Kamis, 13 Oktober 2016

Apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi...


apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi..
sesungguhnya ia sudah terlalu lelah sejak awal perjalanan panjangnya,
memasuki semenanjung arab,
hadir sebagai penanda peradaban islam berabad lampau..
diperebutkan para pedagang eropa di gerbang venesia…
dirindukan para peziarah India,
disebar oleh koloni-koloni bangsa eropa,
dan menjalani nasib pengelanaannya di tanah jawa..
hingga menjelma “a cup of java”
lalu merayapi seluruh bukit dan lembah ibu pertiwi…
apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi…
tidakkah ia sudah melampaui semua..
menjadi teman sepi para sufi,
dipersahabat oleh kaum cendikia,
berintim dengan para pemikir bebas,
ia ada saat lahirnya cita-cita renaissance,
ia larut bersama para pengagum aufklarung,
menyatu di lepas perjamuan malam sang filsuf kant,
apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi…
ia menghubungkan peradaban,
mengilhami pencetusan teknologi,
dan dilumat oleh teknologi itu sendiri,
terpapar di mesin-mesin industri
apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi..
jauh di puncak dingin tempat bertumbuh, ia adalah rasa lelah…
yang menanti masa petiknya bersama kesunyian,
yang dengan kesabarannya menyimpan gumam petani,
yang tegaknya disangga oleh tulang-tulang dan air mata sejarah,
yang masyur namanya tak ditemukan di hamparan tempatnya berdiang,
dan label-label tak pernah singgah di gubuknya yang kusam.
apa lagi yang ingin kita perbuat pada kopi,
selain menikmatinya dengan rasa hikmat,
selayaknya memasuki relung sunyi petani,
yang aroma keringatnya (si petani) adalah wangi kopi itu sendiri…
di perjamuan para bangsawan pun, ia (petani kopi) tak dapat diingkari…
('jeng, 010916)

TENTANG MENYANGRAI KOPI

manual roaster
Jika saja biji kopi memiliki kesamaan kadar air, ukuran, struktur kimia, dan tekstur tentu proses menyangrai bisa dilakukan dengan perlakuan sama dan dikendalikan dengan mudah. Faktanya, biji kopi memiliki identitas karakter yang sangat beragam. Disitulah letak nilai seni menyangrai. Dan mereka, para penyangrai kopi --yang membebaskan dirinya dari hegemoni industri besar mesin penyangrai kopi--sesungguhnya adalah pengkriya, para pekerja seni. Yang dengan kemampuan teknisnya serta kepekaan sensoriknya, telah mengubah biji-biji kopi mentah menjadi biji kopi matang bercita rasa yang siap diolah menjadi sajian minuman kopi.

Menyangrai hingga menghasilkan biji kopi matang terbaik adalah juga proses penyelarasan antara gerak tubuh, indera sensorik, serta alam pikiran si penyangrai. Ada keintiman yang begitu kuat terjadi antara si penyangrai dengan aktivitas menyangrainya. Itu sebab, aktivitas menyangrai menjadi aktivitas yang sangat personal.
Rumitkah..?
Tentu tidak. Cukup lakukan, dengan peralatan yang dapat dengan mudah dijangkau. Sebab menyangrai adalah pengetahuan yang bersifat personal, maka nilai “menjadi tahu cara menyangrai” hanya bisa didapat dari proses menyangrai itu sendiri. Selebihnya, biarkan kesabaran dan ketekunan menjadi kekuatan, hingga kita mendapatkan biji-biji kopi yang matang sempurna. Mereka yang menekuni menyangrai tak ubahnya seperti NGELMU, kedalaman ilmunya hanya didapat dari perjalanannya menekuri aktivitas menyangrai itu sendiri.
Mari menyangrai kopi, dengan cara sederhana, di dapur rumah sendiri.

