jejak yang dapat ditelusuri untuk memastikan bahwa Kampung Muara tersebut dulunya termasuk lokasi perkebunan kopi tua.  Selain tulisan pada papan 1.5 x 1 meter milik dinas kebudayaan dan pariwisata yang telah menguasai lahan 1.700 m persegi tersebut, yang isinya; KEBON KOPI I (TAPAK GAJAH), kemudian diteruskan dengan mencantumkan tentang ketentuan pidana pasal 103 dan 106 mengenai sanksi perusakan dan pencurian cagar budaya.
Langit di barat mulai memerah. Saya minta izin pada Pak Ugan untuk segera balik ke kota Bogor.  Kira-kira 500 meter perjalanan, Kang Dayat menghentikan motornya, mengajak saya berdiri sejenak di atas beton pembatas jalan.  Nun di kejauhan, di bawah, tampak hamparan kebun membentang di sepanjang aliran sungai cisadane.  Alirannya cukup besar, airnya berwarna coklat. Kata Kang Dayat, sisa hujan deras sehari sebelumnya.  Saya mencoba bayangkan bagaimana daerah tersebut dulunya, selama berabad-abad pernah menjadi kota pelabuhan sungai yang cukup besar.  Tidakkah sebenarnya, akses transportasi air tersebut akan lebih memudahkan masyarakat sekitar sungai untuk membawa hasil panennya ke kota-kota lain di sekitar aliran sungai, daripada harus mengangkut ke jalur darat yang cukup sulit dijangkau. Sayang Pemerintah tidak punya sense ke arah sana. Bukannya mengaktifkan kembali moda transprtasi air yang pernah kita miliki, malah membangun jalan-jalan besar yang sebagian dilakukan dengan merambah hutan.  Maraknya pembangunan infrastuktur jalan terutama sangat dirasakan di era pemerintahan orde baru, dengan banyaknya tawaran pinjaman luar negeri untuk berbagai sektor pembangunan, terutama infrastuktur.  Yang juga mematikan infrastuktur lama yang pernah menopang perkenomian nusantara.

Saya melanjutkan perjalanan dengan angkot Ciampea-Laladon, setelah Kang Dayat menghantarkan hingga ke simpang lebak.  Di sepanjang perjalanan pulang, saya jadi bingung akan menulis apa tentang kunjungan ke prasasti kebun kopi.  Karena sebenarnya tujuan saya ingin mengunjungi kebun kopi tua, yang ternyata tak lagi meninggalkan jejak.  Semoga masih ada situs perkebunan kopi di lokasi lain yang dapat jadi pelajaran sejarah bagi bangsa ini,  bahwa disitu juga ada sejarah tanam paksa oleh kolonial yang membuat petani-petani kita menderita justru pada saat kopi tanah air merajai pasar dunia.  Kondisi yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan saat ini, petani-petani kopi yang memetik keuntungan sedikit pada saat minuman kopi menjadi minuman nomor satu di café-café yang tersebar di Indonesia.

(bogor, 31.03.13)

Petani Kopi dan Mimpi Kesejahteraan yang Tergerus


Dapatkah kedaulatan petani kopi dikembalikan…? Agar mereka dapat menentukan pilihan terhadap proses dan tahapan produksi selepas panen yang akan mereka lakukan. Agar mereka juga dapat melakukan negosiasi nilai jual sesuai dengan kualitas kopi yang mereka hasilkan.  Agar mereka dapat menentukan dengan siapa dan kepada siapa mereka akan menjual kopi-kopi hasil olahannya. 

  ---- (pertanyataan-pertanyaan yang selalu terlintas di setiap silaturahmi dengan petani kopi) ----


“Kalau saya menjual kopi hasil kebun saya dengan harga yang lebih mahal dari harga dipasar, memangnya kenapa... Ini kopi saya, saya yang tanam, saya yang urus, saya yang memanen, saya olah sendiri dengan mutu yang baik, lalu saya kasih harga lebih mahal. Masa tidak boleh…” begitu salah satu sikap yang diperlihatkan Pak Gani, petani kopi desa Kayu Mas, Situbondo, sebagai bentuk perlawanannya terhadap jeratan sistem pasar yang sering membuat petani tak punya posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga  jual dari hasil kebunnya sendiri. Termasuk para petani kopi.

Sikap yang hampir sama yang diperlihatkan oleh Pak Abdul Rahman, petani kopi di desa Taman Asri, Kec. Ampel Gading-Malang, yang saya kunjungi dalam rangkaian perjalanan ziarah dan silaturahmi kopi. Dalam bincang-bincang kami, terselip pernyataan; “Pemerintah membiarkan petani-petani kopi dijajah oleh industri-industri kopi milik perusahaan asing, mereka membawa kopi-kopi terbaik, menjualnya dengan harga mahal, tetapi membeli dari petani dengan harga yang sangat murah.” 

Di Indonesia, kita hanya menemukan sedikit petani yang secara sadar, baik individu maupun terorganisir berani bertindak dan bersikap seperti Pak Gani dan Pak Abdul Rahman.  Pengetahuan, keterampilan, penguasaan atas beberapa modal produksi serta jaringan pemasaran menjadi faktor yang turut memperkuat sikap tersebut.  Sebagian besar lagi, petani kopi di Indonesia tak memiliki posisi tawar yang kuat menghadapi mekanisme pasar. 

“Bisa Murah, Bisa Mahal” 

Berapa harga secangkir kopi hitam di café-café yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia…?  Rata-rata 10 ribu. Beberapa café bahkan menjual hingga diatas 20 ribu rupiah percangkir.   Berapa harga kopi kering (greenbeans) untuk jenis arabica dari petani kopi ke tengkulak…? Rata-rata 30 ribu, tanpa sortir. Kalau lagi bagus, harganya mencapai 35ribu rupiah perkilo.  Di tingkat pengepul, beberapa melakukan pensortiran, untuk memilah biji kopi yang bagus dengan yang rusak.  Biji kopi yang telah disortir mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi, bisa mencapai 60ribu rupiah perkilo. Sekilo biji kopi yang belum disortir rata-rata menghasilkan sekitar 700 gram kopi hasil sortiran. Lalu, kenapa petani tidakmenjual kopi yang telah disortir ke pengepul…? Karena di pasar, pengepul tidak membedakan harga kopi kualitas bagus yang diperoleh dari hasil sortir dengan biji kopi campur.  Jadi, bagi petani, untuk apa melakukan pensortiran, jika harga jual yang mereka terima sama saja. 
Mari kita lanjutkan cerita perjalanan biji-biji kopi, harga jualnya yang melambung di café-café dengan kisah petani-petani kopi. 

Biji kopi kering (yang biasa disebut greenbeans) jika sudah diroasting tentu harga perkilonya akan lebih tinggi lagi, bisa mencapai rata-rata 200 ribu rupiah. Untuk beberapa jenis kopi yang dianggap spesial dan susah ditemukan (misalnya kopi wamena dan kintamani) perkilonya bisa mencapai300 sampai 400 ribu. Dari 700 gram greenbeans (hasil sortir) menjadi biji kopi hasil roasting, penyusutannya rata-rata 15-20 persen.  Sehingga hasil roasting yang diperoleh sekitar 560 gram.Dengan harga 200 ribu perkilo maka jika dikonversi ke rupiah, 560 gram hasilroasting setara dengan nilai 112 ribu. Setelah digiling menjadi bubuk kopi, 560 gram kopi tersebut bisa menghasilkan rata-rata 56 cangkir kopi tubruk. Jika dikonversi dalam rupiah, dengan harga percangkir 10 ribu, maka harga 56 cangkirkopi tersebut bisa menghasilkan 560 ribu rupiah.

Dari perhitungan rata-rata diatas, kita bisa lihat gambaran kasar perbandingan harga sekilo biji kopi kering (greenbeans) tanpa sortir yang dijual petani ke pengepul seharga 30 ribu, hingga menjadi sekitar 560 gram bubuk kopi yang jika diseduh di café-café dengan ukuran seduhan standar yang biasa digunakan para barista akan menghasilkan 56 cangkir kopi dengan total harga penjualannya sebesar 560 ribu rupiah (untuk hitungan harga secangkir kopi 10 ribu). Hitungan penjualan tersebut tentu masih hitungan perolehan kasar yang harus memasukkan juga biaya-biaya pengolahan, termasuk mesin, alat seduh,dsb.  Tetapi tetap saja ada selisih penghasilan yang semestinya bisa dinikmati petani jauh lebih besar daripada mereka menjual dalam bentuk biji kopi kering (greenbeans), apalagi jika tanpa sortir.

Lalu, jika demikian, murah atau mahalkah harga sekilo kopi di tangan petani..? Sangat tergantung, kopi yang dihasilkan petani tersebut dalam bentuk apa dan hasil dari proses apa… Jika dalam bentuk biji kering tanpa sortir, yaa, harganya murah. Tapi jika petani menjual dalam bentuk biji kering hasil sortir, apalagi jika punya jaringan langsung ke café-café dan bisa menjual kopi hasil sangrai tentu akan menjadi mahal.  Tapi fakta yang umum terjadi, petani kopi di Indonesia hanya mampu menghasilkan biji kopi kering tanpa sortir yang penjualannya sudah diblok ke tengkulak dan para pengepul di pasar-pasar terdekat. Bahkan, banyak petani kopi yang hanya mampu menjual biji kopi baru petik, dengan harga perkilonya hanya 4000 hingga 6000 ribu rupiah (sebagai catatan, dari 1000 gram biji kopi baru petik, menghasilkan sekitar 350 gram biji kopi kering).

Mengembalikan Kedaulatan

Dapatkah kedaulatan petani kopi dikembalikan…? Agar mereka dapat menentukan pilihan terhadap proses dan tahapan produksi selepas panen yang akan mereka lakukan. Agar mereka juga dapat melakukan negosiasi nilai jual sesuai dengan kualitas kopiyang mereka hasilkan.  Agar mereka dapat menentukan dengan siapa dan kepada siapa mereka akan menjual kopi-kopi hasil olahannya. 

Mestinya dapat. Jika, pengetahuan dan keterampilan pengolahan kopi paska panen di setiap tahapan menjadi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petani.  Bukan hanya menjadi domain para pengepul, pabrik-pabrik kopi dan para barista peracik kopi di café-café.  Jika, akses untuk penguasaan modal produksi (mesin, gudang, dsb..) sebagai modal dasar dalam pengolahan paska panen didekatkan kepada petani. Jika, jaringan untuk akses pemasaran kopi dibuka seluas-luasnya bagi petani. Sehingga petani dapat menentukan dimana/kemana mereka akan menjual kopi hasil olahannya dan bernegosiasi langsung untuk menentukan harga jual berdasarkan mutu yang mereka telah hasilkan.  Jika, seluruh syarat dan prasyarat tersebut dijamin sepenuhnya melalui kebijakan yang seharusnya dilahirkan olehpemimpin dan para penentu kebijakan di negara Indonesia tercinta ini. 

Fakta yang sesungguhnya terjadi, jangankan untuk kedaulatan atas hasil panennya, kedaulatan atas tanah sebagai modal dasar basis produksi pun saat ini tengah terancam, dengan semakin kuatnya desakan investasi masuk ke Indonesia untuk menguasai tanah yang saat ini merupakan lahan-lahan garapan petani.

- Semoga catatan ini, tidak mengurangi nikmatnya seruput kopi yang singgah di lidah para peminum kopi di cafe-cafe atau dimanapun saja. Sehat, sehat, sehat, kesejahteraan dan limpahan kebahagiaan kiranya menyertai keluarga petani-petani kopi di Indonesia - 

(sekelumit catatan dari perjalanan ziarah kebun kopi kekayu mas-situbondo, ijen, ampel gading-malang, dan hasil obrolan denganteman-teman pecinta kopi di rumah kopi ranin-bogor -terimakasih untuk kebaikan berbagai cerita dan informasi-)

bogor, 23.06.13

Rabu, 10 Juli 2013

Ziarah kebun Kopi (bagian 4 - selesai)


(catatan menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

“Kopi Amstirdam bukan kopi dari kota amsterdam, mbak. Melainkan kopi dari daerah sini, lah wong amstirdam itu singkatan dari; ampelgading, sumber manjing, tirtoyudo, dampit. Bahan baku kopinya ya dari petani-petani di empat kecamatan itu, tapi tetap saja, yang punya usahanya bukan petani. Sepertinya punya asing.”
                                                       ------------------------

Pohon-pohon kopi itu jangkung, begitu juga lembaran daunnya lebar dan mengkilap.  Sangat berbeda jauh dari pohon kopi pada umumnya yang saya temukan dua hari sebelumnya di kawasan lereng ijen, kecil-pendek dengan daunnya yang juga berukuran lebih kecil. Secara kasat mata, perbedaan fisik itu dengan mudah menjadi penanda perbedaan kebun kopi arabika dengan robusta. Yaa, Ampelgading adalah satu dari beberapa kecamatan penghasil kopi di malang selatan, terutama kopi jenis robusta. Untuk mencapai Ampelgading, dari kota Malang butuh waktu sekitar satu jam. 

Minum kopi di rumah petani kopi

Pagi itu udara terasa segar, wangi bunga kopi begitu kuat meruap di sekitar jalan kampung.  Wanginya terperangkap di dalam mobil kijang tua yang saya tumpangi. Mobil tua itu milik cak luthfi, teman dari malang yang pagi itu menemani saya dan beberapa teman lain, ke kebun kopi Ampelgading.  Tujuan perjalanan kami hanya satu, menuju rumah pak abdul rahman, petani kopi.  Fauzan, anak laki-laki pak abdul rahman yang masih kuliah dikota malang turut serta bersama kami. 

