Minggu, 09 September 2018

Suroloyo, Kawasan Kebun Kopi Berkabut


Ziarah Kebun Kopi, Edisi : Jelajah Kopi Jawa (3)
Mengunjungi Pak Wakhid dan Bu Kartinah


Menuju Suroloyo

Setelah melewati malam di Yogya dengan dingin kemaraunya yang membuat tubuh kami menggigil, kami pun berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke Suroloyo, ke rumah Bu Kartinah. Medan yang akan kami tempuh cukup berat bagi si mobil trooper, maka sebagian barang bawaan  harus kami tinggalkan di Yogya. Menitipkan barang-barang ke Kang Iman berarti menyepakati janji bahwa kami akan kembali lagi ke Totality Coffee sepulang dari Suroloyo sebelum melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Selain beberapa perlengkapan yang cukup berat, kami juga menurunkan sebagian oleh-oleh dari kebun Ema Okon, yang tentu saja tidak untuk diambil kembali, melainkan untuk Kang Iman dan tetangga-tetangganya. Sebagian lagi kami bawa untuk perbekalan dan oleh-oleh ke Suroloyo.

Saya menghubungi Bu Kartinah melalui nomor handphone Mas Eko putranya, mengabarkan bahwa kami sudah berangkat dari Yogya menuju Suroloyo. Nama Bu Kartinah saya peroleh dari Kak  Lely, seorang perempuan feminis yang sudah sejak lama melakukan kerja-kerja pemberdayaan  bagi perempuan di pedesaan. Bu Kartinah, adalah satu di antaranya. Saya tidak berhasil mengingat wajah Bu Kartinah meski pun saya sangat yakin pernah bertemu beliau enam tahun lalu saat menghadiri festival punakawan di Suroloyo. Karena perempuan yang sangat aktif itu selalu ikut sibuk di setiap perhelatan di dusunnya.

Beberapa kali perjalanan kami terhenti, karena jalan yang terus menanjak membuat si trooper harus jeda sesaat. Sahabat kami Yufik dengan sigap membuka kap mobil, memberi jalan bagi uap panas. Ozi si barista gadungan yang selalu siap dengan perbekalan alat seduh kopi menyambut waktu jeda perjalanan dengan riang gembira. “Saatnya ngopi brooo…” salah seorang dari kami ikut nyeletuk. Sedikitnya butuh waktu 30 hingga 45 menit sampai si trooper siap jalan lagi. Kami menghabiskan waktu itu dengan ngobrol, becanda, mempelajari situasi sekitar, menyapa orang-orang yang keluar dari semak dan pepohonan dengan tumpukan ranting atau keranjang bambu berisi potongan rumput untuk pakan ternak.
“Nyuwun sewu...” begitu seorang ibu berucap pada kami sambil melintasi jalan setapak dekat hamparan rumput tempat kami beristirahat. “Monggo, buu..” serempak kami menjawab.  Kami memang ingin agar perjalanan ini menggembirakan. Dan diantara kami berenam, yang selalu punya bahan untuk dijadikan lelucon adalah Timbul. Orang ini memang selalu berhasil mengocok perut kami dengan banyolannya yang sering tidak masuk akal. Tapi ya karena sangat tidak masuk akal jadi lucu. Sebagai seorang antropolog, Timbul punya keahlian mengeksplorasi kondisi di sekitar kami dan mencermati dengan detail benda-benda yang dia temukan. Disaat itulah imajinasinya berkembang, liar dan kadang konyol. Kekonyolan yang membuat kami terhibur.