COFFEE BLEND dan Identitas Majemuk


Tentang Coffee Blend dan Identitas Majemuk 

(sekelumit penekuran terhadap kekerasan demi kekerasan yang terjadi mengatas namakan kebenaran identitas)




Ada kalanya kita butuh melakukan coffee blending. Dengan mengkombinasikan dua atau lebih kopi single origin, kemudian menemukan rasa baru yang dihasilkan dari proses percampuran, sebagai bentuk kesepakatan berbagai identitas kopi di dalamnya. Untuk membangunkan kesadaran kita, bahwa kenyataan yang sebenarnya, diri kita pun sesungguhnya adalah identitas yang majemuk, hasil perpaduan berbagai identitas sebagai unsur pembentuk, penggabungan dari ras, keyakinan agama, suku, idiologi, orientasi seksual, dsb.

Itu sebabnya, saya yang muslim, lahir di tanah angkola dari ibu bapak bersuku jawa, dan tumbuh besar di tengah teman-teman dengan latar belakang agama dan suku yang berbeda-beda, sulit menerima kenyataan bahwa kekerasan sara menjadi teror yang menghantui kehidupan bermasyarakat di sumatera utara. Masa kecil saya diwarnai sahabat-sahabat Kristen yang taat beribadah. Beranjak remaja kehidupan saya diwarnai keceriaan sahabat-sahabat dengan keragaman suku dan agama yang juga beragam (saya tinggal diapit tetangga-tetangga beragama islam, Kristen, Katolik, bersuku jawa, mandailing, batak toba, nias, serta satu tetangga kami menikah dengan perempuan Jepang). Sementara di rumah, saya dididik ibu yang masih menjalankan tradisi kejawen meskipun beliau juga taat menjalankan ibadah sebagai penganut agama islam.

Praktik keagamaan yang kami terapkan adalah praktik keagamaan yang didasarkan pada kesadaran tatanan politik dan sosial bahwa kami hidup di tengah masyarakat dengan identitas majemuk. Kami tidak mengenal kehidupan dengan identitas tunggal. Guru-guru madrasah tempat saya belajar mengaji serta ulama-ulama kami yang memberi tausiah di surau-surau semasa kami kecil tidak mengajarkan kebencian, terlebih pada tetangga/kerabat/sahabat kami yang beragama berbeda. Bagaimana mungkin saya membenci agama Kristen sementara wali kelas kesayangan saya yang mengajarkan saya membaca dan menulis di kelas 1 SD adalah seorang ibu guru beragama Kristen dan teman sebangku saya saat di SMA juga seorang penganut Kristen dan bersuku nias. 

Demi menjaga kesadaran, pagi tadi saya meracik beberapa arabika single origin dan menghasilkan kopi blend. Saya menikmati kenyataan dari rasa yang dihasilkan. Rasa dengan identitas yang utuh, rasa yang meluruhkan ego ketunggalan. Identitas ketunggalan itu, cukuplah dinikmati di ruang-ruang kesendirian. Ruang-ruang dimana atmosfir ketunggalan itu memungkinkan untuk tumbuh. Sebab identitas kemajemukan itu, adalah kenyataan dari ikatan kebhinekaan yang sudah terbentuk sebagai buah kearifan turun temurun dalam tatatan politik dan sosial. 

Dalam buku kekerasan dan ilusi tentang identitas, Amartya Sen mengutip sepotong puisi Ogden Nash “A Plea for Less Malice Toward None” 
Anak sekolah mana saja bisa mencintai laiknya orang pandir, 
Namun membenci itu, oh nak, butuh seni tersendiri.

Diulas kemudian oleh Amartya Sen dengan mengatakan; “Bahwa ilusi tentang identitas tunggal, yang menjadi landasan bagi mereka yang mendalangi konfrontasi, dipupuk dan dipelintir secara cermat oleh para pemimpin aksi penganiayaan dan pembantaian itu.” 

Maka, ketika kebencian dan kekerasan atas identitas sara terjadi di daerah-daerah dengan masyarakat yang hidup turun temurun di tengah kemajemukan di negeri ini, pertanyaannya adalah.. “bagaimana mungkin itu bisa terjadi, kalau bukan dipicu, didalangi oleh pemimpin-pemimpin yang imajinasinya dipenuhi ilusi tentang kebenaran identitas yang tunggal, yang memaksakan kebenarannya dan membenturkannya dengan tatanan politik dan sosial yang dibangun secara beradab oleh masyarakat setempat secara turun temurun.

Selamat menikmati kopi blend, dan menemukan keindahan rasa yang dihasilkan...