Pak abdul rahman sedang berada dikebun ketika kami tiba di rumahnya. Sambil menunggu Fuazan menjemput abahnya, kami menikmati suguhan kopi panas.  Meskipun manisnya gula pada kopi seduhan itu cukup menggigit seperti pada umumnya kopi ala orang jawa, tapi saya masih menemukan citarasa kopi dibalik rasa manis itu.  Rasa dan aroma pahit  khas kopi robusta berbaur dengan aroma dan pahit akibat proses penyangraian yang lama.  Seperti itu memang pada umumnya petani kopi dan masyarakat di sekitar kebun kopi mengolah kopinya.  Mereka lebih suka menyangrai kopi hingga berwarna hitam pekat.  Teman saya nanya, gimana kopinya, mantab…? Kata saya pertanyaanya itu sulit, jawabannya relatif, karena sangat personal. Bagi saya ya nikmat-nikmat saja tuh. Karena saat meminumnya saya bisa sambil menciumi aroma kembang kopi, bisa melihat biji-bijinya yang hijau dan merah dari teras rumah pak abdul rahman, juga bisa ngobrol dengan petani kopinya. Jadi.., ya terasa nikmat saja. 

Dampit, sentra pengepulan kopi malang selatan

Pak abdul rahman orang yang sangat semangat jika berbicara tetang kopi. Ketika berbicara tetang tata niaga kopi, beliau paham bagaimana sesungguhnya posisi petani.  Salah satu yang saya tangkap dari pembicaraannya adalah lemahnya daya tawar petani kopi ketika menjual biji-biji kopi hasil panennya.  Satu-satunya tempat penyaluran biji kopi dari petani yang paling mudah dijangkau ya ke pengepul di pasar dampit.  Dampit adalah salah satu kecamatan dimalang selatan yang juga menghasilkan kopi.  Sudah sejak lama, dampit dijadikan sebagai pusat pengepulan komoditas pertanian dari beberapa kecamatan di malang selatan.  Pemerintah Hindia Belandalah yang awalnya membuka sentra penampungan berbagai komoditas pertanian di dampit, untuk memudahkan sistem dagang mereka saat itu.  Bahkan hingga kini di sekitar pasar dampit masih ditemukan beberapa bangunan tua bekas gudang penyimpanan komoditas dagang kalonial belanda. 

Jadi, dari dulu, sejarah kopi di Malang Selatan, tak ubahnya seperti sejarah keberadaan kopi di daerah-daerah lain di Indonesia.  Tumbuh di perkebunan-perkebunan dibawah kendali pemerintah hindia Belanda, untuk menggenjot produksi, memenuhi kebutuhan kopi di pasar eropa.  Petani yang bertanam tak pernah terlibat dalam urusan tata niaga. Bahkan menanamnya pun semula karena terpaksa.  Kata pak abdul rahman, dari dulu, sejak jaman penjajahan, pertanian Indonesia memang sudah dikuasai asing.  Hingga saat ini pun masih terjadi, termasuk untuk kopi. Salah satu contohnya adalah kopi amstirdam, yang kabarnya berasal dari Malang. KopiAmstirdam bukan kopi dari kota amsterdam, mbak. Melainkan kopi dari daerah sini, lah wong amstirdam itu singkatan dari; ampelgading, sumber  manjing, tirtoyudo, dampit.  Bahan baku kopinya ya dari petani-petani di empat kecamatan itu, tapi tetap saja, yang punya usahanya bukan petani. Sepertinya punya asing. Hmm.., saya tidak tahu persis kata “asing” yang disebut pak abdul rahman maksudnya apa. Apakah negara asing, atau orang asing, atau orang-orang di luar petani dari empat kecamatan itu. Tapi saya memang tergelitik ketika satu kali mencari informasi lewat internet tentang kopi amstirdam yang dikenal sebagai penghasil kopi luwak. Kabarnya sih diproses oleh petani, tata niaganya dibawah salah satu perusahaan dagang di Singosari, Malang.  Tetapi perusahaan itu memiliki kantor cabang di Canada (?).

Kegenitan Dinas Perkebunan dan Lembaga Penelitian

Bagi saya, ada lagi hal menarik yang jadi sorotan pak abdul rahman di tengah perbincangan kami.  Soal kegenitan pemerintah, terutama dinas perkebunan dan lembaga-lembaga penelitian yang suka melakukan ujicoba perkawinan varietas kopi di kebun-kebun milik petani.  Ada yang menghasilkan buah kopi lebih banyak, tapi tidak sedikit juga yang justru lebih banyak membuahkan masalah.  Tidak jarang varietas baru hasil kawinan itu mengundang hama dan penyakit baru pada tanaman kopi yang tidak mampu diselesaikan oleh dinas perkebunan dan lembaga-lembaga penelitian tersebut.  Pak abdul rahman mengajak saya melihat beberapa pohon kopi hasil persilangan, juga penyakit tanaman kopi yang belum mampu dijawab solusinya. Penyakit itu meninggalkan biji-biji kopi yang menghitam dan kering, seperti gosong. 

Tentang tanah yang mesti diolah

Sambil berjalan kembali menuju kerumah pak abdul rahman, kami berbincang tentang tanah.  Perbincangan itu membawa kembali ingatan saya tentang Pak Gani di Kayumas, Situbondo.  Pak Gani dengan lahan kebun kopinya yang luas, sekitar 20 hektar, dan pak abdul rahman dengan luas kebun kopi sekitar 2 hektar.  Keduanya adalah petani kopi turun temurun. Keduanya punya sikap yang sama ketika bicara tentang tanah. Bahwa tanah adalah modal utama bagi petani. Tidak akan tergantikan dengan nilai uang berapapun. Karena manfaatnya dirasakan sepanjang kehidupan. Maka, mereka dengan tegas mengatakan tidak akan menjual tanahnya.  Lalu, ketika saya bertanya, siapa nanti yang akan meneruskan bertani…? Pak abdul rahman tidak menjawab dengan lugas, hanya memberi senyuman sambil melihat ke Fauzan, anaknya yang kuliah di kota Malang.  Tentu itu menjadi isyarat, yang semoga juga dimengerti oleh Fauzan. 

Menjelang pamit, saya memberikan Pak abdul rahman dua bungkus kecil kopi arabika yang saya bawa dari kayumas.  Sebungkus kopi masih berupa biji mentah (greenbeans), sebungkusnya lagi biji yang sudah matang, hasil penyangraian di rumah nanang, teman saya yang di situbondo.  Lama pak abdul rahman memperhatikan biji kopi yang saya berikan sambil membandingkan dengan biji kopi sisa penjualan mereka ke pasar dampit. Beliau berbincangsejenak dengan istrinya tentang selisih harga biji kopi hasil sortiran seperti yang saya bawa dari Kayumas dengan biji kopi yang tidak disortir. Sebelumnya beliau memang bertanya pada saya, berapa selisih harga biji kopi arabika yangsudah disortir dengan yang belum di tangan para pedagang kopi.  Saya memberikan informasi sepengetahuan saya saja. Tapi yang jelas, harganya berbeda jauh sekali dengan harga biji kopi jika dijual ke pengepul.  “Itulah, pengepul itu tidak mau membedakan harga kopi hasil sortir dengan biji kopi kualitas campur, makanya petani kopi di sini tidak pernah melakukan proses penyortiran sebelum menjual biji kopinya” begitu pak abdul rahman menjelaskan.  Iya Pak abdul rahman, pengepul pada umumnya begitu. Karena mereka tahu, jika itu dilakukan, mereka tidak bisa mengambil keuntungan lebih besar, keuntungan itu akan menjadi miliki si petani kopi.  Itu sebabnya sebagian pengepul justru mengambil untung dari selisih harga kopi berdasarkan kualitas, yang didapat dengan membedakan kopi sortir dengan campur, dan mereka melakukan penyortiran sendiri. Kecuali petani kopi memang sudah punya jaringan pemasaran sendiri langsung ke pengguna kopi, tidak melalui pengepul.

