Ziarah
Kebun Kopi, Edisi
: jelajah kopi jawa (1)
Ulin, Menemui Narasi-Narasi Kecil di Kebun
Kopi
Ziarah
ini agak berbeda dari ziarah-ziarah sebelumnya. Jika sebelumnya saya pergi
sendiri ke kebun-kebun kopi petani yang menjadi tujuan perjalanan (kadang cukup
ditemani kawan-kawan komunitas setempat), kali ini saya menjadi bagian dari tim
jelajah kopi jawa. Tim jelajah kopi jawa bukanlah tim formal dan permanen. Tim
ini hanya tim cair yang terdiri dari 6 orang (sekarang ber-enam, besok-besok
bisa bertambah bisa berkurang). Kami dipersatukan oleh kesukaan kami meneguk
kopi-kopi dari petani, mengulik peralatan sederhana untuk mengolah kopi, dan
kesukaan kami merekam peristiwa-peristiwa asik terkait pengolahan kopi yang
dilakukan petani kopi dari hulu ke hilir.
Tentu saja tim ini juga terdiri dari orang-orang yang suka jalan-jalan
dan menikmati perjalanan. Maka, jadilah sepanjang jalan yang kami lalui menjadi
ajang untuk kemerdekaan diri dan merayakan hidup. Ulin ka kebon kopi, demikian kawan-kawan di
tim jelajah kopi jawa menyebut perjalanan ini. Ulin sendiri dalam bahasa Sunda
berarti main, atau pergi jalan-jalan. Kami memaknainya sebagai perjalanan yang
menyenangkan untuk menemui narasi-narasi kecil (saya meminjam istilah yang
sering digunakan mas Uji Sapitu ketika kami diskusi), atau cerita-cerita kecil yang
sederhana tapi bermakna yang dilakukan petani-petani kopi dari hulu ke
hilir. Memotret kisah-kisah inspiratif
yang dilakukan oleh Ma Okon dan Iqbal, Keluarga Pak Wakhid, Mas Mukidi, Pak
Sukir, Mas Eed, dan kawan-kawan pemuda Salem.
Cikajang-Garut,
Suroloyo-Kulonprogo, Temanggung, Mlandi dan Bowongso-Wonosobo, serta Salem-Brebes
selatan. Tempat-tempat itu kami kunjungi dalam 11 hari perjalanan. Sayang, Guci,
salah satu kawasan di kaki gunung slamet tidak jadi kami kunjungi karena teman
kami yang sudah lama berkomunikasi dengan petani kopi disana batal ikut dalam
perjalanan kami.
Ema yang menyemai benih, Cucu yang menjaga
tradisi
Tanggal
3 September, ketika azan subuh baru selesai berkumandang, kami memulai
perjalanan menuju Cikajang-Garut.
Mengunjungi Ma Okon Winara, perempuan tua petani kopi menjadi tujuan
pertama perjalanan kami. Kami belum pernah bertemua sebelumnya dengan Ma Okon.
Tapi kisah Ma Okon merawat tanaman kopinya serta tradisi mengolah kopi secara
tradisional untuk konsumsi sehari-hari sudah sering kami peroleh dari Noer
Listanto. Bagi para pegiat sastra di
kota Bandung dan organisasi OI (Orang Indonesia), nama Noer Listanto sudah tak
asing. Noer adalah anak muda pegiat sastra di Majelis Sastra Bandung (MSB), ia
kerap menulis dan membaca puisi. Noer juga adalah pegiat di komunitas OI Jawa
Barat. Namun ketika di Cikajang, di
kampung halamannya, nama Noer Listanto tidak setenar nama Iqbal. Padahal Noer
Listanto sejatinya adalah Iqbal, cucu lelaki Ma Okon dari anak perempuannya
yang ketiga. Sapaan Iqbal tentu sudah sangat melekat bagi keluarga dan
orang-orang di kampungnya sejak kecil
hingga Noer dewasa. Kami pun akhirnya ikut menyapa anak muda itu dengan
Iqbal, sambil sesekali kelepasan juga menyapa dengan Noer.
Rumah yang bersahaja dan suguhan teh hangat
Karena
harus berhenti dulu di rumah teman kami untuk mengambil perbekalan serta
menghadapi macet di beberapa titik menjelang masuk Garut dan Cikajang, akhirnya
kami tiba di kediaman keluarga Iqbal sekitar pukul 09.30 WIB. Ruang tamu rumah itu mungil dan artistik.
