Mengunjungi Pak Wakhid dan Bu Kartinah
Menuju Suroloyo
Setelah
melewati malam di Yogya dengan dingin kemaraunya yang membuat tubuh kami menggigil,
kami pun berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke Suroloyo, ke rumah Bu
Kartinah. Medan yang akan kami tempuh cukup berat bagi si mobil trooper, maka sebagian barang bawaan harus kami tinggalkan di Yogya. Menitipkan barang-barang
ke Kang Iman berarti menyepakati janji bahwa kami akan kembali lagi ke Totality Coffee sepulang dari Suroloyo sebelum
melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Selain beberapa perlengkapan yang cukup berat,
kami juga menurunkan sebagian oleh-oleh dari kebun Ema Okon, yang tentu saja tidak
untuk diambil kembali, melainkan untuk Kang Iman dan tetangga-tetangganya. Sebagian
lagi kami bawa untuk perbekalan dan oleh-oleh ke Suroloyo.
Saya
menghubungi Bu Kartinah melalui nomor handphone Mas Eko putranya,
mengabarkan bahwa kami sudah berangkat dari Yogya menuju Suroloyo. Nama Bu
Kartinah saya peroleh dari Kak Lely,
seorang perempuan feminis yang sudah sejak lama melakukan kerja-kerja pemberdayaan
bagi perempuan di pedesaan. Bu Kartinah,
adalah satu di antaranya. Saya tidak berhasil mengingat wajah Bu Kartinah meski pun
saya sangat yakin pernah bertemu beliau enam tahun lalu saat menghadiri
festival punakawan di Suroloyo. Karena perempuan yang
sangat aktif itu selalu ikut sibuk di setiap perhelatan di dusunnya.
Beberapa
kali perjalanan kami terhenti, karena jalan yang terus menanjak membuat si trooper harus jeda sesaat. Sahabat kami
Yufik dengan sigap membuka kap mobil, memberi jalan bagi uap panas. Ozi si
barista gadungan yang selalu siap dengan perbekalan alat seduh kopi menyambut
waktu jeda perjalanan dengan riang gembira. “Saatnya ngopi brooo…” salah
seorang dari kami ikut nyeletuk. Sedikitnya butuh waktu 30 hingga 45 menit
sampai si trooper siap jalan lagi.
Kami menghabiskan waktu itu dengan ngobrol, becanda, mempelajari situasi
sekitar, menyapa orang-orang yang keluar dari semak dan pepohonan dengan
tumpukan ranting atau keranjang bambu berisi potongan rumput untuk pakan ternak.
“Nyuwun sewu...” begitu seorang ibu berucap pada kami sambil melintasi jalan setapak dekat hamparan rumput tempat kami beristirahat. “Monggo, buu..” serempak kami menjawab. Kami memang ingin agar perjalanan ini menggembirakan. Dan diantara kami berenam, yang selalu punya bahan untuk dijadikan lelucon adalah Timbul. Orang ini memang selalu berhasil mengocok perut kami dengan banyolannya yang sering tidak masuk akal. Tapi ya karena sangat tidak masuk akal jadi lucu. Sebagai seorang antropolog, Timbul punya keahlian mengeksplorasi kondisi di sekitar kami dan mencermati dengan detail benda-benda yang dia temukan. Disaat itulah imajinasinya berkembang, liar dan kadang konyol. Kekonyolan yang membuat kami terhibur.
“Nyuwun sewu...” begitu seorang ibu berucap pada kami sambil melintasi jalan setapak dekat hamparan rumput tempat kami beristirahat. “Monggo, buu..” serempak kami menjawab. Kami memang ingin agar perjalanan ini menggembirakan. Dan diantara kami berenam, yang selalu punya bahan untuk dijadikan lelucon adalah Timbul. Orang ini memang selalu berhasil mengocok perut kami dengan banyolannya yang sering tidak masuk akal. Tapi ya karena sangat tidak masuk akal jadi lucu. Sebagai seorang antropolog, Timbul punya keahlian mengeksplorasi kondisi di sekitar kami dan mencermati dengan detail benda-benda yang dia temukan. Disaat itulah imajinasinya berkembang, liar dan kadang konyol. Kekonyolan yang membuat kami terhibur.