Pak abdul rahman memberikan saya sebungkus biji kopi robusta yang masih mentah (greenbeans), sebelumnya dia dan istrinya menyortir sebagian dengan mengeluarkan beberapa biji kopi yang tampak tidak utuh.  Kata saya, tidak usah disortir. Biar saya bawa apa adanya, nanti saya sortir sendiri, sekalian melatih kesabaran memilah satu persatu biji-biji kopi. 

Silaturahmi ke rumah dan kebun kopi pak abdul rahman di ampelgading, malang selatan adalah perjalanan terakhir saya melakukan peziarahan ke kebun-kebun kopi kali ini.  Tentu tidak akan mampu memotret beragam kekayaan kopi nusantara. Perjalanan ini hanya silaturahmi, sambil belajar merasakan apa yang dirasakan petani. Meraba apa yang tampak di kebun-kebun kopi, mencium aroma jejak masa lalu pada kebun-kebun kopi tua dan melihat apa yang ditinggalkannya bagi generasi saat ini. 

Terimakasih yang teramat dalam untuk teman-teman yang menyertai di penggalan perjalanan. Terimakasih untuk teman-teman di Malang, cak luthfi dan kawan-kawan. Semoga kegelisahan yang memuncah selepas diskusi dengan pak abdul rahman menemukan penyalurannya. Membangun satu  pengelolaan kopi dari hulu ke hilir, dengan pasar alternatif, melepas jerat pasar mainstream

                                                      ----------  selesai -----------

Senin, 08 Juli 2013

Ziarah Kebun Kopi (bagian 3)


(menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

Kalau mau minum kopi yang enak, jangan pergi ke kebun kopi. Tapi pergilah ke café-café yang menyediakan berbagai seduhan kopi dengan beragam citarasa.  Ironis memang, karena tidak sedikit warung-warung sekitar kawasan kebun kopi yang menyajikan kopi sasetan dari berbagai produk.  Kalaupun tersedia kopi tubruk, rasanya tidak lebih baik dari rasa kopi sasetan.  

                                                            -----------------------

Sebenarnya saya tidak ingin mengamini pernyataan di atas. Tapi fakta itu saya temukan ketika mengunjungi beberapa kebun kopi. Klimaksnya, ketika saya mendatangi kawasan perkebunan kopi di lereng ijen, Bondowoso.  Pagi itu  cuaca menuju perkebunan kopi di lereng ijen cukup bersahabat. Udara dinginnya tidak begitu menusuk. Di depan sebuah warung, saya meminta Faisol - teman yang menghantar saya - untuk menghentikan laju motor yang kami kendarai.  Warung itu sangat sederhana, seperti pada umumnya warung kopi di perkampungan.  Yang membuat saya sedikit kecewa adalah aneka produk kopi saset yang bergelantungan di dinding dekat etalase warung.  Saya mencoba tak terpengaruh, tetap memesan segelas kopi hitam.  Tak lama dua gelas kopi hitam tersaji di atas meja, untuk saya dan faisol.  Saya menyeruput sedikit, faisol juga mengikuti. Lalu kami saling berpandangan, saya mengangkat alis, dibalas faisol dengan menahan senyum. Begitu kami mengungkapkan kecewa, karena yang kami rasakan sebenarnya air kopi yang sangat encer dengan rasa gula dominan.  Di kursi lain yang takjauh dari tempat duduk saya, seorang bapak justru memesan kopi saset.  Nyaris tidak ada bedanya minum kopi dikawasan pegunungan ijen dengan minum kopi di warung-warung yang tersebar dipasar atau terminal. 

Setelah melanjutkan kembali perjalanan hingga menjelang pulang, saya sempatkan untuk masuk lagi ke dua warung lain.  Dari dua warung terakhir yang saya datangi, hanya satu warung yang menyajikan kopi sedikit lebih baik, lebih terasa kopi.  Persamaan yang mencolok dari ketiga warung kopi tersebut terletak pada pemandangan di sekitar dinding warung, gelantungan warna warni plastik kopi saset-an dari berbagaiproduk. 

Yaa.., mengunjungi perkebunan kopi di kawasan pegunungan ijen memang bukan pilihan yang tepat jika tujuannya untuk memanjakan lidah, merasakan nikmatnya kopi terbaik yang dihasilkan dari perkebunan tersebut.  Itu sebabnya, setiba di kawasan perkebunan itu saya lebih fokuskan untuk motret tanaman kopi arabika dan ngobrol dengan beberapa buruh perempuan pemetik buah kopi.  Ada juga dengan petani penggarap, menanam kopi di lahan Perhutani, dengan sistem bagi hasil.  Apakah mereka, para buruh petik kopi dan petani penggarap menikmati juga kopi arabika yang mereka tanam dan petik..? Atau justru dapur-dapur mereka juga diisi oleh kopi saset dari berbagai produk..?  Entah, yang pasti, seorang buruh petik kopi di perkebunan milik Perhutani di pegunungan ijen bercerita bahwa mereka hanya terbiasa minum kopi yang sudah dicampur dengan beras atau jagung sangrai. Itupun, bahan kopinya mereka dapat dari memungut biji kopi yang sudah jatuh ke tanah. 

Saat bersiap untuk pulang, ketika masih di warung kopi terakhir, saya bertanya pada seseorang yang tampaknya sudah terbiasa datang ke kawasan ijen dan cukup akrab dengan ibu pemilik warung.  Pertanyaan saya sederhana, apakah mereka tahu dimana kedai kopi di kawasan itu yang bisa menyajikan kopi arabika ijen dan bisa menjelaskan sedikit tentang karakter kopi tersebut.  Laki-laki yang saya tanya itu, yang kemudian saya ketahui bernama Johanes, tertawa. Dia justru memberikan pernyataan hampir sama seperti yang tertuang diawal tulisan saya ini. “Kalau mau minum kopi yang enak di sekitar sini, jangan ke kebun kopi ini mbak, lebih baik ikut saya ke banyuwangi, disana ada kedai kopi yang menyajikan beberapa jenis kopi dan kita bisa diskusi kopi dengan pemiliknya” begitu pernyataan mas Johanes meyakinkan saya.


Kopi kurangajar, kopine kafe.

Butuh waktu sekitar satu jam, dari kawasan kawah ijen ke Banyuwangi. Beruntung faisol masih berbaik hati mengantar saya. Motor kami beriringan dengan motor mas johanes yang berboncengan dengan mbak selly, istrinya. Serta motor seorang lagi temannya yang juga berasal dari Banyuwangi.  Terakhir baru saya ketahui kalau kehadiran mereka di kawasan kawah ijen hanya untuk istirahat sejenak dari perjalanan panjang yogyakarta-banyuwangi. 

Kopine kafe terletak di kota Banyuwangi, tepatnya di jalan wijaya kusuma, dekat gor tawangalun.  Jarum jam mengarah ke angka 3 sore ketika kami tiba di kedai kopi itu.  Tidak banyak pengunjung, hanya ada 3 orang di satu meja.  Saya mondar mandir sejenak di depan etalase, memperhatikan beberapa biji kopi yang telah dikemas rapi lengkap dengan nama kopi di tiap kemasan.  Juga memperhatikan beberapa alat   pembuat kopi sederhana dengan merk tertentu. Lalu saya menuju meja yang telah ditempati mas johanes dan mbak selly, bergabung bersama mereka.  Tak lama kemudian, om willy, pemilik kedai datang membawa gelas keramik kecil, beberapa jenis biji kopi dan mesin pembuat kopi espresso untuk penyajian tiga cangkir kecil. 

Tak banyak basa basi sebagai obrolan awal.  Saya mengeluarkan biji kopi kayumas yang saya dapat dari hasil penyanggraian di rumah nanang, teman saya yang menggeluti kopi di situbondo.  Om willy menggilingnya segenggaman, lalu menyajikannya dicangkir keramik sudah dalam bentuk minuman.  Saya, faisol dan mas johanes mencicipinya, mencoba merasakan dan kami sedikit mendiskusikan rasa itu. Lalu om willy beralih ke biji kopi lain, yaitu arabika gayo, menggiling hingga menyajikannya kembali dalam bentuk minuman di cangkir keramik kecil. Obrolan kami terus berlanjut, mendiskusikan karakter beberapa jenis kopi arabika lain dari geografis yang berbeda. Saya menolak tawaran om willy untuk mencoba yang arabika toraja sebelum biji kopi itu masuk ke penggilingan, karena saya sudah cukup akrab dengan jenis kopi itu. Sebaliknya, antusiasme saya muncul ketika om willy menyodorkan arabika khas banyuwangi, sayang saya lupa mencatat nama geografisnya, yang pasti buka kalibendo (salah satu wilayah geografis penghasil kopi arabika yang cukup terkenal di banyuwangi).   Aroma karamel terasa lebih kuat, diikuti sedikit aroma asam segar. Kata om willy, aroma karamel itu hanya keluar jika proses roasting dilakukan dengan tepat.

Dari berbagai kopi yang singgah di lidah saya sore itu, hanya kopi “kurangajar” yang saya cecap hingga berulang-ulang.  Entah apa sebab, om willy menamakannya kopi kurangajar, kata om willy karena dia belum menemukan nama yang tepat untuk karakter kopi bland itu.  Tapi sepertinya, disebut kurangajar karena kopi bland itu berhasil mengelabui si peminumnya.  Si peminum kopi itu tidak akan merasakan rasa pahit ketika cairan itu menyentuh ujung lidah. Tapi saat diteguk, rasa pahitnya menempel di pangkal lidah dan tak hilang kecuali dinetralisir dengan beberapa kali tegukan air mineral.  Om willy dan mas johanes tertawa ketika saya mengilustrasikan perkenalan saya dengan kopi kurangajar racikannya itu seperti perkenalan dengan seorang laki-laki tengil yang tengilnya itu sangat menyebalkan tapi bikin kangen. 

Meskipun saya terkesan dengan kopi racikan kopine kafe yang mencampur kopi arabika dari tiga wilayah geografis yang berjauhan (gayo, toraja kalosi, yang satunya lagi saya disuruh menebak tapi tidak berhasil dan om willy masih merahasiakan), sebenarnya saya tidak suka kopi bland.  Kopi campur itu memang berhasil memunculkan satu citarasa tertentu yang cukup kuat karena mengambil kebaikan-kebaikan karakter dari tiap-tiap kopi, tapi sekaligus menenggelamkan karakter geografisnya. Dengan bahasa yang berbeda, om willy mengingatkan saya, bahwa meskipun kita menyukai satu karakter kopi tertentu, tetapi tidak berarti kopi lain tidak bagus.  Karena sesungguhnya, setiap jenis kopi, setiap varietas kopi, setiap wilayah geografis penghasil kopi pasti memiliki karakternya sendiri-sendiri. Pernyataan itu menjelaskan bahwa, kopi nusantara itu sangat beragam dan memiliki karakter yang sangat kaya. Penjelasan itu sekaligus memunculkan kembali kegelisahan saya, kenapa kedai-kedai atau tempat ngopi di sekitar kebun kopi tidak cukup berhasil menyajikan kekuatan karakter kopi yang dihasilkan kebun kopi itu…? Apakah karena biji kopi terbaiknya sudah dibawa keluar untuk memenuhi kebutuhan pasardi luar wilayah kebun kopi itu, atau hanya persoalan cara pengolahan dan penyajian…?

Jarang sekali memang menemukan peralatan pengolahan biji kopi serta pengetahuan penyajian kopi yang bisa memunculkan karakter kopi, mendekat dan dimiliki oleh petani dan masyarakat disekitar wilayah perkebunan kopi. Petani kopi dan masyarakat di sekitar wilayah kebun kopi (baik kebun rakyat maupun suasta) yang banyak menggeluti kopi di bagian hulu, sebenarnya tahu bahwa ada proses yang dilakukan di hilir.  Tetapi mereka sulit sekali untuk bisa berdekatan dengan proses hilir tersebut.  Seperti dua kutub yang saling berjauhan, kutub utara tahu ada kutub bagian selatan, tapi butuh jangkauan dan perjalanan panjang untuk dapat menyentuhnya. 

Sehingga, menjadi tak aneh, jika kemudian pengetahuan pengolahan kopi dan penyajian yang bisa memuncul kankarakter jenis kopi dari wilayah geografis tertentu lebih berkembang dicafé-café, di tangan para barista, orang-orang yang selama ini lebih dekat dengan akses pengetahuan dan keterampilan penyajian kopi. 

Kunjungan ke kopine kafe saya tutup dengan menyeruput sajian terakhir, yaitu kopi luwak dari tanah blambangan. Kopi yang menurut saya lebih menyajikan kemewahan rasa. Rasanya yang terlalu lezat membuat si peminum kopi luwak seperti kehilangan tantangan. Satu-satunya tantangan yang muncul saat minum kopi luwak pada harganya yang selangit.  Dalam hal ini, menurut saya pasar cukup berhasil mengangkat harkat martabat biji kopi yang sudah menjadi sampah (awalnya dianggap sampah, karena sudah jadi kotoran luwak), menjadi komoditas yang memiliki nilai jauh lebih tinggi dari biji kopi aslinya. 