Dusun Keceme

Hari menjelang petang ketika kami tiba di dusun Keceme. Barisan patung punakawan di dekat parkiran kawasan wisata Suroloyo mengingatkan saya pada perjalanan pertama ke dusun ini menghadiri festival Punakawan, enam tahun silam. Dusun ini menyimpan cerita rakyat, bahwa Suroloyo adalah kawasan tempat Ki Semar berada sambil mengasuh Petruk, Gareng dan Bagong, serta momong para ksatria Pandawa. Tempat dimana para Dewa bersemayam. Saya menoleh ke arah anak tangga pertama menuju puncak Suroloyo, berharap hari berganti dan fajar segera tiba. Berjanji dalam hati, esok pagi mendaki undakan 286 anak tangga dan tiba di puncak sebelum matahari terbit. Mobil kami terus berjalan perlahan, meninggalkan barisan patung punakawan dengan senyum mbah Semar yang selalu mengembang. Dulu saya selalu merasa aneh setiap melihat raut wajah mbah Semar. Garis bibirnya selalu lebar, seperti mulut orang tertawa, tapi bentuk mata dan tatapannya selalu sayu, bahkan terkesan sedih. Lama baru saya mengerti, ternyata getstur tubuh dan raut wajah Semar adalah cermin perjalanan hidup manusia. Mbah Semar selalu mencerminkan kontradiksi-kontradiksi. Bukan untuk mempertentangkan, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup perlu keseimbangan. Wajahnya cerminan kebahagiaan dan kesedihan, tangannya yang selalu mengarah satu ke atas dan satunya lagi ke bawah adalah pengingat pada langit dan bumi, pada Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya, juga pada kondisi manusi yang kadang di atas kadang di bawah.

Jarak dari lokasi pusat wisata Suroloyo ke rumah Pak Wakhid dan Bu Kartinah hanya sekitar 5 menit. Melewati jalan agak menurun, tepat setelah tikungan ke kiri, kami melihat ada gapura dan jalan masuk sedikit menanjak. Disanalah rumah Pak Wakhid dan Bu Kartinah, persis seperti informasi yang kami peroleh dari warga yang kami temui sebelumnya. Yufik memarkirkan si trooper di pekarangan. Di sehamparan tanah itu berdiri rumah semi permanen, berlantai semen dan berdinding kayu. Teras rumahnya cukup luas, adem sekali. Rasanya tak sabar ingin segera duduk selonjoran di lantai teras itu. Seorang lelaki muda menyambut kami, memperkenalkan diri. Tebakan saya tepat, pemuda itu mas Eko, anak bungsu Pak Wakhid dan Bu Kartinah.
Tak lama Pak Wakhid menemui kami di teras, mempersilahkan kami masuk, tapi kami masih ingin bersantai di teras rumah itu. Akhirnya Pak Wakhid ikut duduk bersama kami di teras, dan mulai bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang kondisi dusun Keceme dalam beberapa tahun terakhir. Saya berusaha menyimak, sambil mencoba mengingat-ingat potongan-potongan cerita yang saya pernah tahu tentang dusun ini. Mengingat beberapa tokoh dan sesepuh yang punya pengaruh kuat di tengah masyarakat dusun Keceme. Beberapa diantaranya dipercaya sebagai penjaga tempat-tempat yang punya nilai sejarah dan spiritual di kawasan Suroloyo. Pak Wakhid adalah satu diantaranya.

Cukup lama kami menghabiskan waktu berbincang dengan Pak Wakhid di teras rumah. Hingga dari pekarangan seorang perempuan sekitar paruh baya datang bergegas ke arah kami. Bu Kartinah mengembangkan senyumnya, menyalam kami satu persatu. “Maaf yaa, saya gak nunggu mas-mas ama mbaknya datang, tadi ada yang minta bayinya dikusuk, jadi saya berangkat saja, tapi tadi sudah titip ama Bapak kalo mas-mas ama mbaknya mau datang” bu Kartinah menjelaskan kesibukannya hari itu. “Ndak apa-apa bu, kalau sesuai janji, mestinya kami sudah sampai dari siang tadi, tapi mobilnya gak bisa tancap gas terus, jadinya sampe sini sore, kami yang minta maaf”, saya menimpali, merasa tidak enak karena Bu Kartinah sebenarnya sudah menunggu kami dari siang.

Kami akhirnya mengikuti ajakan Bu Kartinah dan Pak Wakhid masuk, menikmati kopi Suroloyo dan panganan kecil yang disediakan. Bergabung dengan seorang tamu bule (turis dari Amerika), yang sudah dua kali datang ke rumah itu. Menginap di salah satu kamar di rumah Pak Wakhid. Dia terlihat cukup akrab dengan Eko. Sebagai alumnus akademi bahasa asing di Yogyakarta, Eko cukup mahir berbahasa Inggris. Keterampilannya itu memudahkannya komunikasi dengan turis asing yang berwisata ke Suroloyo. Menjadi pemandu turis merupakan pekerjaan yang bisa Ia lakoni sambil mengolah kopi hasil kebun keluarga. Lelaki yang sudah beristri dan memiliki seorang anak perempuan ini menjadi teman ibu bapaknya, tinggal di rumah keluarga dan ikut mengurus berbagai hal. Eko juga yang mengambil peran mengolah kopi setelah panen, menyangrai di wajan tembikar di atas tungku, dan membuka jaringan untuk memasarkan kopi olahannya tersebut. 