Dusun Keceme
Hari
menjelang petang ketika kami tiba di dusun Keceme. Barisan patung punakawan di
dekat parkiran kawasan wisata Suroloyo mengingatkan saya pada perjalanan
pertama ke dusun ini menghadiri festival Punakawan, enam tahun silam. Dusun ini
menyimpan cerita rakyat, bahwa Suroloyo adalah kawasan tempat Ki Semar berada
sambil mengasuh Petruk, Gareng dan Bagong, serta momong para ksatria Pandawa.
Tempat dimana para Dewa bersemayam. Saya menoleh ke arah anak tangga pertama
menuju puncak Suroloyo, berharap hari berganti dan fajar segera tiba. Berjanji
dalam hati, esok pagi mendaki undakan 286 anak tangga dan tiba di puncak
sebelum matahari terbit. Mobil kami terus berjalan perlahan, meninggalkan
barisan patung punakawan dengan senyum mbah Semar yang selalu mengembang. Dulu
saya selalu merasa aneh setiap melihat raut wajah mbah Semar. Garis bibirnya
selalu lebar, seperti mulut orang tertawa, tapi bentuk mata dan tatapannya
selalu sayu, bahkan terkesan sedih. Lama baru saya mengerti, ternyata getstur
tubuh dan raut wajah Semar adalah cermin perjalanan hidup manusia. Mbah Semar
selalu mencerminkan kontradiksi-kontradiksi. Bukan untuk mempertentangkan, tapi
untuk mengingatkan bahwa hidup perlu keseimbangan. Wajahnya cerminan
kebahagiaan dan kesedihan, tangannya yang selalu mengarah satu ke atas dan
satunya lagi ke bawah adalah pengingat pada langit dan bumi, pada Sang Pencipta
dan makhluk ciptaan-Nya, juga pada kondisi manusi yang kadang di atas kadang di
bawah.
Jarak
dari lokasi pusat wisata Suroloyo ke rumah Pak Wakhid dan Bu Kartinah hanya
sekitar 5 menit. Melewati jalan agak menurun, tepat setelah tikungan ke kiri,
kami melihat ada gapura dan jalan masuk sedikit menanjak. Disanalah rumah Pak
Wakhid dan Bu Kartinah, persis seperti informasi yang kami peroleh dari warga
yang kami temui sebelumnya. Yufik memarkirkan si trooper di pekarangan. Di sehamparan tanah itu berdiri rumah semi
permanen, berlantai semen dan berdinding kayu. Teras rumahnya cukup luas, adem
sekali. Rasanya tak sabar ingin segera duduk selonjoran di lantai teras itu.
Seorang lelaki muda menyambut kami, memperkenalkan diri. Tebakan saya tepat,
pemuda itu mas Eko, anak bungsu Pak Wakhid dan Bu Kartinah.
Tak lama Pak Wakhid
menemui kami di teras, mempersilahkan kami masuk, tapi kami masih ingin
bersantai di teras rumah itu. Akhirnya Pak Wakhid ikut duduk bersama kami di
teras, dan mulai bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang kondisi dusun
Keceme dalam beberapa tahun terakhir. Saya berusaha menyimak, sambil mencoba
mengingat-ingat potongan-potongan cerita yang saya pernah tahu tentang dusun
ini. Mengingat beberapa tokoh dan sesepuh yang punya pengaruh kuat di tengah
masyarakat dusun Keceme. Beberapa diantaranya dipercaya sebagai penjaga
tempat-tempat yang punya nilai sejarah dan spiritual di kawasan Suroloyo. Pak
Wakhid adalah satu diantaranya.
Cukup lama kami menghabiskan
waktu berbincang dengan Pak Wakhid di teras rumah. Hingga dari pekarangan
seorang perempuan sekitar paruh baya datang bergegas ke arah kami. Bu Kartinah
mengembangkan senyumnya, menyalam kami satu persatu. “Maaf yaa, saya gak nunggu
mas-mas ama mbaknya datang, tadi ada yang minta bayinya dikusuk, jadi saya
berangkat saja, tapi tadi sudah titip ama Bapak kalo mas-mas ama mbaknya mau
datang” bu Kartinah menjelaskan kesibukannya hari itu. “Ndak apa-apa bu, kalau
sesuai janji, mestinya kami sudah sampai dari siang tadi, tapi mobilnya gak
bisa tancap gas terus, jadinya sampe sini sore, kami yang minta maaf”, saya
menimpali, merasa tidak enak karena Bu Kartinah sebenarnya sudah menunggu kami
dari siang.
Kami akhirnya mengikuti
ajakan Bu Kartinah dan Pak Wakhid masuk, menikmati kopi Suroloyo dan panganan
kecil yang disediakan. Bergabung dengan seorang tamu bule (turis dari Amerika),
yang sudah dua kali datang ke rumah itu. Menginap di salah satu kamar di rumah
Pak Wakhid. Dia terlihat cukup akrab dengan Eko. Sebagai alumnus akademi bahasa
asing di Yogyakarta, Eko cukup mahir berbahasa Inggris. Keterampilannya itu
memudahkannya komunikasi dengan turis asing yang berwisata ke Suroloyo. Menjadi
pemandu turis merupakan pekerjaan yang bisa Ia lakoni sambil mengolah kopi
hasil kebun keluarga. Lelaki yang sudah beristri dan memiliki seorang anak
perempuan ini menjadi teman ibu bapaknya, tinggal di rumah keluarga dan ikut
mengurus berbagai hal. Eko juga yang mengambil peran mengolah kopi setelah
panen, menyangrai di wajan tembikar di atas tungku, dan membuka jaringan untuk
memasarkan kopi olahannya tersebut.
Bu Kartinah
mempersilahkan kami untuk istirahat sesantainya. Ruang tengah yang luas itu
lebih dari cukup untuk menampung kami berenam. Tentu saja kami tidak segera
istirahat, masing-masing saling mengisi waktunya sendiri-sendiri. Selagi ingat,
saya menyerahkan sebungkus kecimpring dan kopi sangray arabika Cikajang dari
kebun Mak Okon hasil olahan Iqbal. Meneruskan rasa, dari petani untuk petani.
Bulan
Terang, Kopi Panas dan Suweg Kukus
Selepas magrib, kami
kembali memenuhi teras rumah Pak Wakhid. Selembar tikar dibentangkan, “biar gak
masuk angin”, demikian kata Pak Wakhid. Sepertinya Beliau paham kalau kami
mulai merasa dingin. Ozi mulai menata perlengkapan seduh kopi, dibantu Alex
yang mulai menyalakan kompor kecil berbahan bakar spirtus. Tak lama, api biru
mulai menyebar di permukaan kompor, menari-nari, menjilat pantat panci
aluminium wadah air. Udara dingin mulai menusuk tulang, tapi belum sebanding
dengan dinginnya Suroloyo ketika kali pertama saya datang ke tempat ini. “Tenda
mau diturunkan dari mobil gak..? Kali aja ada yang kebelet kemah” saya iseng
bertanya. Timbul mulai cekikikan sendiri, pasti dia sedang menghayalkan
sesuatu. “Iya, dipasang saja di halaman, jadi properti, untuk foto-foto, tidurnya
ya tetap di rumah, hi hi hi..”. Yang lain ketawa sambil setengah ngomel.
Bu Kartinah tidak
kelihatan, hanya ada Pak Wakhid dan Eko bersama kami.. Saya masuk ke rumah,
langsung menuju dapur. Ternyata Bu Kartinah dan menantunya sedang sibuk di
dapur, mengatur susunan kayu bakar di tungku. Sebuah dandang bertengger di
atasnya. Seketika tubuh saya terasa hangat, saya menjulurkan tangan di sekitar
tungku. Dapur di rumah-rumah petani memang selalu hangat. Ternyata di dapar juga ada Yufik, sedang
mengambil gambar dan rekaman video. Kawan kami yang satu ini memang
tergila-gila pada pangan lokal. Kemana pun dia pergi, selalu tak luput mencari
tahu pangan lokal di wilayah itu. Kadang dia beruntung bisa membawa pulang benih
untuk disemai di pekarangan atau di kebunnya di Cileunyi, Bandung. “Emang si
Ibu masak naon..?”, Tanya saya pada Yufik. “Eta, suweg”, jawabnya singkat.
“Suweg niku nopo, bu..?” merasa belum puas, saya bertanya pada Bu Kartinah.
“Ini loh, mbak..”, Bu Kartinah membuka tutup dandang, mulai mengeluarkan
potongan suweg satu persatu ke wadah. “Ooo, kog kayak tales ya bu..”, potongan
suweg kukus itu mengingatkan saya pada talas atau keladi rebus. “Iya, kan
memang sama-sama jenis umbi toh..” Bu Kartinah menimpali. Yufik terlihat masih
tekun mengambil rekaman video. Sesekali dia memberikan pertanyaan pada Bu
Kartinah, pasti soal pangan lokal. Saya membalikkan badan, memberi kode pada
menantu Bu Kartinah, mengatakan saya balik ke depan. Tak lama kemudian Yufik
juga bergabung di teras, disusul Bu Kartinah dengan membawa wadah berisi suweg
dan parutan kelapa. Panganan itu masih ngebul, tapi kami sudah tak sabar ingin
menyantapnya. Pak Wakhid, Bu Kartinah dan Eko nyeruput kopi lembang yang kami
bawa, setelah sore tadi kami disuguhi kopi arabika dari kebun Pak Wakhid. Ini
semacam ritual di perjalanan silaturahmi yang kami lakukan ke rumah petani
kopi. Menjaga silaturasa, antara keluarga petani kopi melalui kopi yang mereka
hasilkan, meski pun tentu mereka tidak pernah saling jumpa dan bertatap muka.
Obrolan kami berpindah-pindah, tentang suweg, cara
mendapatkannya, mengolahnya, dan masyarakat yang mulai jarang menggunakannya
sebagai sumber pangan. Selain suweg, Pak Wakhid dan Bu Kartinah juga berbagi
pengetahuan tentang pangan lokal lain yang mulai jarang dikonsumsi masyarakat
modern. Ada ganyong, iles-iles, kimpul (talas), serta gadung yang proses pengolahannya
agak panjang untuk menghilangkan kandungan racunnya. Saya juga baru tahu kalau
suweg yang sedang kami nikmati ternyata berasal dari umbi bunga bangkai.
Malam semakin larut, bulan kian meninggi. Dari arah pohon
pisang di sisi kiri pekarangan bayangan orang dengan tubuh lebar dan rambut panjang
berantakan tampak menyembul. Bukannya menakutkan, sosok itu justru terlihat
lucu, kedua tangannya yang mengayun-ayun sambil diangkat seperti bayangan si
boneka pooh yang sedang menari-nari.
Timbul selalu punya cara membuat kami tertawa. Entah kapan dia jalan ke arah
pohon pisang itu, tahu-tahu nongol.
Kami masih ngobrol di teras, membicarakan rencana ke puncak
Suroloyo pagi sebelum fajar. Pak Wakhid,
Bu Kartinah dan Eko pamit masuk dan istirahat duluan. Di teras depan sisi kanan, Wahab menikmati hammock, ayunan kain yang ujung-ujungnya
terikat pada dua sisi pilar kayu penyanggah atap teras. Sebagai pengayuh sepeda yang sering nginap
dimana pun, Timbul selalu membawa hammock
itu. Kali ini Wahab yang menikmati. Tubuhnya yang ramping membuat ayunan kain
itu seperti tak terbebani. Hanya sebelah kakinya yang menjuntai ke luar ayunan
yang membuat kami yakin kalau si pemilik kaki itu adalah Wahab. Saya mengajak
kawan-kawan segera istirahat, agar bisa lebih pagi ke puncak Suroloyo. Semua
bergegas masuk, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk tidur, tak
terkecuali Wahab. “Katanya mau tidur di
luar saja pake hammock, kog ikut
masuk.., takut ada yang ngayunin yaa…” saya masih sempat iseng godain Wahab.
“Gak, ngapain takut, cuma dingin aja di luar, gak kuat aku”, Wahab cepat
bereaksi. Terdengar suara salah seorang
kawan terkekeh dari balik sleeping bag
, mentertawakan Wahab, terkesan meledek. Lalu, suasana begitu hening. Semua
tenggelam dalam lelah yang melelapkan.
Fajar Berselimut Kabut
Kami berpacu dengan waktu. Tiba di dua puncak yang berbeda sebelum fajar. Yufik, Ozi dan Alex berada di puncak Suralaya. Saya, Timbul dan Wahab di puncak Suroloyo. Menaiki 286 anak tangga tak juga membuat tubuh kami kebal terhadap udara dingin. Sampai di puncak, kami juga disambut hembusan angin yang cukup kencang. Pagi itu puncak Suroloyo sangat hening. Sejauh mata memandang yang kami lihat hanya abu-abu gelap, hamparan kabut tebal. “Mungkin masih terlalu pagi”, saya bergumam, bicara pada diri sendiri. Berdiri menatap ke utara, berharap melihat puncak si kembar Gunung Sindoro dan Sumbing di kejauhan. Saya berjalan menuju ke tempat Timbul yang sedang memainkan kamera, menanti titik terang di ufuk timur. Tapi tanda-tanda fajar belum juga terlihat. Mestinya ia akan menyembul dari punggung Gunung Merapi. Gunung yang puncak lancipnya terlihat indah, berkilau-kilau. Sementara di langit barat, bulan masih terlihat menggantung, muram. Suara kokok ayam mulai terdengar bersahutan dari arah perkampungan nun jauh di bawah. Tak berapa lama waktu subuh tiba, suara azan datang dari berbagai arah. Kadang terdengar begitu dekat, lalu menjauh, diayun oleh sang bayu.
Yang dinanti datang juga, semburat merah di timur mulai
terlihat. Kami begitu bahagia menyambut kehadiran sang fajar. Timbul mulai
bermain dengan kamera, berusaha menangkap sun-rise
secepat dan setepat mungkin. Saya sendiri tak bisa berbuat banyak, hanya diam
menghikmati suasana. Memaki kebodohan sendiri, karena melakukan kesalahan fatal
yang tidak boleh dilakukan pemburu foto, lupa menyiapkan cadangan batere
kamera. Tapi ternyata semburat merah tidak bertahan lama, matahari pagi itu tak
cukup kuat menembus awan. Kabut yang mulai menipis kembali menebal, kawasan
perkampungan yang mulai tampak diantara hijau pepohonan pun kembali tak
terlihat. Kecewa, tapi mau bagaimana lagi, ini yang namanya ketidakberuntungan,
belum jodoh.
Kami masih bertahan di puncak hingga cahaya matahari pecah.
Dari anak tangga terdengar suara langkah, ternyata Alex membawa bungkusan.
Wajah kami bahagia, membayangkan segera menyeduh kopi di puncak Suroloyo. Saya
mengeluarkan biji kopi, Alex mengeluarkan isi bungkusan, hanya berisi kompor
spirtus, panci dan sebotol air. Kami
saling pandang, lalu tawa pun meledak, ternyata grinder ada di Puncak Suralaya, dipegang Ozi. Pagi itu kami memang serba
kurang beruntung. Tapi entah hasrat apa yang membuat kami tak ingin menyerah.