Perjalanan mengunjungi kopine kafe saya anggap sebagai bonus penziarahan ke kebun kopi di pegunungan ijen.  Saya bisa mendapat cerita tentang beragam karakter kopi nusantara hanya di satu café dan bisa silaturahmi dengan teman-teman baru; mas johanes dan mbak selly, serta dengan om willy yang mengganggu lidah saya dengan racikan kopi kurangajarnya.  Meskipun tidak akan bisa menggantikan impian saya untuk bisa mencicipi kopi arabika dari perkebunan ijen langsung dikebun kopi itu.

Tepat jam 8 malam, mobil travel menjemput saya di rumah keluarga mas johanes. Saya beruntung, setelah dari kopine kafe masih sempat membersihkan badan di rumah mas johanes dan mbak selly.  Sehingga bisa lebih nyaman selama diperjalanan menuju ke kota malang. Tinggal satu lagi rute perjalanan ziarah kebun kopi saya kali ini, malang selatan.  Tempat Belanda pernah meninggalkan sebaran bibit kopi robusta. 

                                                                
                                                                 ---- (bersamboeng)----

Ziarah Kebun Kopi (bagian 2)


(catatan menyusuri jejak kebun kopi tua; kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

Absurd, para barista di Indonesia umumnya merujuk pada Amerika untuk menentukan standard citarasa kopi. Indonesia, sebagai negara penghasil biji kopi merujuk pada amerika, negara yang tidak mempunyai kebun kopi, untuk menentukan standard citarasa kopi. Apakah karena Amerika adalah negara yang mengendalikan ekonomi global, termasuk perdagangan kopi dunia…?

                                                  ----------------------------

Perjalanan saya untuk ziarah kebun kopi baru sampai Kayumas, Situbondo.  Itupun tidak bisa lama, tentu tidak terlalu banyak juga catatan yang bisa saya kumpulkan. Hanya sepenggal catatan silaturahmi seperti yang saya tuliskan pada tulisan ziarah kebun kopi (bagian 1).  Sambil menanti perjalanan esok harinya ke ijen, waktu yang tersedia selama satu malam saya gunakan untuk silaturahmi di rumah nanang[1] sekaligus berkenalan dengan keluarga kecilnya.


Silaturahmi kopi di rumah nanang dan alin

Sebenarnya tidak hanya agar dapat beristirahat sejenak, berkunjung ke rumah nanang juga untuk mendengarkan cerita nanang dan alin bagaimana perjalanan awal mereka mulai berkecimpung dipengolahan biji kopi. Di rumah mereka saya berkesempatan melihat biji kopi arabika kayumas dalam bentuk greenbeans (saat perjalanan ke rumah pak gani di kayumas saya tidak mendapatkan greenbeans, karena persediaannya sudah habis, sementara musim panen kopi juga belum memasuki puncak dan belum ada pengolahan).  Tidak hanya itu, saya juga dapat berdiskusi dengan nanang seputar pengolahan biji kopi, mulai sejak buah dipetik hingga menghasilkan kopi yang telah disangrai. Sambil nanang mempraktekkan cara kerja mesin sangrai kopi yang terletak di ruang mungil, pada lantai dua di rumahnya. 

Pasangan muda itu memang baru pada tahap menata usaha pengolahan biji kopi dengan andalannya kopi arabika kayumas, dan saat ini mulai mengembangkan juga kopi luwak kayumas.  Usahanya dilakukan secara bertahap, dimulai dengan jualan biji kopi hasil olahan dari kayumas.  Kemudian menyangrai sendiri secara manual (menggunakan kuali tanah) biji kopi kering, dan sebagian menjadikannya kopi bubuk.   Lalu mulai memiliki mesin roasting kopi, memesannya secara khusus, dengan mempelajari mesin roasting pabrikan. Kini proses roasting biji kopinya sudah didukung dengan mesin yang lebih baik dari mesin yang sebelumnya. Keuletannya membangun akses pemasaran dengan memanfaatkan jaringan yang sebelumnya sudah dimiliki membuahkan hasil. Dua tahun membuka usaha pengolahan biji kopi, kini nanang dan alin sudah mempunyai pelanggan tetap. Beberapa café di Jakarta secara rutin memintanya mengirimkan biji kopi hasil roasting.

Tidak mudah memang membuka jaringan pemasaran kopi di tengah menjamurnya bisnis kopi dengan mekanisme pasar bebas seperti saat ini. Kekuatan informasi, tekhnologi dan jaringan menjadi faktor yang sangat  menentukan.  Usaha yang dilakukan nanang dan alin setidaknya membuktikan bahwa mereka harus menerabas ketiga faktor penentu itu.  Menggali sebanyak mungkin informasi yang berkembang tentang kopi, termasuk trend kopi yang saat ini sedang dinikmati para barista yang menjadi bahan baku andalan di café-café. Nanang dan alin juga cukup rajin mengikuti berbagai pameran dan kompetisi kopi. Terakhir, kopi hasil olahan mereka masuk 7 besar lelang kopi nusantara.  Selain juga mereka rajin membangun komunikasi dan memanfaatkan jejaring sosial untuk sekedar sharing produk atau menyapa komunitas-komunitas pecinta kopi.


Kopi, dari hulu ke hilir (membangun pasar aternatif…?)

Menekuri kembali setiap proses yang dilakukan nanang dan alin dalam membangun usaha pengolahan biji kopi, kemudian memanggil kembali ingatan tentang perjalanan sebelumnya, saat silaturahami dan berbagi cerita dengan petani kopi di kayumas. Rasanya seperti menapaki satu perjalanan panjang, tentang kopi dari hulu ke hilir.  Berbagai pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya disepanjang peziarahan kopi yang saya lakukan masih terus muncul bahkan hingga catatan perjalanan ini saya tuangkan.  Haruskah petani kopi melewati semua jalur yang disediakan oleh pasar agar mereka dapat mencapai titik akhir pejalanan kopi ke konsumen…?  Jika ya, harus demikian, dengan berbagai keterbatasan yang saat ini dihadapi petani kopi mungkinkah mereka dapat bersaing secara adil dengan pedagang kopi yang didominasi oleh industri pengolahan kopi skala besar…?  Tidak hanya karena kesenjangan jarak (secara geografis, sebagian besar lokasi petani-petani kopi sulit dijangkau), juga karena kesenjangan pengetahuan, jaringan dan akses tekhnologi. 

Atau, harus ada sistem alternatif dengan mekanisme yang lebih mudah dijangkau dan lebih menguntungkan petani, diluar mekanisme yang saat ini disediakan oleh pasar (mainstream) dibawah kendali sistem neolib. 