Bu Kartinah mempersilahkan kami untuk istirahat sesantainya. Ruang tengah yang luas itu lebih dari cukup untuk menampung kami berenam. Tentu saja kami tidak segera istirahat, masing-masing saling mengisi waktunya sendiri-sendiri. Selagi ingat, saya menyerahkan sebungkus kecimpring dan kopi sangray arabika Cikajang dari kebun Mak Okon hasil olahan Iqbal. Meneruskan rasa, dari petani untuk petani.

Bulan Terang, Kopi Panas dan Suweg Kukus

Selepas magrib, kami kembali memenuhi teras rumah Pak Wakhid. Selembar tikar dibentangkan, “biar gak masuk angin”, demikian kata Pak Wakhid. Sepertinya Beliau paham kalau kami mulai merasa dingin. Ozi mulai menata perlengkapan seduh kopi, dibantu Alex yang mulai menyalakan kompor kecil berbahan bakar spirtus. Tak lama, api biru mulai menyebar di permukaan kompor, menari-nari, menjilat pantat panci aluminium wadah air. Udara dingin mulai menusuk tulang, tapi belum sebanding dengan dinginnya Suroloyo ketika kali pertama saya datang ke tempat ini. “Tenda mau diturunkan dari mobil gak..? Kali aja ada yang kebelet kemah” saya iseng bertanya. Timbul mulai cekikikan sendiri, pasti dia sedang menghayalkan sesuatu. “Iya, dipasang saja di halaman, jadi properti, untuk foto-foto, tidurnya ya tetap di rumah, hi hi hi..”. Yang lain ketawa sambil setengah ngomel. 

Bu Kartinah tidak kelihatan, hanya ada Pak Wakhid dan Eko bersama kami.. Saya masuk ke rumah, langsung menuju dapur. Ternyata Bu Kartinah dan menantunya sedang sibuk di dapur, mengatur susunan kayu bakar di tungku. Sebuah dandang bertengger di atasnya. Seketika tubuh saya terasa hangat, saya menjulurkan tangan di sekitar tungku. Dapur di rumah-rumah petani memang selalu hangat.  Ternyata di dapar juga ada Yufik, sedang mengambil gambar dan rekaman video. Kawan kami yang satu ini memang tergila-gila pada pangan lokal. Kemana pun dia pergi, selalu tak luput mencari tahu pangan lokal di wilayah itu. Kadang dia beruntung bisa membawa pulang benih untuk disemai di pekarangan atau di kebunnya di Cileunyi, Bandung. “Emang si Ibu masak naon..?”, Tanya saya pada Yufik. “Eta, suweg”, jawabnya singkat. “Suweg niku nopo, bu..?” merasa belum puas, saya bertanya pada Bu Kartinah. “Ini loh, mbak..”, Bu Kartinah membuka tutup dandang, mulai mengeluarkan potongan suweg satu persatu ke wadah. “Ooo, kog kayak tales ya bu..”, potongan suweg kukus itu mengingatkan saya pada talas atau keladi rebus. “Iya, kan memang sama-sama jenis umbi toh..” Bu Kartinah menimpali. Yufik terlihat masih tekun mengambil rekaman video. Sesekali dia memberikan pertanyaan pada Bu Kartinah, pasti soal pangan lokal. Saya membalikkan badan, memberi kode pada menantu Bu Kartinah, mengatakan saya balik ke depan. Tak lama kemudian Yufik juga bergabung di teras, disusul Bu Kartinah dengan membawa wadah berisi suweg dan parutan kelapa. Panganan itu masih ngebul, tapi kami sudah tak sabar ingin menyantapnya. Pak Wakhid, Bu Kartinah dan Eko nyeruput kopi lembang yang kami bawa, setelah sore tadi kami disuguhi kopi arabika dari kebun Pak Wakhid. Ini semacam ritual di perjalanan silaturahmi yang kami lakukan ke rumah petani kopi. Menjaga silaturasa, antara keluarga petani kopi melalui kopi yang mereka hasilkan, meski pun tentu mereka tidak pernah saling jumpa dan bertatap muka. 

