Ziarah
Kebun Kopi, Edisi : Jelajah Kopi Jawa (2)
(catatan
intermezo, pengantar sebelum berkisah tentang kebun kopi Pak Wakhid di
Suroloyo)
Menuju Yogya


Saya dibekap rindu sesaat ketika memasuki Kebumen, hanya dapat melayangkan pandangan pada papan jalan dengan panah ke kanan, Gombong. Sekelebat ingatan pada tanah kelahiran Ibu, Puring, pantai selatan. Jejak leluhur yang belum sempat saya ziarahi. Yufik sahabat kami melajukan kendaraan dengan cukup tinggi. Mungkin udara pagi membuatnya lebih bersemangat. Kenangan pada tanah leluhurpun buyar, kembali menatap awas, memperhatikan kiri kanan berharap menemukan warung makan. Matahari mulai meninggi, kami butuh makan pagi.
Totality Coffee

Tidak
sulit menemukan Totality Coffee, jika
menuju Parangtritis dari arah Yogya pasti akan melewati kedai kopi ini.
Letaknya di kanan jalan, seberang Restoran Parangtritis, tidak sampai 100 meter
dari pasar seni Gabusan. Kedai kopi ini
sesungguhnya rumah, sebagian pengunjungnya adalah tetangga atau mereka yang
sudah menjalin komunikasi akrab dengan kang Iman dan sesama pengungjung. Maka
tak heran, jika datang kesini pada saat kedai sedang ada pengunjung lain, kita
akan disapa dan diterima layaknya teman yang sudah kenal lama. Bagi kami, kunjungan kesini tidak hanya untuk
kangen-kangenan dengan Kang Iman, juga untuk izin menggunakan Totality Coffee sebagai markas sementara
selama di Yogya. Tentu saja, Alex dan
Oji, tim logistik dengan sigap mulai melakukan observasi, mengenali dapur dan mengidentifikasi
bahan-bahan yang dapat diolah sebagai ransum. Di tempat inilah kami
membicarakan rencana detil ke Suroloyo. Di tempat ini kami menitipkan
perlengkapan yang tidak perlu dibawa serta ke puncak Suroloyo untuk mengurangi
beban tunggangan kami si mobil trooper
menuju puncak. Di tempat ini juga kami istirahat semalam setelah dari Suroloyo,
sambil membicarakan rencana perjalanan berikutnya menuju ke Temanggung dan Wonosobo.
Bulan
sedang bulat penuh ketika kami mengisi malam terakhir di Totality Coffee. Cahayanya menerangi hamparan pohon jagung di
sisi kiri kedai kopi tersebut. Satu
persatu anggota tim mulai meringkuk ke dalam kantung tidur. Seorang kawan tak tahan melawan serangan
dingin yang mengepung ruangan dengan dinding terbuka tempat kami beristirahat,
lelap namun sekujur tubuhnya menggigil. Panas-dingin
yang ekstrim oleh kemarau begitu terasa di Yogya. Hawa dingin menusuk-nusuk tulang sejak malam
hingga jelang fajar. Matahari hanya
memberi kehangatan sekejab saja. Pukul 8 pagi tubuh sudah mulai berkeringat
oleh hawa panas yang ditiupkan si angin kering musim kemarau. Menghadapi cuaca begitu, kami pun menduga,
tantangan menuju Suroloyo dan lokasi-lokasi kebun kopi dataran tinggi yang akan
kami datangi nanti, adalah udara dingin dan kabut tebal.
Bersambung......