Api tetap dinyalakan, air tetap dididihkan. Saya membungkus biji kopi dengan
kain syal, lalu Timbul menumbuk biji kopi dalam balutan kain tersebut dengan
batu. Hancur tapi tidak membubuk. Hanya memungkinkan untuk direbus, tidak untuk
diseduh, itu pun sangat encer. Tapi nikmat itu kan relatif. Kami tetap bisa
bergembira, dan berhasil nyeruput air rebusan kopi di puncak Suroloyo. Serta
menciptakan sebuah cerita untuk dikenang. Setidaknya kalau urusan ngopi, kami lebih
beruntung daripada tim Ozi dan Yufik di Puncak Suralaya. Sebab mereka hanya
membawa grinder dan perlengkapan
memasak air, tidak bawa kopi. Lalu apa yang mau diseduh.. Tapi saya yakin,
dalam hal rekaman video dan foto, mereka lebih lengkap. Sebab lebih
sungguh-sungguh mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Bahkan hingga saat kami datang menghampiri,
Yufik masih dalam proses merekam gambar.
Anak Muda dan Wajan Tembikar
Kami mengisi pagi di teras depan, menikmati kopi selepas
sarapan. Dari arah dapur terdengar suara serokan pada wajan tembikar, ritmis.
Saya dan Timbul bergegas ke dapur,
membawa peralatan rekam seadanya. Sepertinya seseorang sedang menyangrai kopi. Di
dapur, di atas tungku, sebuah wajan tembikar ukuran sedang bertengger. Di depan
tungku, eko duduk bertumpu pada bangku kayu kecil. Tangannya tak pernah
berhenti mengaduk-aduk biji kopi dengan ritme gerakan yang konstan. Dari arah jendela, seberkas cahaya matahari
masuk tepat menyirami tembikar penyangraian. Klasik, suasananya indah untuk
diabadikan dalam potongan-potongan gambar. “Masukin biji kopi berapa kilo, mas Eko ?”,
pertanyaan Timbul memecah sunyi. “Satu kilo, mas”, Eko menjawab tanpa
mengalihkan pandangannya dari biji-biji kopi yang terus bergerak.
“Berapa lama
nyangrainya ?” Timbul melanjutkan pertanyaan. “Sekitar satu jam, yang penting
apinya dijaga tetap stabil” sambil menjawab Eko sedikit merunduk, melihat ke arah
tungku. Dengan tangan kiri Dia
mengeluarkan satu potong kayu untuk mengurangi api yang kobarannya terlihat
makin membesar, sementara tangan kanannya masih memainkan sendok pengaduk agar
biji kopi tidak diam, menjaga agar tidak gosong. Biji-biji kopi tersebut sudah melewati proses yellowing, kini mulai berubah kecoklatan, light brown. Tangan kiri Eko dengan
cepat mengatur posisi kayu, menghentikan nyala api untuk mengurangi panas. Kini
suhu panas bersumber dari nyala bara yang cukup stabil. Dari arah pintu, Yufik
masuk membawa peralatan rekam. Mulai mengambil posisi di salah satu sudut,
kemudian bergerak maju, merekam biji-biji kopi lebih dekat. Sesekali Ia
mengarahkan kamera ke wajah Eko, tangan, tembikar, tungku. Lalu kembali ke arah
biji-biji kopi tepat saat cracking,
yaitu saat biji-biji kopi mulai memecah dan mulai mengeluarkan bunyi “krek”.
Eko masih terus mengaduk, warna biji kopi mulai coklat medium dan krek kedua
mulai terdengar, Eko mempercepat adukannya. Pada tahap ini, biji kopi sangat
cepat mengalami perubahan, dari light brown, medium, medium to dark,
hingga dark dan fully carbonize atau dalam istilah tradiisonal kita biasa
menyebutnya gosong. Cukup sampai medium to dark, Eko bergegas mengangkat
wajan tembikar, dan menuangkan biji-biji kopi tersebut ke atas tampah anyaman
bambu. Mengipas-ngipas biji kopi tersebut agar segera dingin. Sebab suhu panas
yang masih tersimpan di biji kopi jika dibiarkan akan menyebabkan biji tersebut
sebagian akan menggelap, warnanya tidak rata. Aroma kopi sangrai memenuhi
dapur, menjalar ke setiap ruang di rumah tersebut. Bahkan
sampai ke pekarangan depan. Wangi sekali.
