Amak Rajiah duduk di beranda, ditemani Kak Tis, anak perempuan Mak Rajiah yang sehari-hari mengurusi kopi Janggut,
kopi olahan keluarga yang sudah ada sejak tahun 1930. “Dulu ayah yang memulai usaha ini, waktu itu di
Solok ada perkebunan kopi Belanda. Petani di sini ada yang tanam kopi juga, ada
yang kerja di perkebunan Belanda, tapi tak ada yang bisa olah kopi.” Mak Rajiah pelan-pelan bertutur tentang sejarah keluarganya membangun usaha kopi Janggut.
Sesekali perempuan tua itu mengernyitkan dahi, mengingat-ingat yang lampau
sebelum melanjutkan ceritanya. “Waktu
itu, yang mencoba belajar ngolah kopi di kampung ini cuma ayah Soleh, lalu ayah
mulai bikin kopi bubuk. Dijual di kedai-kedai tempat minum kopi. Tapi ayah tak
mau bisa sendiri, dia ingin orang-orang di sini juga bisa ngolah kopi, lalu dia
ajak orang-orang di sini untuk belajar. Dulu orang-orang sini kalau mau belajar
ngolah kopi datang ke ayah, belajar sama ayah.”
Obrolan saya dan Mak Rajiah terjeda, Pak Attila Majidi Datuak Sibungsu yang menemani perjalanan saya ke kopi janggut mengajak saya melihat proses pengolahan kopi di pabrik kecil di belakang rumah Mak Rajiah. Di pabrik kecil itu ada Berry, cucu Mak Rajiah, yang juga ikut membantu menjaga usaha kopi janggut agar tetap berjalan. Saya dikepung aroma kopi yang meruap, memenuhi seisi ruang pabrik, wangi sangat. Berry menyapa saya dengan anggukan kepala dan senyum, tangannya sibuk dengan aktivitas penggilingan kopi dari roastbean yang jumlahnya hampir 80 kg.
Sebagian roastbean masih mengantri, ditempatkan dalam ember besar tertutup rapat. Saya membuka tutupnya sedikit, menyelipkan tangan, dan menjumput beberapa, menatapnya sejenak, lalu mendekatkannya ke hidung, kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Ini hanya sekedar ritual, anggaplah sebagai pertautan batin saya yang sedang berziarah kopi dengan rasa lelah si biji-biji kopi yang telah melewati perjalanan panjangnya, sebelum ia melanjutkan perjalanan berikutnya, masuk penggilingan, menjadi bubuk dan terbungkus di kantung-kantung kemasan. Hendak ke mana dan diapakan ia selanjutnya ? Entahlah, tergantung siapa dan dari mana pembelinya.
Di sisi lain pabrik kecil itu, ada tungku pembakaran, di atasnya bertengger alat sangrai kopi. Terbuat dari drum besar berkapasitas 100 kg yang sudah dipasang besi di bagian tengah sebagai alat pemutar drum. Drum penyangrai kopi ini harus berputar selama proses penyangraian selama 1 jam, digerakkan secara manual, dengan tangan. Seorang menantu laki-laki Mak Rajiah, suami Kak Tis, yang biasa disapa dengan sebutan Pakde, menjelaskan pada saya bagaimana cara mengoperasikan alat tersebut.
Dari Pakde baru saya tahu kalau orang Solok menyebut proses menyangrai kopi itu dengan istilah merendang. Sambil becanda saya nyeletuk, “ emang ya orang minang, jagonya merandang, apapun dirandang, termasuk kopi.” Menantu Mak Rajiah yang lain yaitu Pak Abul yang berdiri dekat saya menimpali dengan tertawa. Sedikit berkisah tentang Pakde, Beliau adalah orang Jawa asli, yang sudah hidup di Sumatera selama puluhan tahun.
Perkenalannya dengan Sumatera dimulai ketika Pakde mengikuti program transmigrasi ke Lampung, cukup berhasil di Lampung, lalu berpindah ke wilayah lain, termasuk ke Jambi, dan sampai akhirnya sejak sepuluh tahun terakhir menetap di Solok Selatan dan menikah dengan anak perempuan Mak Rajiah.
Pakde tidak hanya ikut membantu mengolah usaha kopi janggut, juga membawa energi baru dengan mulai merawat tanaman kopi jenis arabika di lahannya seluas kurang lebih satu hektar. Ia mulai belajar mengolah kopi arabika pada Pak Datuak Sibungsu, dan berencana mengeluarkan kopi Pak Janggut jenis arabika premium, melengkapi si kopi janggut robusta yang legendaris.
Saya kembali ke beranda, di bagian
dalam kios kopi janggut, tampak Mak Rajiah dan Kak Tis sedang mengemas kopi bubuk.
Dulu, kopi janggut dikemas dalam kemasan dari daun pisang yang sudah
dilayukan, sangat khas. Sayang daun pisang sudah sulit didapat, harganya
melebihi harga plastik. Bubuk kopi yang diwadahi dalam baskom besar itu sebagian
sudah berpindah dalam kantung kemasan ukuran 250 gram, tapi kini kemasananya ada
yang plastik dan ada juga yang kertas berlapis aluminium. “Yang ini khusus
untuk pembeli-pembeli yang ingin bawa kopi janggut untuk oleh-oleh ke tempat
jauh, biasanya mereka cari yang kemasannya lebih bagus,” Kak Tis menjelaskan
kenapa ada dua jenis kemasan. “Berapa
perkantung, Kak ?” tanya saya. “Kalau yang kemasan plastik, 20 ribu, mbak..
Kemasan kertas 25 ribu”. Saya setengah membelalak, “gak rugi dijual segitu, Kak
?”. “Gak, cukuplah. Kasihan pelanggannya kalau harganya naik”. Saya membalas
dengan senyum, haru. Secangkir kopi janggut yang sudah disuguhi sejak tadi,
saya seruput hingga mencapai dasar. Menurut saya yang tubuhnya sering bereaksi
setiap minum kopi robusta, kopi janggut ini enak, sangraiannya pas, medium. Pahitnya
natural, khas robusta, tapi masih termasuk moderat. Masih bisa saya nikmati tanpa
gula, dan tidak bereaksi negatif dalam tubuh saya. Kalaupun saat itu perut saya
kadang bermasalah, saya yakin itu bukan karena kopi, tapi karena pola makan
yang kacau selama di perjalanan.
Saya masih ingin berbincang lebih
lama dengan Amak Rajiah. Tapi waktu tak bisa dikompromikan, saya harus
melanjutkan perjalanan ke Padang. Beruntung, ada bung Yan, seorang kawan
aktivis lingkungan sahabat Pak Attila Majidi Datuak Sibungsu yang juga akan ke Padang,
dengan baik hati menerima saya numpang di kendaraannya. Dan tentu saja, saya sudah membayangkan
perjalanan 5-6 jam ke Padang akan diwarnai dengan cerita Pak Yan, seputar Solok
Selatan yang sebagian alamnya mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Terima kasih Amak Rajiah, Pak Abul, Pakde, Kak Tis, dan keluarga
besar kopi Janggut. Terima kasih untuk pengabdian Pak Soleh yang telah
memperlakukan kopi Robusta Solok Selatan selayaknya menghormati hidup dan
kehidupan. Salam takjim, sehat senantiasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar