Tentang Coffee Blend dan Identitas Majemuk
(sekelumit penekuran terhadap kekerasan demi kekerasan yang terjadi mengatas namakan kebenaran identitas)
Ada kalanya kita butuh melakukan coffee blending. Dengan mengkombinasikan dua atau lebih kopi single origin, kemudian menemukan rasa baru yang dihasilkan dari proses percampuran, sebagai bentuk kesepakatan berbagai identitas kopi di dalamnya. Untuk membangunkan kesadaran kita, bahwa kenyataan yang sebenarnya, diri kita pun sesungguhnya adalah identitas yang majemuk, hasil perpaduan berbagai identitas sebagai unsur pembentuk, penggabungan dari ras, keyakinan agama, suku, idiologi, orientasi seksual, dsb.
Itu sebabnya, saya yang muslim, lahir di tanah angkola dari ibu bapak bersuku jawa, dan tumbuh besar di tengah teman-teman dengan latar belakang agama dan suku yang berbeda-beda, sulit menerima kenyataan bahwa kekerasan sara menjadi teror yang menghantui kehidupan bermasyarakat di sumatera utara. Masa kecil saya diwarnai sahabat-sahabat Kristen yang taat beribadah. Beranjak remaja kehidupan saya diwarnai keceriaan sahabat-sahabat dengan keragaman suku dan agama yang juga beragam (saya tinggal diapit tetangga-tetangga beragama islam, Kristen, Katolik, bersuku jawa, mandailing, batak toba, nias, serta satu tetangga kami menikah dengan perempuan Jepang). Sementara di rumah, saya dididik ibu yang masih menjalankan tradisi kejawen meskipun beliau juga taat menjalankan ibadah sebagai penganut agama islam.
Praktik keagamaan yang kami terapkan adalah praktik keagamaan yang didasarkan pada kesadaran tatanan politik dan sosial bahwa kami hidup di tengah masyarakat dengan identitas majemuk. Kami tidak mengenal kehidupan dengan identitas tunggal. Guru-guru madrasah tempat saya belajar mengaji serta ulama-ulama kami yang memberi tausiah di surau-surau semasa kami kecil tidak mengajarkan kebencian, terlebih pada tetangga/kerabat/sahabat kami yang beragama berbeda. Bagaimana mungkin saya membenci agama Kristen sementara wali kelas kesayangan saya yang mengajarkan saya membaca dan menulis di kelas 1 SD adalah seorang ibu guru beragama Kristen dan teman sebangku saya saat di SMA juga seorang penganut Kristen dan bersuku nias.
Demi menjaga kesadaran, pagi tadi saya meracik beberapa arabika single origin dan menghasilkan kopi blend. Saya menikmati kenyataan dari rasa yang dihasilkan. Rasa dengan identitas yang utuh, rasa yang meluruhkan ego ketunggalan. Identitas ketunggalan itu, cukuplah dinikmati di ruang-ruang kesendirian. Ruang-ruang dimana atmosfir ketunggalan itu memungkinkan untuk tumbuh. Sebab identitas kemajemukan itu, adalah kenyataan dari ikatan kebhinekaan yang sudah terbentuk sebagai buah kearifan turun temurun dalam tatatan politik dan sosial.
Dalam buku kekerasan dan ilusi tentang identitas, Amartya Sen mengutip sepotong puisi Ogden Nash “A Plea for Less Malice Toward None”
Anak sekolah mana saja bisa mencintai laiknya orang pandir,
Namun membenci itu, oh nak, butuh seni tersendiri.
Diulas kemudian oleh Amartya Sen dengan mengatakan; “Bahwa ilusi tentang identitas tunggal, yang menjadi landasan bagi mereka yang mendalangi konfrontasi, dipupuk dan dipelintir secara cermat oleh para pemimpin aksi penganiayaan dan pembantaian itu.”
Maka, ketika kebencian dan kekerasan atas identitas sara terjadi di daerah-daerah dengan masyarakat yang hidup turun temurun di tengah kemajemukan di negeri ini, pertanyaannya adalah.. “bagaimana mungkin itu bisa terjadi, kalau bukan dipicu, didalangi oleh pemimpin-pemimpin yang imajinasinya dipenuhi ilusi tentang kebenaran identitas yang tunggal, yang memaksakan kebenarannya dan membenturkannya dengan tatanan politik dan sosial yang dibangun secara beradab oleh masyarakat setempat secara turun temurun.
Selamat menikmati kopi blend, dan menemukan keindahan rasa yang dihasilkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar