Rabu, 27 September 2017

Ema yang Menyemai Benih, Cucu yang Menjaga Tradisi


Ziarah Kebun Kopi, Edisi : jelajah kopi jawa (1)

Ulin, Menemui Narasi-Narasi Kecil di Kebun Kopi

Ziarah ini agak berbeda dari ziarah-ziarah sebelumnya. Jika sebelumnya saya pergi sendiri ke kebun-kebun kopi petani yang menjadi tujuan perjalanan (kadang cukup ditemani kawan-kawan komunitas setempat), kali ini saya menjadi bagian dari tim jelajah kopi jawa. Tim jelajah kopi jawa bukanlah tim formal dan permanen. Tim ini hanya tim cair yang terdiri dari 6 orang (sekarang ber-enam, besok-besok bisa bertambah bisa berkurang). Kami dipersatukan oleh kesukaan kami meneguk kopi-kopi dari petani, mengulik peralatan sederhana untuk mengolah kopi, dan kesukaan kami merekam peristiwa-peristiwa asik terkait pengolahan kopi yang dilakukan petani kopi dari hulu ke hilir.  Tentu saja tim ini juga terdiri dari orang-orang yang suka jalan-jalan dan menikmati perjalanan. Maka, jadilah sepanjang jalan yang kami lalui menjadi ajang untuk kemerdekaan diri dan merayakan hidup.  Ulin ka kebon kopi, demikian kawan-kawan di tim jelajah kopi jawa menyebut perjalanan ini. Ulin sendiri dalam bahasa Sunda berarti main, atau pergi jalan-jalan. Kami memaknainya sebagai perjalanan yang menyenangkan untuk menemui narasi-narasi kecil (saya meminjam istilah yang sering digunakan mas Uji Sapitu ketika kami diskusi), atau cerita-cerita kecil yang sederhana tapi bermakna yang dilakukan petani-petani kopi dari hulu ke hilir.  Memotret kisah-kisah inspiratif yang dilakukan oleh Ma Okon dan Iqbal, Keluarga Pak Wakhid, Mas Mukidi, Pak Sukir, Mas Eed, dan kawan-kawan pemuda Salem.

Cikajang-Garut, Suroloyo-Kulonprogo, Temanggung, Mlandi dan Bowongso-Wonosobo, serta Salem-Brebes selatan. Tempat-tempat itu kami kunjungi dalam 11 hari perjalanan. Sayang, Guci, salah satu kawasan di kaki gunung slamet tidak jadi kami kunjungi karena teman kami yang sudah lama berkomunikasi dengan petani kopi disana batal ikut dalam perjalanan kami.   


Ema yang menyemai benih, Cucu yang menjaga tradisi

Menuju Cikajang
Tanggal 3 September, ketika azan subuh baru selesai berkumandang, kami memulai perjalanan menuju Cikajang-Garut.  Mengunjungi Ma Okon Winara, perempuan tua petani kopi menjadi tujuan pertama perjalanan kami. Kami belum pernah bertemua sebelumnya dengan Ma Okon. Tapi kisah Ma Okon merawat tanaman kopinya serta tradisi mengolah kopi secara tradisional untuk konsumsi sehari-hari sudah sering kami peroleh dari Noer Listanto.  Bagi para pegiat sastra di kota Bandung dan organisasi OI (Orang Indonesia), nama Noer Listanto sudah tak asing. Noer adalah anak muda pegiat sastra di Majelis Sastra Bandung (MSB), ia kerap menulis dan membaca puisi. Noer juga adalah pegiat di komunitas OI Jawa Barat.  Namun ketika di Cikajang, di kampung halamannya, nama Noer Listanto tidak setenar nama Iqbal. Padahal Noer Listanto sejatinya adalah Iqbal, cucu lelaki Ma Okon dari anak perempuannya yang ketiga. Sapaan Iqbal tentu sudah sangat melekat bagi keluarga dan orang-orang di kampungnya  sejak kecil hingga Noer dewasa. Kami pun akhirnya ikut menyapa anak muda itu dengan Iqbal, sambil sesekali kelepasan juga menyapa dengan Noer.

Rumah yang bersahaja dan suguhan teh hangat
Karena harus berhenti dulu di rumah teman kami untuk mengambil perbekalan serta menghadapi macet di beberapa titik menjelang masuk Garut dan Cikajang, akhirnya kami tiba di kediaman keluarga Iqbal sekitar pukul 09.30 WIB.  Ruang tamu rumah itu mungil dan artistik. Kursi-kursi yang seutuhnya berbahan dasar kayu didesain mengikuti lekuk aslinya, sangat alami. Terakhir kami mengetahui kalau apah-nya Iqbal adalah pengkriya yang mendesain dan membuat kursi-kursi itu, serta beberapa furniture lain di rumah Iqbal. 

Ketika kami masuk, meja di ruang tamu sudah dipenuhi dengan teh hangat, ubi rebus, singkong goreng dan kue.  Tidak ada seduhan kopi. Kopi sangray produksi ma Okon dan Iqbal masih tersimpan rapi dalam kantung kemasan di atas meja yang sama.  Yufik teman saya yang asli Sunda berbisik; “ini teh Sunda”. Saya pun baru tahu, ternyata di masyarakat Sunda istilah ngopi itu tidak berarti minum kopi, biasanya jika kita berkunjung yang disajikan terlebih dulu kepada tamu adalah teh tawar hangat. Kendati mereka menyebut dengan, “mangga ngopi” atau “mangga diopi”, bukan berarti ada kopi yang disajikan.
Meski pun kami sering ketemu Iqbal Noer Listanto di Bandung, tapi suasana pertemuan di rumahnya di Cikajang sungguh berbeda. Ia tertawa ketika sambil bercandan kami bertanya, “jadi naon ieu teh hubungan na antara puisi jeung kopi”. Iqbal hanya menjawab sambil tertawa, “naon nya..”. Sampai akhirnya tiba ke pertanyaan sejak kapan dan kenapa ngurusin kopi ?

“Waktu itu saya dirumahkan sama pabrik tempat saya bekerja selama sebulan”, begitu Iqbal mulai mengisahkan awal mula ia mengolah dan menjual kopi sangray.  Pada saat itu ia menyempatkan untuk pergi pulang ke Cikajang untuk waktu yang cukup lama. Saat masih bekerja, Iqbal hanya bisa menyempatkan diri pulang ke Cikajang jika ada kesempatan libur. Kepulangannya untuk waktu lama tersebut bertepatan dengan saat masuk bulan panen kopi. Iqbal tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Selama  sebulan dimanfaatkannya untuk belajar mengolah kopi, mulai dari panen sampe olah dan siap minum. Mulailah ia menggeluti kopi. Belajar ke berbagai kenalan, ia juga belajar dari ema. Ia meminta input dari berbagai orang mengenai cita rasa kopinya, serta membuka diri untuk melakukan perbaikan-perbaikan.   Hingga akhirnya, kini memasuki tahun ketiga, Iqbal sudah dapat berbangga dengan kopi sangray produknya yang semakin dikenal oleh banyak teman.

Satu setengah jam berbincang-bincang di rumah Iqbal, serta telah juga berkenalan dengan apah dan mamahnya. Namun kami belum juga bertemu dengan Ma Okon. Ternyata ma Okon ada di rumahnya sendiri, tepat di samping kiri rumah Iqbal.  Seluruh proses pengolahan kopi dilakukan Iqbal bersama emaknya di rumah itu.  Kami mulai beranjak dari rumah Iqbal ketika sekitar pukul 11.30 Iqbal mengajak kami menuju rumah ema karena hidangan makan siang sudah disiapkan. Tentu saja ajakan penuh berkah tersebut kami sambut dengan suka cita. Benar saja, di teras rumah ma Okon, lembaran daun pisang yang memanjang dengan menu lengkap di atasnya sudah menanti.  Nasi liwet, ikan asin, sambal, kerupuk, lalap timun, daun pohpohan, leuncak. Ma Okon, dengan bahasa sundanya yang kental, mempersilahkan kami menikmati hidangan yang menurut kami sangat mewah itu.  

Merawat Pohon Kopi, Berawal dari Rasa Cinta
Setelah menikmati makan siang yang begitu nikmat, kami mulai dimanja dengan tutur ema mengisahkan perkenalan pertamanya pada tanaman kopi.  Dulu sekali, ketika ema masih anak-anak memasuki usia remaja, bapaknya yang seorang petani sudah menanam kopi di pekarangan. Tidak banyak, hanya ada 5 pohon, sebab hanya diperuntukkan sebagai tanaman pagar dan memenuhi konsumsi kopi keluarga.  Sejak itu ma Okon mulai suka dengan tanaman kopi. Ia merasa gembira ketika melihat bunga-bunga kopi yang wanginya memenuhi pekarangan mulai bermekaran. Kegembiraannya bertambah setiap melihat biji-biji kopi yang bulat kecil tampak mulai berwarna merah.  Ma Okon mulai menanam 2 pohon kopi di kebun dan merawatnya hingga besar.  Kemudian bertambah, bertambah, dan semakin banyak tersebar di lahan kebun yang tidak begitu luas.  

Kebun ma Okon memang tidak terlalu luas, tidak sampai 1 ha.  Tanah kebun milik bapaknya yang mencapai 3 ha sudah lama habis dibagi-bagi sebagai warisan.  Awalnya ma Okon hanya memiliki sepetak tanah kebun sekitar 70 tumbak, kini ada tiga petak yang diperoleh ma Okon dengan membeli, menyisihkan hasil kebun sedikit demi sedikit. Lokasi kebun mak Okon juga tidak berada dalam satu tempat, tersebar di tiga titik. Semuanya berada tidak jauh dari rumah. Di tanah kebun tersebut, ma Okon yang kini tak lagi muda, merawat sekitar 500 pohon kopi, semua jenis arabika.  "Ah...Ema mah resep we kana kopi teh. Ti ema leutik, resep ninggali kembang sareng buahna nu beureum." Begitu jawaban ema, ketika kami bertanya, kenapa ema Okon memilih menanam kopi.

Petik Merah
Kami melanjutkan obrolan dengan ema Okon sambil menuju kebun ema di 2 lokasi yang berbeda.  Kebun ema yang pertama kami kunjungi cukup dijangkau dengan 5 menit berjalan kaki.  Di kebun itu pohon-pohon kopi tumbuh subur dengan jarak tanam yang agak rapat.  Mungkin ema terlalu semangat nanam kopi, sementara luas lahannya kurang bisa memenuhi keinginannya.  Tidak banyak tersisa biji berwarna merah, hanya ada beberapa.  Tetapi di tiap pohon deretan biji kopi hijau masih terlihat kuat menempel pada dahan yang menjutai. Kata ema, biji hijau ini tabungan, beberapa minggu lagi, setelah merah ia akan siap dipetik.


Dari cerita ema kami ketahui, Iqbal cucunyalah yang menyarankan ema untuk memetik hanya biji yang berwarna merah.  Sebab kopi yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang berbeda, terasa lebih harum, manis tanpa getir. Secara ekonomis, tentu saja menjual hasil olahan biji kopi merah memberikan keuntungan yang lebih baik daripada menjual kopi dengan kualitas campur (biji merah dan hijau). Iqbal tidak berhenti sekedar menyarankan ema. Ia sendiri mengambil peran sebagai pembeli dan pengolah biji kopi petik merah yang oleh ema telah dikeringkan dalam bentuk gabah.  “Awalnya hanya sedikit, cuma berani minta ema menyisihkan biji kopi petik merah 20 kg saja untuk saya olah, itu pun sebenarnya ema agak ragu dengan keseriusan saya”, begitu Iqbal menuturkan perjalanan awalnya mengolah kopi ema.  Kopi yang tidak dijual ke Iqbal, oleh ema tetap dijual ke tengkulak. Bagaimana pun kopi-kopi tersebut tetap harus menghasilkan uang.  Hasil penjualan kopi itu yang menopang biaya hidup ema terutama untuk kebutuhan yang harus diperoleh dengan uang. 

Dalam dua tahun terakhir, kondisinya berubah. Kini ema tidak lagi menjual biji kopinya ke tengkulak. Semua hasil panen disalurkan ke Iqbal untuk diolah sendiri menjadi kopi sangray.  Bahkan tidak jarang Iqbal kehabisan stok greenbean, sebab pesanan untuk kopi sangray dari berbagai tempat semakin banyak masuk ke Iqbal.


Kebon ema sebagai sumber pangan
Kami melanjutkan berjalan kaki menuju kebun ema yang lokasinya lebih dekat lagi dari rumah, hanya 2 menit perjalanan.  Di kebun ini, pohon-pohon kopinya lebih pendek, karena usianya memang lebih muda. Rata-rata usia 2-3 tahun.  Sebagian baru belajar berbuah. Ema dan Iqbal berkeliling mencari biji merah yang tersisa.  Berbeda dengan kebun yang pertama, di kebun ini jarak tanam antara pohon kopi lebih jarang. Sebab, selain kopi ema juga menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman karbohidrat pengganti beras.  Di lahan kecil itu kami menemukan cabai, sayur, waluh, pisang, singkong dan jenis tanaman bumbu masak atau jejamuan.  Sesekali, tak sengaja kami menginjak tanah lembek sekitar tanaman.  Ternyata yang kami injak itu pupuk kandang dari kotoran sapi.  Menurut penuturan ma Okon, ia tak pernah membeli pupuk putih (istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pupuk kimia buatan). Awalnya karena ema tidak punya banyak uang untuk membeli pupuk. Meski pun ada penjual pupuk yang datang ke petani dan memberi utangan, tetap saja ema gak mau. Akhirnya ema menggunakan pupuk kandang. Tapi kini, setelah ema melihat pertumbuhan tanamannya yang sangat baik dengan pupuk kandang, ema memutuskan tetap menggunakan pupuk kandang, toh bahan bakunya berlimpah. Benar saja, ketika kami hendak kembali menuju rumah ema, tak jauh dari kebun ada dua ekor sapi perah yang sangat besar, yang selalu menghasilkan kotoran/feses. Salah satu sapi tersebut sedang bunting.  Berarti tak lama lagi sapi-sapi ema akan bertambah. Ma Okon menyerahkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut pada adiknya. Termasuk memerah susu dan menjual susu tersebut ke koperasi. 

Masih ada yang pada saat itu belum sempat kami susuri, yaitu balong ikan. Ema juga memelihara beberapa jenis ikan air tawar di balong miliknya. Sesekali, jika keluarganya ingin makan ikan mereka menjaring dari balong tersebut.

Saya jadi ingat hidangan makan siang di rumah ema. Ternyata sebagian dari bahan pangan yang tersaji berasal dari kebon ema.  Sewaktu berjalan menuju rumah, saya setengah becanda bertanya pada ma Okon, “Ma, upami aya nu ngagaleuh taneuh ema, kumaha ?” Ma Okon menghentikan langkahnya, sambil menoleh ke saya, ema menjawab: “moal dijual ku ema mah, dahar tina naon atuh, apaan ema teh padaharan na ti kebon”. Petani yang menerapkan pola bercocok tanam sistem tumpang sari seperti ema, tentu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah garapannya. Sebab tanah garapan itulah ruang hidup si petani,  sumber penghidupan baginya dan keluarga. Mereka memakan apa yang mereka tanam, mereka menanam apa yang mereka makan. 

Menyangray Kopi, Kopi Sangray
Lega rasanya, akhirnya setelah ulin ka kebon ema, kami pun bisa menikmati seduhan kopi sangray hasil olahan Iqbal. Masing-masing dari kami mencari posisi yang paling nyaman di rumah ema untuk menikmati kopi. Saya, Alex dan Ozi memilih duduk di teras rumah. Tak lama kemudian kami kembali disuguhi sepiring singkong goreng. Singkong dari kebun ema.  
 
Di halaman samping, antara rumah ema dengan rumah Iqbal, terlihat mamahnya sedang  menumbuk kopi gabah menggunakan lumpang kayu. Hentakan alunya yang keras menggetarkan tanah di sekitar lumpang. Suaranya terdengar ritmis. Sesekali hentakan alunya berhenti, mamah Iqbal membalik biji-biji tersebut, agar gabah yang di bagian bawah terkena hentakan alu dan kulitnya segera lepas. 


Sementara di dapur, ada Iqbal yang duduk di depan tungku sedang nyangray kopi, ditemani teman kami Yufik yang merekam proses menyangray.  Tak jauh dari Iqbal, tepatnya di pintu antara dapur dengan ruang tengah, ema duduk. Perempuan tua itu mengamati cucunya menyangray kopi, sesekali terdengar dialog antara mereka. Dialog antara nenek dan cucunya.  Dialog tentang kopi, dari hulu ke hilir. Dialog tentang menyangray.  Sambil mengaduk terus biji-biji kopi di atas wajan, sesekali tangan kiri Iqbal mengatur bara api.  Jika bara mulai meredup, pemuda itu segera membungkuk, meniupkan udara  melalui selongsong paralon kecil.  Aroma kopi sangray memenuhi ruangan, bahkan sampai ke halaman depan.  Hampir satu jam Iqbal menyangray, ia mulai siap-siap mengangkat wajan dan menuangkan biji kopi yang berwarna coklat itu ke atas nyiru.  Tangannya sigap menggapai adukan kayu, lalu meratakan biji-biji kopi agar tidak menumpuk di tengah, sehingga panasnya segera menguap. 

Menyangray kopi adalah tradisi yang biasa dilakukan ema untuk konsumsi kopi keluarga.  Sebelum melihat Iqbal menyangray, kami sempat menyaksikan proses bagaimana ema melakukan ritual itu.  Kami tak ingin mengusik ema, tidak ada obrolan. Hanya suara ritmis dari gesekan antara adukan kayu, wajan dan biji-biji kopi memenuhi ruang dapur.  Sesekali kami menangkap mimik wajah ema yang terlihat tekun, kadang bibirnya bergerak pelan, seperti berbisik, tampaknya ema sedang merapal doa.  Pada keluarga petani kopi, tradisi menyangray kopi untuk keluarga biasanya memang dilakukan ibu atau nenek. Proses menyangray biasanya mereka lakukan sambil shalawatan.  Entah karena mendoakan dan mensyukuri si biji-biji kopi, atau sedang mengisi waktu menyangray yang cukup lama untuk shalawatan sebagai ibadah tambahan. Tapi ritual itu membuat suasana menyangray lebih hikmat.  Meski pun hasil akhir sangrayan Iqbal berbeda dengan hasil ema yang cenderung hitam, tapi ema mengatakan ia senang karena ada cucunya yang meneruskan tradisi menyangray kopi. Bahkan tradisi itu tidak hanya untuk kebutuhan kopi di rumah, juga menjadi proses pengolahan kopi yang hasilnya dinikmati oleh orang-orang di luar mereka yang membeli kopi sangray olahan Iqbal.  Kopi-kopi itu, bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang jauh dari Cikajang.  Iqbal kerap mengirimkan kopi sangray kemasan yang pesanannya datang dari teman-teman atau temannya teman di daerah lain, beberapa bahkan membawanya sebagai oleh-oleh ke luar negeri.

Teman saya, Yufik sempat bertanya, “Iqbal, mau sampai kapan nyangray ? Gak tertarik mengganti dengan alat roasting kopi yang lebih canggih dan modern ?”. Iqbal diam sejenak, sambil senyum ia menjawab “gimana ya kang, tadinya kepikiran juga pake alat roasting yang lebih canggih, tapi kumaha, saya sudah pakai nama kopi sangray di kemasan, dan orang sudah pada tahu. Jadi, biar saja saya tetap menyangray secara tradisional, seperti kebiasaan ema”. Diam-diam, saya menyimpan kagum pada keteguhan Iqbal. Pada keteguhannya menjaga tradisi, dengan tetap juga menjaga cita rasa kopi. Sebab tidak ada yang salah dengan menyangray kopi cara manual, selama teknik yang dilakukan mampu menghasilkan karakter si kopi tersebut. Seperti yang dilakukan Iqbal.

Terima kasih, ema dan Iqbal
Hari mulai petang. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Yogya, sebelum mengunjungi Pak Wakhid di Suroloyo, Kulonprogo.  Kami menutup perjumpaan silaturahmi dengan foto bersama. Kemudian mendekap dan bersalaman dengan ema, sambil saling menyisipkan doa, agar semua selalu dalam kondisi sehat, kelak bertemu kembali.  Kami tak dapat menyembunyikan kegembiraan, melihat 3 kardus perbekalan telah disiapkan ema untuk kami di perjalanan.  Kecimpring, waluh, pisang, singkong, terong belanda.  Saya juga mengemas 3 bungkus kopi sangray yang sudah saya pesan sebelumnya pada Iqbal. Kelak, kopi sangray tersebut beserta kecimpring dari ema akan menjadi tali penghubung antara keluarga ema, keluarga Pak Wakhid, dan keluarga Pak Sukir. Menjadi penghubung rasa diantara sesama petani kopi. Hatur nuhun, Ema Okon Winara, terima kasih Iqbal Noer Listanto. 

Bersambung..,