Kursi-kursi yang seutuhnya berbahan dasar kayu didesain mengikuti lekuk
aslinya, sangat alami. Terakhir kami mengetahui kalau apah-nya Iqbal adalah
pengkriya yang mendesain dan membuat kursi-kursi itu, serta beberapa furniture
lain di rumah Iqbal.
Ketika
kami masuk, meja di ruang tamu sudah dipenuhi dengan teh hangat, ubi rebus,
singkong goreng dan kue. Tidak ada
seduhan kopi. Kopi sangray produksi ma Okon dan Iqbal masih tersimpan rapi
dalam kantung kemasan di atas meja yang sama.
Yufik teman saya yang asli Sunda berbisik; “ini teh Sunda”. Saya pun
baru tahu, ternyata di masyarakat Sunda istilah ngopi itu tidak berarti minum
kopi, biasanya jika kita berkunjung yang disajikan terlebih dulu kepada tamu
adalah teh tawar hangat. Kendati mereka menyebut dengan, “mangga ngopi” atau
“mangga diopi”, bukan berarti ada kopi yang disajikan.
Meski
pun kami sering ketemu Iqbal Noer Listanto di Bandung, tapi suasana pertemuan
di rumahnya di Cikajang sungguh berbeda. Ia tertawa ketika sambil
bercandan kami bertanya, “jadi naon ieu teh hubungan na antara puisi jeung
kopi”. Iqbal hanya menjawab sambil tertawa, “naon nya..”. Sampai akhirnya tiba
ke pertanyaan sejak kapan dan kenapa ngurusin kopi ?
“Waktu
itu saya dirumahkan sama pabrik tempat saya bekerja selama sebulan”, begitu Iqbal mulai mengisahkan
awal mula ia mengolah dan menjual kopi sangray. Pada saat itu ia menyempatkan untuk pergi pulang ke Cikajang untuk waktu yang cukup lama. Saat masih bekerja, Iqbal hanya bisa menyempatkan diri pulang ke Cikajang jika ada kesempatan libur. Kepulangannya untuk waktu lama tersebut bertepatan dengan saat masuk bulan panen kopi. Iqbal tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Selama sebulan dimanfaatkannya untuk belajar mengolah kopi, mulai dari panen sampe olah dan siap minum. Mulailah ia menggeluti kopi. Belajar ke berbagai
kenalan, ia juga belajar dari ema. Ia meminta input dari berbagai orang mengenai cita rasa kopinya, serta membuka diri untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Hingga akhirnya,
kini memasuki tahun ketiga, Iqbal sudah dapat berbangga dengan kopi sangray
produknya yang semakin dikenal oleh banyak teman.
Satu
setengah jam berbincang-bincang di rumah Iqbal, serta telah juga berkenalan dengan
apah dan mamahnya. Namun kami belum juga bertemu dengan Ma Okon. Ternyata ma Okon ada
di rumahnya sendiri, tepat di samping kiri rumah Iqbal. Seluruh proses pengolahan kopi dilakukan Iqbal
bersama emaknya di rumah itu. Kami mulai
beranjak dari rumah Iqbal ketika sekitar pukul 11.30 Iqbal mengajak kami menuju
rumah ema karena hidangan makan siang sudah disiapkan. Tentu saja ajakan penuh
berkah tersebut kami sambut dengan suka cita. Benar saja, di teras rumah ma
Okon, lembaran daun pisang yang memanjang dengan menu lengkap di atasnya sudah menanti. Nasi liwet, ikan asin, sambal, kerupuk, lalap
timun, daun pohpohan, leuncak. Ma Okon, dengan bahasa sundanya yang kental,
mempersilahkan kami menikmati hidangan yang menurut kami sangat mewah itu.
Merawat Pohon Kopi, Berawal dari Rasa Cinta
Setelah
menikmati makan siang yang begitu nikmat, kami mulai dimanja dengan tutur ema
mengisahkan perkenalan pertamanya pada tanaman kopi. Dulu sekali, ketika ema masih anak-anak
memasuki usia remaja, bapaknya yang seorang petani sudah menanam kopi di
pekarangan. Tidak banyak, hanya ada 5 pohon, sebab hanya diperuntukkan sebagai
tanaman pagar dan memenuhi konsumsi kopi keluarga. Sejak itu ma Okon mulai suka dengan tanaman
kopi. Ia merasa gembira ketika melihat bunga-bunga kopi yang wanginya memenuhi
pekarangan mulai bermekaran. Kegembiraannya bertambah setiap melihat biji-biji
kopi yang bulat kecil tampak mulai berwarna merah. Ma Okon mulai menanam 2 pohon kopi di kebun
dan merawatnya hingga besar. Kemudian
bertambah, bertambah, dan semakin banyak tersebar di lahan kebun yang tidak
begitu luas.
