Kopi. Minuman hitam seperti
jelaga itu begitu menyihir. Mencium, mencecap, dan meneguknya adalah ritual
klasik yang telah menjadi candu bagi penikmatnya. Orang-orang membicarakannya seperti membicarakan
masa depan. Bagi para pengkriya, pembicaraan
seputar kopi sama bergairahnya dengan proses berkarya. Ampas dan kulit, bisa
bernilai lebih tinggi dari minuman kopi itu sendiri. Bagi pelaku industri, membicarakan mesin-mesin
pengolah kopi dan perlengkapan alat seduh kopi adalah bisnis yang tak pernah
mati. Mereka cermat tidak hanya menemukan kesesuaian material dan teknik
penggunaan alat sehingga menghasilkan sensasi rasa, juga cerdas menangkap kebutuhan
akan rasa puas, termasuk kepuasan atas prestise
masyarakat kopi. Bagi para pebisnis, membicarakan kopi setara dengan
membicarakan laba. Mereka berani bertarung dengan skala investasi yang kian
menukik. Seakan tak ada limitasi, untuk mengejar keuntungan.
Duduklah di sebuah café. Ada
banyak jenis kopi dan ragam penyajian. Kita bisa memilih, sesuai keinginan.
Kadang rasa penasaran akan menggerakkan pilihan kita. Melihat alat yang unik,
cara penyajian yang terkesan modern, ritual yang pakem, membuat mata kita
sebisa mungkin tak berkedip. Agar setiap proses tak terlewatkan. Tentu saja, dalam dunia yang segala sesuatunya
berisfat komersil, pelayanan yang didapat pun bermakna transaksi. Kita memilih jenis kopi dan sajiannya,
berarti kita membayar kopi dan pelayanan yang diberikan. Sesuaikah harga dengan kepuasan ? relatif.
Tidak ada standar baku yang namanya kepuasan.
Begitulah bius kopi bagi
orang-orang di hilir. Ia begitu dicintai karena mampu memberi pilihan dan kepuasan.
Andai kita bisa memindahkan pilihan dan kepuasan itu pada orang-orang di hulu,
mungkin kisah indah secangkir kopi yang nikmat dan penuh sensasi sebanding
dengan kisah indah petani kopi. Sayangnya, tidak demikian. Tak ada pilihan musim bagi petani kopi,
sekali pun mereka bisa bayar mahal untuk mendapatkan cuaca yang sangat baik
untuk penjemuran. Bagi mereka yang bisa
membeli oven pengering bisa sedikit lega, tapi sebaik-baiknya panas tetaplah
bersumber dari sang surya, dan sang surya tidak menjual layanan panasnya. Juga tak ada pilihan menu hujan dan angin
sesuai kadar yang kita inginkan, seperti para ahli roasting kopi yang bisa
menentukan suhu dan waktu roasting sesuai yang diinginkan, yang mereka anggap
ideal. Hujan dan angin bisa tiba-tiba datang
dengan hentakan yang merontokkan kembang-kembang kopi dan biji-biji belia yang baru belajar menatap dunia. Tak ada pilihan menu bagi si petani, bahkan di
banyak tempat, dimana kopi-kopi spesial menjadi kopi andalan di café-café,
biji-biji kopi itu tumbuh di atas tanah penuh sengketa. Petani kopi merawat
kopi-kopi itu sebagai pertarungan. Sebab, sewaktu-waktu, mereka yang berkuasa,
dapat merampas tanah-tanah tersebut, membabat pohon-pohon kopi, dan
menggantinya dengan tembok-tembok menjulang tinggi.
Seberapa dekat sesungguhnya jarak
kepekaan dalam menangkap atmosfir antara kopi di hilir dengan kopi di hulu ? Relatif,
bisa sangat dekat, bisa sangat jauh. Sebab
ia ada di ruang pertautan, saat dimana indera perasa, perabaan batin, dan
rasionalitas pikiran, bekerja secara seimbang. Yaitu, ketika seseorang meneguk secangkir
kopinya, Membiarkan seluruh indera perasanya bekerja, sedangkan alam pikirannya
mengembara menuju bentangan kebun kopi dan petani yang berpeluh, lalu bathinnya
mengingat semesta dengan doa.