Yang dilakukan oleh nanang dan alin sebenarnya salah satu upaya untuk memotong rantai jalur perdagangan kopi.  Membangun kontak langsung dengan petani, sambil memindahkan pengetahuan kepada petani kopi terutama untuk menjaga kualitas bahan baku yang dihasilkan. Dengan kompensasi, petani bisa menerima harga jual biji kopi yang lebih tinggi yang diberikan dibanding harga pasar.  Sambil mereka sedang menata kemungkinan bentuk kerjasama lain yang bisa lebih menguntungkan si petani kopi. Karena bagaimanapun, ketika pilihannya adalah masuk dalam sistem pasar mainstream, maka konsekuensinya berbagai aturan main yang berlaku dalam pasar tersebut juga harus diikuti jika ingin memenangkan persaingan penjualan kopi di pasar kopi. Termasuk harus juga mengikuti standarisasi pengolahan biji kopi yangberlaku umum.  Bahkan, untuk citarasa kopi, para barista umumnya mengacu pada standar ujicoba citarasa kopi dunia yang dikeluarkan oleh SCAA (specialty coffee association of america). Absurd, para barista di Indonesia umumnya merujuk pada Amerika untuk menentukan standard citarasa kopi. Indonesia sebagai negara penghasil biji kopi merujuk pada amerika, negara yang tidak mempunyai kebun kopi untuk menentukan citarasa kopi. Apakah karena Amerika adalah negara yang mengendalikan ekonomi global, termasuk perdagangan kopi dunia…?

Mungkin yang harus banyak dikembangkan adalah gagasan dan upaya beberapa petani kopi baik perorangan maupun kelompok yang menciptakan ruang sendiri untuk menjangkau konsumen.  Dalam catatan saya, petani kopi di desa keceme, suroloyo, kulonprogo, yogyakarta, pernah melakukan itu.  Mengolah sendiri biji kopinya, mengemas sendiri, bahkan membuka kedai kopi sendiri di kota yogya untuk memperkenalkan produknya pada publik luas. Langkah tersebut bahkan disikapi secara positif oleh Pemerintah setempat, dengan ikut mengangkat kopi suroloyo sebagai andalan di kabupaten Kulonprogo.  Tidak perlu harus mengeluarkan biaya besar dan melewati berbagai rantai perdagangan untuk semata-mata melakukan eksport, memenuhi kebutuhan pasar kopi global, jika pasar lokal saja masih harus dipenuhi kebutuhannya.  Tidakkah lebih baik petani memainkan peran penting, menjadi penentu dalam pedagangan komoditas pertaniannya, meskipun untuk memenuhikebutuhan tingkat lokal, daripada tunduk pada mekanisme pasar global…? 

Saya menghentikan catatan saya malam itu, merebahkan tubuh, dan mencoba untuk memejamkan mata. Biji kopi coklat tua yang dihasilkan mesin roasting di lantai dua rumah nanang sesekali berkelebat, seperti kerikil-kerikil yang memberat di kelopak mata. Sampai saya tak lagi mampu membuka mata dan tak lagi dapat berpikir tentang kopi.

Pagi setelahnya, saya terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Alin, istri nanang mengetuk pintu kamar dan membawakan saya segelas coklat hangat. Alin juga yang membantu mencarikan seorang teman yang bisa menghantar saya pagi itu ke lereng ijen. Yaa.., seperti rencana awal, dari Situbondo saya akan melanjutkan perjalanan ke kebun kopi di lereng ijen, setelah mengistirahatkan tubuh semalaman di rumah nanang dan alin. Terimakasih, nanang dan alin untuk silaturahmi dan kebaikan berbagi.


                                                             ---- (bersamboeng)----


[1] nanang adalah teman baru saya yang saat ini sedang menggeluti perkopian di situbondo. pada tulisan ziarah kebun kopi (bagian 1) saya cukup banyak menyebut tentang nanang, sehingga tak perlu saya uraikan lagi dalam tulisan bagian 2 ini.

Ziarah Kebun Kopi (bagian 1)


(catatan perjalanan menyusuri jejak kebun kopi tua;kayumas-situbondo, ijen-bondowoso & ampel gading-malang selatan)

Yaa.., petani dimanapun di negeri ini, punya kesamaan persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh negara. Maka yang dilakukan petani-petani tersebut adalah membangun kekuatannya dan kelompoknya dengan cara mereka sendiri, agar mereka tetap bertahan, mengolah tanah dan terus bertani. 
                                                                      -----------

Malam semakin meninggi, jarum jam menunjukkan angka 10. Lalu lintas di jalan poros menuju Situbondo masih terlihat ramai.  Perjalanan Bandung-Malang yang  saya tempuh sebelumnya dengan kereta tak lagi menyisakan lelah.  Dua hari di kota Batu bersama kawan-kawan dari Malang cukuplah meluruhkan penat.  Seperti rencana sebelumnya, sayapun berpamitan dengan mereka untuk meneruskan perjalanan, menemui nanang, seorang teman baru yang akan menemani ke kebun kopi di Situbondo.  Adalah dhika, si peracik kopi dan pengelola kedai kopi ijo di bogor yang memberi saya nomor telphon nanang.  Tak tahu seperti apa persisnya pertemanan mereka, setahu saya dhika juga baru mengenal nanang, lewat komunikasi-komunikasi tentang kopi di twitter. Intinya, kopilah yang mempertautkan kami bertiga.  Bukan almamater, yang ternyata pernah sama-sama kami singgahi.   

Keesokan paginya, nanang sudah datang menjemput saya di penginapan sederhana di kota Situbondo. Penginapan yang tidak sempat saya perhatikan tiap sudutnya, karena kantuk yang sangat berat menyihir dan membuat saya tenggelam dalam tidur yang sangat lelap malam sebelumnya. Hingga nyanyian seorang teman musisi yang tersimpan sebagai nada panggil membangunkan. Memotong mimpi yang belum tuntas. Ternyata telphon dari nanang, dia sudah menunggu di lobby penginapan. Setelah sarapan dan mengawali pertemuan dengan bincang-bincang ringan seputar kopi, kami pun berangkat. 

Ahaa.., ternyata motor trail berwarna hijau sudah menanti di parkiran hotel.  Motor trail itu menjadi teman perjalanan nanang setiap kali dia ke kayu mas, menemui petani-petani kopi, begitu nanang bercerita tentang si motor trail.  Saya duduk diboncengan, berusaha senyaman mungkin. Meskiun sebenarnya agak sulit, karena ransel saya yang sangat berat menggangtung di punggung. Seperti beban yang menarik ke belakang menjauhi tubuh nanang.  Pasti situasinya juga membuat nanang tidak bisa membawa motor lebih  rileks, karena harus konsentrasi menjaga keseimbangan akibat beban berat yang menggantung dipunggung saya.

Senyum Pak Gani dan Tungku Penyangraian Kopi Mbak Sum

Menyusuri perjalanan menanjak sejauh 40 km dengan dengan motor trail, cukup melelahkan. Terutama karena hampir setengah jalan yang dilalui adalah bebatuan.  Kami berhenti di depan rumah Pak Gani, di kayu mas.  Senyum pak gani mengembang, menyambut kehadiran saya dan nanang di depan pintu rumahnya.  Senyum itu mengingatkan saya pada senyum Pak Kis, sesepuh didesa Keceme, Suroloyo, Kulonprogo, Yogyakarta.  Pak gani dan pak kis, dua-duanya adalah petani kopi yang memiliki senyum indah, senyum yang membekas di hati saya. 