Kebun
ma Okon memang tidak terlalu luas, tidak sampai 1 ha. Tanah
kebun milik bapaknya yang mencapai 3 ha sudah lama habis dibagi-bagi sebagai
warisan. Awalnya ma Okon hanya memiliki
sepetak tanah kebun sekitar 70 tumbak, kini ada tiga petak yang diperoleh ma Okon dengan membeli,
menyisihkan hasil kebun sedikit demi sedikit. Lokasi kebun mak Okon juga tidak
berada dalam satu tempat, tersebar di tiga titik. Semuanya berada tidak jauh
dari rumah. Di tanah kebun tersebut, ma Okon yang kini tak lagi muda, merawat sekitar 500 pohon kopi, semua jenis arabika. “"Ah...Ema
mah resep we kana kopi teh. Ti ema leutik, resep ninggali kembang sareng buahna
nu beureum." Begitu jawaban ema, ketika kami bertanya, kenapa ema Okon
memilih menanam kopi.
Petik
Merah
Kami
melanjutkan obrolan dengan ema Okon sambil menuju kebun ema di 2 lokasi yang
berbeda. Kebun ema yang pertama kami
kunjungi cukup dijangkau dengan 5 menit berjalan kaki. Di kebun itu pohon-pohon kopi tumbuh subur
dengan jarak tanam yang agak rapat.
Mungkin ema terlalu semangat nanam kopi, sementara luas lahannya kurang
bisa memenuhi keinginannya. Tidak banyak
tersisa biji berwarna merah, hanya ada beberapa. Tetapi di tiap pohon deretan biji kopi hijau
masih terlihat kuat menempel pada dahan yang menjutai. Kata ema, biji hijau ini
tabungan, beberapa minggu lagi, setelah merah ia akan siap dipetik.
Dari
cerita ema kami ketahui, Iqbal cucunyalah yang menyarankan ema untuk memetik
hanya biji yang berwarna merah.
Sebab kopi yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang berbeda,
terasa lebih harum, manis tanpa getir. Secara ekonomis, tentu saja menjual
hasil olahan biji kopi merah memberikan keuntungan yang lebih baik daripada
menjual kopi dengan kualitas campur (biji merah dan hijau). Iqbal tidak
berhenti sekedar menyarankan ema. Ia sendiri mengambil peran sebagai pembeli
dan pengolah biji kopi petik merah yang oleh ema telah dikeringkan dalam bentuk
gabah. “Awalnya hanya sedikit, cuma
berani minta ema menyisihkan biji kopi petik merah 20 kg saja untuk saya olah,
itu pun sebenarnya ema agak ragu dengan keseriusan saya”, begitu Iqbal
menuturkan perjalanan awalnya mengolah kopi ema. Kopi yang tidak dijual ke Iqbal, oleh ema
tetap dijual ke tengkulak. Bagaimana pun kopi-kopi tersebut tetap harus
menghasilkan uang. Hasil penjualan kopi
itu yang menopang biaya hidup ema terutama untuk kebutuhan yang harus diperoleh dengan uang.
Dalam
dua tahun terakhir, kondisinya berubah. Kini ema tidak lagi menjual biji
kopinya ke tengkulak. Semua hasil panen disalurkan ke Iqbal untuk diolah
sendiri menjadi kopi sangray. Bahkan
tidak jarang Iqbal kehabisan stok greenbean,
sebab pesanan untuk kopi sangray dari berbagai tempat semakin banyak masuk ke
Iqbal.
Kebon ema sebagai sumber pangan
Kami
melanjutkan berjalan kaki menuju kebun ema yang lokasinya lebih dekat lagi dari
rumah, hanya 2 menit perjalanan. Di
kebun ini, pohon-pohon kopinya lebih pendek, karena usianya memang lebih muda.
