Siapa yang tak tahu kopi tubruk, cara menyeduh kopi yang sudah sangat
tua dan menjadi tradisi Indonesia, meski pun pada mulanya tradisi ini
datang dari Timur Tengah dan diperkenalkan oleh para saudagar. Caranya
begitu sederhana, murah dan mudah. Dalam
sesi-sesi cupping (cicip-cicip kopi), seduhan yang biasa digunakan
adalah tubruk. Mungkin karena cara ini menghasilkan seduhan kopi dengan
rasa yang lebih jujur. Tidak ada kamuflase. Tidak ada manipulasi rasa.
Hanya ada teknik-teknik yang berbeda yang biasa dilakukan para penyeduh
kopi tubruk yang suka bereksperimen. Tapi secara umum, metode dan bahan
yang digunakan sama. Seduhan ini adalah hasil benturan/tabrakan dari air
bersuhu tinggi (bervariasi, antara 85-100 derajat) dengan bubuk kopi
(kasar) bersuhu ruang.
Bagi penikmat kopi tubruk, mengatakan lebih menikmati seduhan lain (selain tubruk) adalah dusta. Seperti mengingkari kenyataan bahwa hidup dan kehidupan kita pun sesungguhnya penuh dengan benturan, tabrakan, tubrukan. Nubruk sana sini, ditubruk si itu si ini. Nubruk budaya, nubruk idiologi, agama, nilai, atau ditubruk karakter, sifat dan perilaku orang-orang yang berbeda. Kaget ? Tentu saja. Terkejut ? pasti. Selalu ada efek kejut yang dihasilkan. Kejutan, bagaimana pun mampu menguras emosi. Senang, suka, marah, sakit. Beragam rasa akan berhamburan. Mungkin itu yang kita peroleh dari seduhan kopi tubruk. Itu sebab kenapa kopi tubruk mampu mengeluarkan semua rasa dan karakter si kopi, karena efek kejut dari tubrukan yang dialaminya dan mengguyur seluruh bodinya.
Seperti halnya ketika kita baru diserang keterkejutan, kaget setelah ditubruk. Biasanya butuh waktu untuk pengendapan, dan mengambil intisari dari tubrukan yang kita alami. Pun, rasanya demikian juga dengan kopi tubruk. Pernah mengalami sensasi saat berhadapan dengan kopi tubruk yang hampir mencapai ampas ? Jika belum, cobalah, memang sudah tidak lagi hangat, bahkan mulai mendingin, tapi rasanya sungguh berbeda, kuat dan matang.
Bagi penikmat kopi tubruk, mengatakan lebih menikmati seduhan lain (selain tubruk) adalah dusta. Seperti mengingkari kenyataan bahwa hidup dan kehidupan kita pun sesungguhnya penuh dengan benturan, tabrakan, tubrukan. Nubruk sana sini, ditubruk si itu si ini. Nubruk budaya, nubruk idiologi, agama, nilai, atau ditubruk karakter, sifat dan perilaku orang-orang yang berbeda. Kaget ? Tentu saja. Terkejut ? pasti. Selalu ada efek kejut yang dihasilkan. Kejutan, bagaimana pun mampu menguras emosi. Senang, suka, marah, sakit. Beragam rasa akan berhamburan. Mungkin itu yang kita peroleh dari seduhan kopi tubruk. Itu sebab kenapa kopi tubruk mampu mengeluarkan semua rasa dan karakter si kopi, karena efek kejut dari tubrukan yang dialaminya dan mengguyur seluruh bodinya.
Seperti halnya ketika kita baru diserang keterkejutan, kaget setelah ditubruk. Biasanya butuh waktu untuk pengendapan, dan mengambil intisari dari tubrukan yang kita alami. Pun, rasanya demikian juga dengan kopi tubruk. Pernah mengalami sensasi saat berhadapan dengan kopi tubruk yang hampir mencapai ampas ? Jika belum, cobalah, memang sudah tidak lagi hangat, bahkan mulai mendingin, tapi rasanya sungguh berbeda, kuat dan matang.