Obrolan kami berpindah-pindah, tentang suweg, cara mendapatkannya, mengolahnya, dan masyarakat yang mulai jarang menggunakannya sebagai sumber pangan. Selain suweg, Pak Wakhid dan Bu Kartinah juga berbagi pengetahuan tentang pangan lokal lain yang mulai jarang dikonsumsi masyarakat modern. Ada ganyong, iles-iles, kimpul (talas), serta gadung yang proses pengolahannya agak panjang untuk menghilangkan kandungan racunnya. Saya juga baru tahu kalau suweg yang sedang kami nikmati ternyata berasal dari umbi bunga bangkai. 

Malam semakin larut, bulan kian meninggi. Dari arah pohon pisang di sisi kiri pekarangan bayangan orang dengan tubuh lebar dan rambut panjang berantakan  tampak menyembul.  Bukannya menakutkan, sosok itu justru terlihat lucu, kedua tangannya yang mengayun-ayun sambil diangkat seperti bayangan si boneka pooh yang sedang menari-nari. Timbul selalu punya cara membuat kami tertawa. Entah kapan dia jalan ke arah pohon pisang itu, tahu-tahu nongol. 

Kami masih ngobrol di teras, membicarakan rencana ke puncak Suroloyo pagi sebelum fajar.  Pak Wakhid, Bu Kartinah dan Eko pamit masuk dan istirahat duluan.  Di teras depan sisi kanan, Wahab menikmati hammock, ayunan kain yang ujung-ujungnya terikat pada dua sisi pilar kayu penyanggah atap teras.  Sebagai pengayuh sepeda yang sering nginap dimana pun, Timbul selalu membawa hammock itu. Kali ini Wahab yang menikmati. Tubuhnya yang ramping membuat ayunan kain itu seperti tak terbebani. Hanya sebelah kakinya yang menjuntai ke luar ayunan yang membuat kami yakin kalau si pemilik kaki itu adalah Wahab. Saya mengajak kawan-kawan segera istirahat, agar bisa lebih pagi ke puncak Suroloyo. Semua bergegas masuk, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk tidur, tak terkecuali Wahab.  “Katanya mau tidur di luar saja pake hammock, kog ikut masuk.., takut ada yang ngayunin yaa…” saya masih sempat iseng godain Wahab. “Gak, ngapain takut, cuma dingin aja di luar, gak kuat aku”, Wahab cepat bereaksi.  Terdengar suara salah seorang kawan terkekeh dari balik sleeping bag , mentertawakan Wahab, terkesan meledek. Lalu, suasana begitu hening. Semua tenggelam dalam lelah yang melelapkan.

Fajar Berselimut Kabut

Kami berpacu dengan waktu. Tiba di dua puncak yang berbeda sebelum fajar.  Yufik, Ozi dan Alex berada di puncak Suralaya. Saya, Timbul dan Wahab di puncak Suroloyo. Menaiki 286 anak tangga tak juga membuat tubuh kami kebal terhadap udara dingin. Sampai di puncak, kami juga disambut hembusan angin yang cukup kencang. Pagi itu puncak Suroloyo sangat hening. Sejauh mata memandang yang kami lihat hanya abu-abu gelap, hamparan kabut tebal.  “Mungkin masih terlalu pagi”, saya bergumam, bicara pada diri sendiri. Berdiri menatap ke utara, berharap melihat puncak si kembar Gunung Sindoro dan Sumbing di kejauhan.  Saya berjalan menuju ke tempat Timbul yang sedang memainkan kamera, menanti titik terang di ufuk timur.  Tapi tanda-tanda fajar belum juga terlihat. Mestinya ia akan menyembul dari punggung Gunung Merapi. Gunung yang puncak lancipnya terlihat indah, berkilau-kilau. Sementara di langit barat, bulan masih terlihat menggantung, muram. Suara kokok ayam mulai terdengar bersahutan dari arah perkampungan nun jauh di bawah. Tak berapa lama waktu subuh tiba, suara azan datang dari berbagai arah. Kadang terdengar begitu dekat, lalu menjauh, diayun oleh sang bayu. 