Rata-rata usia 2-3 tahun. Sebagian baru
belajar berbuah. Ema dan Iqbal berkeliling mencari biji merah yang
tersisa. Berbeda dengan kebun yang
pertama, di kebun ini jarak tanam antara pohon kopi lebih jarang. Sebab, selain
kopi ema juga menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman karbohidrat pengganti
beras. Di lahan kecil itu kami menemukan
cabai, sayur, waluh, pisang, singkong dan jenis tanaman bumbu masak atau
jejamuan. Sesekali, tak sengaja kami
menginjak tanah lembek sekitar tanaman.
Ternyata yang kami injak itu pupuk kandang dari kotoran sapi. Menurut penuturan ma Okon, ia tak pernah
membeli pupuk putih (istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pupuk kimia
buatan). Awalnya karena ema tidak punya banyak uang untuk membeli pupuk. Meski
pun ada penjual pupuk yang datang ke petani dan memberi utangan, tetap saja ema
gak mau. Akhirnya ema menggunakan pupuk kandang. Tapi kini, setelah ema melihat
pertumbuhan tanamannya yang sangat baik dengan pupuk kandang, ema memutuskan
tetap menggunakan pupuk kandang, toh bahan bakunya berlimpah. Benar saja,
ketika kami hendak kembali menuju rumah ema, tak jauh dari kebun ada dua ekor
sapi perah yang sangat besar, yang selalu menghasilkan kotoran/feses. Salah satu sapi tersebut sedang bunting. Berarti tak lama lagi sapi-sapi ema akan
bertambah. Ma Okon menyerahkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut pada adiknya.
Termasuk memerah susu dan menjual susu tersebut ke koperasi.
Masih
ada yang pada saat itu belum sempat kami susuri, yaitu balong ikan. Ema juga
memelihara beberapa jenis ikan air tawar di balong miliknya. Sesekali, jika
keluarganya ingin makan ikan mereka menjaring dari balong tersebut.
Saya
jadi ingat hidangan makan siang di rumah ema. Ternyata sebagian dari bahan
pangan yang tersaji berasal dari kebon ema.
Sewaktu berjalan menuju rumah, saya setengah becanda bertanya pada ma
Okon, “Ma, upami aya nu ngagaleuh taneuh ema, kumaha ?” Ma Okon menghentikan
langkahnya, sambil menoleh ke saya, ema menjawab: “moal dijual ku ema mah,
dahar tina naon atuh, apaan ema teh padaharan na ti kebon”. Petani yang
menerapkan pola bercocok tanam sistem tumpang sari seperti ema, tentu memiliki
ikatan yang sangat kuat dengan tanah garapannya. Sebab tanah garapan itulah
ruang hidup si petani, sumber
penghidupan baginya dan keluarga. Mereka memakan apa yang mereka tanam, mereka
menanam apa yang mereka makan.
Menyangray Kopi, Kopi Sangray
Lega
rasanya,
akhirnya setelah ulin ka kebon ema, kami pun bisa menikmati seduhan
kopi sangray hasil olahan Iqbal. Masing-masing dari kami mencari posisi
yang
paling nyaman di rumah ema untuk menikmati kopi. Saya, Alex dan Ozi
memilih duduk di teras rumah. Tak lama kemudian kami kembali disuguhi
sepiring
singkong goreng. Singkong dari kebun ema.
Di
halaman samping, antara rumah ema dengan rumah Iqbal, terlihat mamahnya sedang menumbuk kopi gabah menggunakan lumpang kayu. Hentakan alunya yang keras menggetarkan
tanah di sekitar lumpang. Suaranya terdengar ritmis. Sesekali hentakan alunya berhenti, mamah
Iqbal membalik biji-biji tersebut, agar gabah yang di bagian bawah terkena
hentakan alu dan kulitnya segera lepas.
Sementara
di dapur, ada Iqbal yang duduk di depan tungku sedang nyangray kopi, ditemani
teman kami Yufik yang merekam proses menyangray. Tak jauh dari Iqbal, tepatnya di pintu antara
dapur dengan ruang tengah, ema duduk. Perempuan tua itu mengamati cucunya
menyangray kopi, sesekali terdengar dialog antara mereka. Dialog antara nenek
dan cucunya. Dialog tentang kopi, dari
hulu ke hilir. Dialog tentang menyangray.