Pak gani mungkin termasuk petani kopi yang cukup berhasil di Kayumas. Dengan luasnya lahan kebun kopi yang dimilikinya sebagai hasil warisan turun temurun, serta pengetahuan pengolahan kopi paska panen, diperkuat dengan jaringan pemasaran yang sudah dimiliki, cukup mempengaruhi pak gani dalam menentukan sikapnya.  Yaa..,menurut saya, pak gani termasuk petani kopi yang memiliki kesadaran, yang tahu harus bagaimana berhadapan dengan pelaku pasar dan Pemerintah. 

Salah satu pernyataannya yang membekas dalam ingatan saya, terkait kritiknya terhadap program-program bantuan dari pemerintah untuk petani kopi yang sering salah sasaran.  Termasuk kritiknya terhadap kelompok-kelompok petani kopi yang kepemimpinan dan kepengurusannya didominasi oleh orang-orang dekat aparat Pemerintah. Sehingga, ketika ada bantuan modal dan sarana maka orang-orang tertentu sajalah yang mendapat akses.  Apa yang kemudian dilakukan pak gani…? Menolak cara-cara yang dilakukan Pemerintah melalui program-program bantuannya. Berjalan sendiri, mengikuti kehendak hatinya.  Meskipun, dia sadar betul bahwa sikapnya tersebut tentu tidak disukai oleh sebagaian orang yang merasa diuntungkan dengan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok petani yag dekat dengan aparat pemerintah.

Melihat sikap kemandirian yang dilakukan pak gani kembali mengingatkan saya pada sikap yang diperlihatkan pak kis di desa keceme, suroloyo. Tapi dengan cara yang sangat berbeda. Pak gani dengan sikap keras dan tegasnya, dan pak kis dengan pendekatan kebudayaannya. Membangun kesadaran dan sikap kemandirian petani lainnya dengan memasukkan pada nilai-nilai budaya yang ada di desa tersebut.  Sambil mereka berkesenian.  Yaa.., petani dimanapun di negeri ini, punya kesamaan persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh negara. Maka yang dilakukan petani-petani tersebut adalah membangun kekuatannya dan kelompoknya dengan cara mereka sendiri, agar mereka tetap bertahan, mengolah tanah dan terus bertani.

Obrolan saya, nanang dan pak gani tidak lama. Kami harus melanjutkan perjalanan lagi, menuju rumah mbak Sum. Tapi sebelum berpisah, pak gani sempat mengungkapkan kekhawatirannya akan tanah-tanah petani yang mulai lepas ke tangan pemodal yang datang entah darimana.  Pemodal yang akan mengembangkan perkebunan kopi di sekitar kayu mas.  Membeli tanah dari petani-petani. Lalu petani tersebut nantinya akan mengolah lahan dimana…? Kalau bukan hanya jadi petani penggarap atau menjadi kuli tani di perkebunan-perkebunan tersebut.  Saya ingat betul kalimat dari pak gani; “saya tidak akan pernah menjual tanah kebun saya, karena tanah tak akan tergantikan oleh apapun.”  

Sayang waktu berkunjung ke kayumas hanya sebentar. Saya tidak sempat ke kebun kopi pak gani yang lokasinya cukup jauh dari rumah beliau. Sebenarnya sangat ingin kesana, terutama untuk melihat dan memotret beberapa pohon kopi arabika yang menurut pak gani termasuk sisa pohon kopi tua yang pernah ditanam Belanda di wilayah tersebut.

Tak sampai perjalanan 10 menit dari rumah pak gani, saya dan nanang tiba di rumah mbak sum.  Lokasi rumah mbak sum yang lebih tinggi membuat perbedaan suhu udara cukup terasa dibandingkan ketika berada di rumah pak gani. 

Mbak sum bukan petani kopi.  Tapi hidup berpuluh tahun di lingkungan kebun kopi.  Ketika saya tanya kenapa tidak nanam kopi, jawabannya sederhana, karena memang tidak punya tanah untuk nanam kopi.  “Kalau saya punya tanah, pasti saya nanam kopi, mbak” begitu pernyataan mbak sum.   Jawaban yang sangat sederhana, tapi menjadi tidak sederhana jika dikaitkan dengan keinginan mbak sum untuk mendapatkan tanah.  Meskipun tidak memiliki kebun kopi, tapi mbak sum berjualan kopi.  Mbak sum yang awalnya adalah buruh penangkaran luwak di perkebunan kopi di kayu mas, kini memilih keluar sebagai buruh dan melakukan penangkaran luwak sendiri.  Dia membeli kopi merah dari petani dengan harga lebih tinggi dari harga di pasar, lalu memberi makan luwak-luwak tangkarannya dengan biji kopi merah tersebut.  Ketika saya datang, hanya ada seekor luwak dalam kandang. “Nanti mbak, kalau kopi sudah panen baru saya menjerat luwak lagi, dan memeliharanya untuk beberapa saat, selama buah kopi merah masih ada. Kalau dipelihara terus menerus, rugi mbak, saya harus menyediakan makanan lain untuk si luwak. Jadi biar dia cari makan sendiri saja”. Demikian mbak sum menjelaskan.

Di dapur rumah mbak sum, di depan tungku perapian yang merah menyala, saya, nanang dan mbak sum ngobrol ditemani seduhan kopi luwak dalam cangkir keramik. Kantung plastik ukuran sepuluh kilo bersandar di dinding dapur dekat bale-bale. Di dalamnya sekitar 5 kilo kopi luwak yang telah di sangrai tampak coklat kemilau.  Saya membuka ikatannya, menyimpan biji coklat tua tersebut dalam memori kamera, lalu merasakan wangi biji kopi sangrai yang meruap kuat.  Sudah setahun lebih nanang dan mbak sum membangun akses pemasaran kopi luwak hasil olahan sendiri ke beberapa tempat di luar kayumas.  Bagi nanang, mbak sum lebih tepat sebagai mitra kerja. Karena meskipun usaha yang dibangun berawal dari gagasan nanang untuk mengajak mbak sum mengembangkan usaha kopi luwak, tetapi mbak sum bebas membangun jaringan pemasaran lain. Beberapa pembeli bahkan berhubungan langsung dengan mbak sum, dan mbak sum menentukan sendiri harga kopi luwak hasil olahannya tersebut. 

Hari mulai petang, saya dan nanang harus kembali ke Situbondo. Keesokan hari saya harus melanjutkan perjalanan ke ijen, dan nanang juga harus melanjutkan agendanya di kantor tempat dia bekerja yang telah tertunda sehari. Dua bungkus bubuk kopi luwak hasil olahan mbak sum menemani perjalanan saya sore itu.  Nomor telphon mbak sum sudah tersimpan di handphone. Begitu juga kenangan menyeruput secangkir kopi luwak selepas makan siang di depan tungku dapur rumah mbak sum sudah tersimpan di ingatan dan membekas di hati saya.  Terimakasih mbak sum, semoga silaturahmi kita terus terjaga.


                                                             ---- (bersamboeng)----