Yang dinanti datang juga, semburat merah di timur mulai terlihat. Kami begitu bahagia menyambut kehadiran sang fajar. Timbul mulai bermain dengan kamera, berusaha menangkap sun-rise secepat dan setepat mungkin. Saya sendiri tak bisa berbuat banyak, hanya diam menghikmati suasana. Memaki kebodohan sendiri, karena melakukan kesalahan fatal yang tidak boleh dilakukan pemburu foto, lupa menyiapkan cadangan batere kamera. Tapi ternyata semburat merah tidak bertahan lama, matahari pagi itu tak cukup kuat menembus awan. Kabut yang mulai menipis kembali menebal, kawasan perkampungan yang mulai tampak diantara hijau pepohonan pun kembali tak terlihat. Kecewa, tapi mau bagaimana lagi, ini yang namanya ketidakberuntungan, belum jodoh.  

Kami masih bertahan di puncak hingga cahaya matahari pecah.
Dari anak tangga terdengar suara langkah, ternyata Alex membawa bungkusan. Wajah kami bahagia, membayangkan segera menyeduh kopi di puncak Suroloyo. Saya mengeluarkan biji kopi, Alex mengeluarkan isi bungkusan, hanya berisi kompor spirtus, panci dan sebotol air.  Kami saling pandang, lalu tawa pun meledak, ternyata grinder ada di Puncak Suralaya, dipegang Ozi. Pagi itu kami memang serba kurang beruntung. Tapi entah hasrat apa yang membuat kami tak ingin menyerah. Api tetap dinyalakan, air tetap dididihkan. Saya membungkus biji kopi dengan kain syal, lalu Timbul menumbuk biji kopi dalam balutan kain tersebut dengan batu. Hancur tapi tidak membubuk. Hanya memungkinkan untuk direbus, tidak untuk diseduh, itu pun sangat encer. Tapi nikmat itu kan relatif. Kami tetap bisa bergembira, dan berhasil nyeruput air rebusan kopi di puncak Suroloyo. Serta menciptakan sebuah cerita untuk dikenang.  Setidaknya kalau urusan ngopi, kami lebih beruntung daripada tim Ozi dan Yufik di Puncak Suralaya. Sebab mereka hanya membawa grinder dan perlengkapan memasak air, tidak bawa kopi. Lalu apa yang mau diseduh.. Tapi saya yakin, dalam hal rekaman video dan foto, mereka lebih lengkap. Sebab lebih sungguh-sungguh mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.  Bahkan hingga saat kami datang menghampiri, Yufik masih dalam proses merekam gambar.

Anak Muda dan Wajan Tembikar 

Kami mengisi pagi di teras depan, menikmati kopi selepas sarapan. Dari arah dapur terdengar suara serokan pada wajan tembikar, ritmis. Saya dan Timbul  bergegas ke dapur, membawa peralatan rekam seadanya. Sepertinya seseorang sedang menyangrai kopi. Di dapur, di atas tungku, sebuah wajan tembikar ukuran sedang bertengger. Di depan tungku, eko duduk bertumpu pada bangku kayu kecil. Tangannya tak pernah berhenti mengaduk-aduk biji kopi dengan ritme gerakan yang konstan.  Dari arah jendela, seberkas cahaya matahari masuk tepat menyirami tembikar penyangraian. Klasik, suasananya indah untuk diabadikan dalam potongan-potongan gambar.  “Masukin biji kopi berapa kilo, mas Eko ?”, pertanyaan Timbul memecah sunyi. “Satu kilo, mas”, Eko menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari biji-biji kopi yang terus bergerak.
“Berapa lama nyangrainya ?” Timbul melanjutkan pertanyaan. “Sekitar satu jam, yang penting apinya dijaga tetap stabil” sambil menjawab Eko sedikit merunduk, melihat ke arah tungku.  Dengan tangan kiri Dia mengeluarkan satu potong kayu untuk mengurangi api yang kobarannya terlihat makin membesar, sementara tangan kanannya masih memainkan sendok pengaduk agar biji kopi tidak diam, menjaga agar tidak gosong.  Biji-biji kopi tersebut sudah melewati proses yellowing,  kini mulai berubah kecoklatan, light brown. Tangan kiri Eko dengan cepat mengatur posisi kayu, menghentikan nyala api untuk mengurangi panas. Kini suhu panas bersumber dari nyala bara yang cukup stabil. Dari arah pintu, Yufik masuk membawa peralatan rekam. Mulai mengambil posisi di salah satu sudut, kemudian bergerak maju, merekam biji-biji kopi lebih dekat. Sesekali Ia mengarahkan kamera ke wajah Eko, tangan, tembikar, tungku. Lalu kembali ke arah biji-biji kopi tepat saat cracking, yaitu saat biji-biji kopi mulai memecah dan mulai mengeluarkan bunyi “krek”. Eko masih terus mengaduk, warna biji kopi mulai coklat medium dan krek kedua mulai terdengar, Eko mempercepat adukannya. Pada tahap ini, biji kopi sangat cepat mengalami perubahan, dari  light brown, medium, medium to dark, hingga dark dan fully carbonize atau dalam istilah tradiisonal kita biasa menyebutnya gosong.  Cukup sampai medium to dark, Eko bergegas mengangkat wajan tembikar, dan menuangkan biji-biji kopi tersebut ke atas tampah anyaman bambu. Mengipas-ngipas biji kopi tersebut agar segera dingin. Sebab suhu panas yang masih tersimpan di biji kopi jika dibiarkan akan menyebabkan biji tersebut sebagian akan menggelap, warnanya tidak rata. Aroma kopi sangrai memenuhi dapur, menjalar ke setiap ruang di rumah tersebut.   Bahkan sampai ke pekarangan depan. Wangi sekali. 

Ruang Hidup, Semua ada di Kebun dan Pekarangan


Selesai mengambil beberapa potongan gambar saat Eko menyangrai kopi, Yufik melanjutkan pengambilan gambar beberapa sumber pangan yang tersedia di kebun dan pekarangan rumah Pak Wakhid. Perhatiannya yang cukup tinggi pada pangan lokal membuatnya terlihat antusias selama pengambilan gambar tersebut. Mengikuti Pak Wakhid ke kebun yang jaraknya tidak jauh dari rumah, hanya berjalan kaki sekitar 5 menit.  Berbagai jenis tanaman ada di lahan tersebut. Pohon kopi terlihat menyebar, diantara tanaman keras dan tanaman kebun lainnya.  “Dulu, sebelum kopi, di sini banyak tanaman vanili. Tapi karena harganya turun, mulai digantikan dengan kopi”, Pak Wakhid mulai berkisah tentang awal mula tanaman kopi di lahannya. Tanaman vanili masih terlihat diantara beberapa tanaman lain.  Menurut Pak Wakhid, Ia tidak fokus bertani, terutama kopi. Sebab banyak yang dikerjakan. Pernyataan Pak Wakhid terkesan kontradiksi dengan aktivitas yang dilakukannya. Mungkin kalau yang dimaksud “fokus bertani” adalah bertani dengan satu dua jenis tanaman tertentu dengan tipikal pertanian perkebunan, mungkin ya, Pak Wakhid memang tidak melakukan itu. Tetapi jika konsep bertani kita maknai sebagai bentuk penataan ruang hidup untuk menjawab kebutuhan hidup keluarga tani, maka apa yang dilakukan Keluarga Pak Wakhid dan Bu Kartinah adalah konsep penataan ruang hidup yang sesungguhnya. Tidak ada lahan yang tidak termanfaatkan.  Segala jenis tanaman yang dibutuhkan terutama untuk pangan keluarga ada di kebun dan pekarangan rumah. Selain juga menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomi, berupa tanaman semusim dan tanaman keras. 

Pekarangan depan rumah adalah laboratorium bagi berbagai jenis sayur mayur dan tanaman obat. Dirawat dengan telaten oleh bu Kartinah. Beliau tahu persis dimana letak kunyit, jahe, sere, kencur, juga isi setiap jengkal pekarangannya. Kami mencatat satu persatu tanaman yang ada di pekarangan tersebut. Pegagan, terong, cabe, bayam, sawi, kubis, kol, tomat, buncis, papaya, ginseng jawa, seledri, jahe, kunyit, temu giring, temu lawak. Ada juga beberapa jenis bunga, matahari, petroseli dan satu jenis tanaman dalam pot yang bentuk bunganya menyerupai bintang, berfungsi untuk membersihkan mata. Sedangkan di sisi kiri rumah agak keluar dari lahan sayur mayur, ada beberapa tanaman besar; kayu manis, kaliandra, kepel, kelapa, dan salah satu jenis pohon yang berguna untuk obat malaria serta pohonnya berfungsi untuk bahan bangunan. 

Halaman belakang adalah rumah sejuk bagi ternak peliharaan keluarga ini. Beberapa ekor kambing Jawa terlihat sedang memamah biak dalam kandang. Pak Wakhid baru saja meletakkan setumpuk rumput dan daunan segar di tempat pakan persis di sisi luar kandang, cukup dijangkau kambing-kambing tersebut dengan mengulurkan leher. Di dekat pintu dapur ada kandang kayu tempat ayam-ayam peliharaan. Semua jenis ayam kampung, dengan pakan alami. Beberapa sedang bertelur, dan beberapa ayam betina terlihat berkeliaran di halaman belakang diikuti sekawanan anak-anaknya.  Pada sisi lain kandang kambing, ada tumpukan beberapa karung yang membuat kami penasaran. “Itu stok pupuk kandang, untuk tanaman di kebun dan pekarangan depan”. Pak Wakhid menjawab rasa penaaran kami. “Kalo stok pupuk disini gak pernah kekurangan”, Beliau melanjutkan omongan sambil menata tumpukan ranting kayu bakar.  Kayu-kayu tersebut sebagian digunakan untuk kebutuhan sendiri, sebagian lagi dijual. Beberapa tampak sudah dalam ikatan. Potongan kayu tersebut sangat rapi, permukaannya mulus, tanpa kulit. “Ini kulitnya dikelupas satu persatu, Pak..” Tanya saya. “Gak, itu yang ngelupasin kambing, mereka doyan kulit kayu kayu itu.” Pak Wakhid menjawab pertanyaan saya sambil  wajahnya terlihat menahan tawa. Saya dan Yufik saling pandang, hamper tak percaya. Kami melongok ke dalam kandang kambing, di salah satu pojok terlihat tumpukan potongan dahan berdiameter 2 sampai 3 cm, sebagian masih dikelilingi kulit, sebagian lagi sudah berwarna terang mulus tanpa kulit. “Nah, kalo sudah gak ada kulitnya, kayunya lebih cepat kering, kalo dibakar lebih bagus” Pak Wakhid kembali menjelaskan. Yufik terlihat manggut-manggut, “benar-benar efisien”, celetuknya. Ia terlihat kagum, ini memang pengetauan menarik bagi kami. 

Membawa Benih Kehidupan, Menjaga Silaturasa

Bu Kartinah memasukkan ke kantung plastik bekal untuk kami di perjalanan. Sekantung kopi arabika Suroloyo yang baru disangrai oleh Eko, beberapa kantung keripik pegagan, dan cemilan lain olahan Bu Kartinah dan menantunya. Kemudian Beliau pamit pergi ke tempat saudara dekat, mau bantu-bantu karena sedang ada acara. Saya menemani Bu Kartinah yang berangkat dengan cucunya hingga keluar gapura. Memeluk Beliau, mengucapkan terima kasih. Aktivita Bu Kartinah memang lebih banyak di luar rumah. Beliau memiliki tangan dingin dalam hal pijat memijat. Sering dipanggil untuk memijat bayi atau perempuan yang baru selesai melahirkan. Sesekali, Beliau hadir di kegiatan organisasi perempuan di susun tersebut. 
 
Hari mulai siang, kami pun berkemas. Di halaman, dekat si tooper,  sebongkah besar umbi bunga bangkai hasil jalan-jalan Yufik menemani Pak Wakhid ke kebun siap dibawa untuk disemai di tempat Yufik, di Manglayang. Suweg itu berukuran dua kali kepala orang dewasa, cukup besar dan berat. Di sebelahnya, sebongkah potongan kayu seukuran paha juga siap dibawa serta. Kayu tersebut pasti hasil perburuan Wahab. Pelukis arang tersebut selalu mengincar kayu-kayu unik untuk memenuhi eksplorasinya dalam penggunaan arang sebagai alat lukis. Selanjutnya adalah menata dua bongkah oleh-oleh tersebut diantara tumpukan barang dalam bak keranjang di atas atap si trooper.

Waktunya untuk mohon diri, pamit melanjutkan perjalanan. Terima kasih Pak Wakhid, Bu Kartinah, Mas Eko, Mbak Tri dan keluarga kecilnya, sudah menerima kehadiran kami dengan kehangatan. Selain menjaga silaturahmi, menautkan tali rasa, pertemuan ini adalah proses belajar bagi kami tentang bagaimana keluarga tani menata ruang hidupnya. Sehatlah sehat senantiasa, semoga Keluarga Pak Wakhid dan Bu Kartinah selalu dalam limpahan kasih sayang semesta.

Bersambung......


2 komentar:

  1. Menarik sekali. Keep up the good work

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah tersanjung, diapresiasi sama penulis jurnal yang keren. thanks, mas Ben..

      Hapus