Sambil mengaduk terus biji-biji kopi di atas wajan, sesekali tangan kiri
Iqbal mengatur bara api. Jika bara mulai
meredup, pemuda itu segera membungkuk, meniupkan udara melalui selongsong paralon kecil. Aroma kopi sangray memenuhi ruangan, bahkan
sampai ke halaman depan. Hampir satu jam
Iqbal menyangray, ia mulai siap-siap mengangkat wajan dan menuangkan biji kopi
yang berwarna coklat itu ke atas nyiru.
Tangannya sigap menggapai adukan kayu, lalu meratakan biji-biji kopi
agar tidak menumpuk di tengah, sehingga panasnya segera menguap.
Menyangray
kopi adalah tradisi yang biasa dilakukan ema untuk konsumsi kopi keluarga. Sebelum melihat Iqbal menyangray, kami sempat
menyaksikan proses bagaimana ema melakukan ritual itu. Kami tak ingin mengusik ema, tidak ada
obrolan. Hanya suara ritmis dari gesekan antara adukan kayu, wajan dan
biji-biji kopi memenuhi ruang dapur.
Sesekali kami menangkap mimik wajah ema yang terlihat tekun, kadang bibirnya
bergerak pelan, seperti berbisik, tampaknya ema sedang merapal doa. Pada keluarga petani kopi, tradisi menyangray
kopi untuk keluarga biasanya memang dilakukan ibu atau nenek. Proses menyangray
biasanya mereka lakukan sambil shalawatan. Entah karena mendoakan dan mensyukuri si
biji-biji kopi, atau sedang mengisi waktu menyangray yang cukup lama untuk
shalawatan sebagai ibadah tambahan. Tapi ritual itu membuat suasana menyangray
lebih hikmat. Meski pun hasil akhir
sangrayan Iqbal berbeda dengan hasil ema yang cenderung hitam, tapi ema mengatakan
ia senang karena ada cucunya yang meneruskan tradisi menyangray kopi. Bahkan
tradisi itu tidak hanya untuk kebutuhan kopi di rumah, juga menjadi proses
pengolahan kopi yang hasilnya dinikmati oleh orang-orang di luar mereka yang
membeli kopi sangray olahan Iqbal. Kopi-kopi
itu, bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang jauh dari Cikajang. Iqbal kerap mengirimkan kopi sangray kemasan
yang pesanannya datang dari teman-teman atau temannya teman di daerah lain,
beberapa bahkan membawanya sebagai oleh-oleh ke luar negeri.
Teman
saya, Yufik sempat bertanya, “Iqbal, mau sampai kapan nyangray ? Gak tertarik
mengganti dengan alat roasting kopi yang lebih canggih dan modern ?”. Iqbal
diam sejenak, sambil senyum ia menjawab “gimana ya kang, tadinya kepikiran juga
pake alat roasting yang lebih canggih, tapi kumaha, saya sudah pakai nama kopi
sangray di kemasan, dan orang sudah pada tahu. Jadi, biar saja saya tetap
menyangray secara tradisional, seperti kebiasaan ema”. Diam-diam, saya
menyimpan kagum pada keteguhan Iqbal. Pada keteguhannya menjaga tradisi, dengan
tetap juga menjaga cita rasa kopi. Sebab tidak ada yang salah dengan menyangray
kopi cara manual, selama teknik yang dilakukan mampu menghasilkan karakter si
kopi tersebut. Seperti yang dilakukan Iqbal.
Terima kasih, ema dan Iqbal
Hari
mulai petang. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Yogya, sebelum
mengunjungi Pak Wakhid di Suroloyo, Kulonprogo.
Kami menutup perjumpaan silaturahmi dengan foto bersama. Kemudian
mendekap dan bersalaman dengan ema, sambil saling menyisipkan doa, agar semua
selalu dalam kondisi sehat, kelak bertemu kembali. Kami tak dapat menyembunyikan kegembiraan,
melihat 3 kardus perbekalan telah disiapkan ema untuk kami di perjalanan. Kecimpring, waluh, pisang, singkong, terong
belanda. Saya juga mengemas 3 bungkus
kopi sangray yang sudah saya pesan sebelumnya pada Iqbal. Kelak, kopi sangray
tersebut beserta kecimpring dari ema akan menjadi tali penghubung antara
keluarga ema, keluarga Pak Wakhid, dan keluarga Pak Sukir. Menjadi penghubung
rasa diantara sesama petani kopi. Hatur nuhun, Ema Okon Winara, terima kasih
Iqbal Noer Listanto.
Bersambung..,