Ruang Hidup, Semua ada
di Kebun dan Pekarangan
Selesai mengambil beberapa potongan gambar saat Eko menyangrai kopi, Yufik melanjutkan pengambilan gambar beberapa sumber pangan yang tersedia di kebun dan pekarangan rumah Pak Wakhid. Perhatiannya yang cukup tinggi pada pangan lokal membuatnya terlihat antusias selama pengambilan gambar tersebut. Mengikuti Pak Wakhid ke kebun yang jaraknya tidak jauh dari rumah, hanya berjalan kaki sekitar 5 menit. Berbagai jenis tanaman ada di lahan tersebut. Pohon kopi terlihat menyebar, diantara tanaman keras dan tanaman kebun lainnya. “Dulu, sebelum kopi, di sini banyak tanaman vanili. Tapi karena harganya turun, mulai digantikan dengan kopi”, Pak Wakhid mulai berkisah tentang awal mula tanaman kopi di lahannya. Tanaman vanili masih terlihat diantara beberapa tanaman lain. Menurut Pak Wakhid, Ia tidak fokus bertani, terutama kopi. Sebab banyak yang dikerjakan. Pernyataan Pak Wakhid terkesan kontradiksi dengan aktivitas yang dilakukannya. Mungkin kalau yang dimaksud “fokus bertani” adalah bertani dengan satu dua jenis tanaman tertentu dengan tipikal pertanian perkebunan, mungkin ya, Pak Wakhid memang tidak melakukan itu. Tetapi jika konsep bertani kita maknai sebagai bentuk penataan ruang hidup untuk menjawab kebutuhan hidup keluarga tani, maka apa yang dilakukan Keluarga Pak Wakhid dan Bu Kartinah adalah konsep penataan ruang hidup yang sesungguhnya. Tidak ada lahan yang tidak termanfaatkan. Segala jenis tanaman yang dibutuhkan terutama untuk pangan keluarga ada di kebun dan pekarangan rumah. Selain juga menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomi, berupa tanaman semusim dan tanaman keras.
Pekarangan depan rumah adalah laboratorium bagi berbagai
jenis sayur mayur dan tanaman obat. Dirawat dengan telaten oleh bu Kartinah.
Beliau tahu persis dimana letak kunyit, jahe, sere, kencur, juga isi setiap
jengkal pekarangannya. Kami mencatat satu persatu tanaman yang ada di
pekarangan tersebut. Pegagan, terong, cabe, bayam, sawi, kubis, kol, tomat,
buncis, papaya, ginseng jawa, seledri, jahe, kunyit, temu giring, temu lawak. Ada
juga beberapa jenis bunga, matahari, petroseli dan satu jenis tanaman dalam pot
yang bentuk bunganya menyerupai bintang, berfungsi untuk membersihkan mata. Sedangkan
di sisi kiri rumah agak keluar dari lahan sayur mayur, ada beberapa tanaman
besar; kayu manis, kaliandra, kepel, kelapa, dan salah satu jenis pohon yang
berguna untuk obat malaria serta pohonnya berfungsi untuk bahan bangunan.
Halaman belakang adalah rumah sejuk bagi ternak peliharaan
keluarga ini. Beberapa ekor kambing Jawa terlihat sedang memamah biak dalam
kandang. Pak Wakhid baru saja meletakkan setumpuk rumput dan daunan segar di
tempat pakan persis di sisi luar kandang, cukup dijangkau kambing-kambing
tersebut dengan mengulurkan leher. Di dekat pintu dapur ada kandang kayu tempat
ayam-ayam peliharaan. Semua jenis ayam kampung, dengan pakan alami. Beberapa
sedang bertelur, dan beberapa ayam betina terlihat berkeliaran di halaman
belakang diikuti sekawanan anak-anaknya. Pada sisi lain kandang kambing, ada tumpukan
beberapa karung yang membuat kami penasaran. “Itu stok pupuk kandang, untuk
tanaman di kebun dan pekarangan depan”. Pak Wakhid menjawab rasa penaaran kami.
“Kalo stok pupuk disini gak pernah kekurangan”, Beliau melanjutkan omongan
sambil menata tumpukan ranting kayu bakar.
Kayu-kayu tersebut sebagian digunakan untuk kebutuhan sendiri, sebagian
lagi dijual. Beberapa tampak sudah dalam ikatan. Potongan kayu tersebut sangat
rapi, permukaannya mulus, tanpa kulit. “Ini kulitnya dikelupas satu persatu,
Pak..” Tanya saya. “Gak, itu yang ngelupasin kambing, mereka doyan kulit kayu
kayu itu.” Pak Wakhid menjawab pertanyaan saya sambil wajahnya terlihat menahan tawa. Saya dan Yufik
saling pandang, hamper tak percaya. Kami melongok ke dalam kandang kambing, di
salah satu pojok terlihat tumpukan potongan dahan berdiameter 2 sampai 3 cm,
sebagian masih dikelilingi kulit, sebagian lagi sudah berwarna terang mulus
tanpa kulit. “Nah, kalo sudah gak ada kulitnya, kayunya lebih cepat kering,
kalo dibakar lebih bagus” Pak Wakhid kembali menjelaskan. Yufik terlihat
manggut-manggut, “benar-benar efisien”, celetuknya. Ia terlihat kagum, ini
memang pengetauan menarik bagi kami.
Membawa Benih
Kehidupan, Menjaga Silaturasa
Bu Kartinah memasukkan ke kantung plastik bekal untuk kami di
perjalanan. Sekantung kopi arabika Suroloyo yang baru disangrai oleh Eko,
beberapa kantung keripik pegagan, dan cemilan lain olahan Bu Kartinah dan
menantunya. Kemudian Beliau pamit pergi ke tempat saudara dekat, mau
bantu-bantu karena sedang ada acara. Saya menemani Bu Kartinah yang berangkat
dengan cucunya hingga keluar gapura. Memeluk Beliau, mengucapkan terima kasih.
Aktivita Bu Kartinah memang lebih banyak di luar rumah. Beliau memiliki tangan
dingin dalam hal pijat memijat. Sering dipanggil untuk memijat bayi atau
perempuan yang baru selesai melahirkan. Sesekali, Beliau hadir di kegiatan
organisasi perempuan di susun tersebut.
Hari mulai siang, kami pun berkemas. Di halaman, dekat si tooper, sebongkah besar umbi bunga bangkai hasil
jalan-jalan Yufik menemani Pak Wakhid ke kebun siap dibawa untuk disemai di
tempat Yufik, di Manglayang. Suweg itu berukuran dua kali kepala orang dewasa,
cukup besar dan berat. Di sebelahnya, sebongkah potongan kayu seukuran paha
juga siap dibawa serta. Kayu tersebut pasti hasil perburuan Wahab. Pelukis
arang tersebut selalu mengincar kayu-kayu unik untuk memenuhi eksplorasinya
dalam penggunaan arang sebagai alat lukis. Selanjutnya adalah menata dua
bongkah oleh-oleh tersebut diantara tumpukan barang dalam bak keranjang di atas
atap si trooper.
Waktunya untuk mohon diri, pamit melanjutkan perjalanan.
Terima kasih Pak Wakhid, Bu Kartinah, Mas Eko, Mbak Tri dan keluarga kecilnya, sudah
menerima kehadiran kami dengan kehangatan. Selain menjaga silaturahmi,
menautkan tali rasa, pertemuan ini adalah proses belajar bagi kami tentang
bagaimana keluarga tani menata ruang hidupnya. Sehatlah sehat senantiasa,
semoga Keluarga Pak Wakhid dan Bu Kartinah selalu dalam limpahan kasih sayang
semesta.
Bersambung......
Bersambung......
Menarik sekali. Keep up the good work
BalasHapusWah tersanjung, diapresiasi sama penulis jurnal yang keren. thanks, mas Ben..
Hapus