Senin, 03 April 2017

Kopi, dari hulu ke hilir (olah rasa, pikir dan bathin)

Kopi. Minuman hitam seperti jelaga itu begitu menyihir. Mencium, mencecap, dan meneguknya adalah ritual klasik yang telah menjadi candu bagi penikmatnya.  Orang-orang membicarakannya seperti membicarakan masa depan.  Bagi para pengkriya, pembicaraan seputar kopi sama bergairahnya dengan proses berkarya. Ampas dan kulit, bisa bernilai lebih tinggi dari minuman kopi itu sendiri.  Bagi pelaku industri, membicarakan mesin-mesin pengolah kopi dan perlengkapan alat seduh kopi adalah bisnis yang tak pernah mati. Mereka cermat tidak hanya menemukan kesesuaian material dan teknik penggunaan alat sehingga menghasilkan sensasi rasa, juga cerdas menangkap kebutuhan akan rasa puas, termasuk kepuasan atas prestise masyarakat kopi. Bagi para pebisnis, membicarakan kopi setara dengan membicarakan laba. Mereka berani bertarung dengan skala investasi yang kian menukik. Seakan tak ada limitasi, untuk mengejar keuntungan.

Duduklah di sebuah café. Ada banyak jenis kopi dan ragam penyajian. Kita bisa memilih, sesuai keinginan. Kadang rasa penasaran akan menggerakkan pilihan kita. Melihat alat yang unik, cara penyajian yang terkesan modern, ritual yang pakem, membuat mata kita sebisa mungkin tak berkedip. Agar setiap proses tak terlewatkan.  Tentu saja, dalam dunia yang segala sesuatunya berisfat komersil, pelayanan yang didapat pun bermakna transaksi.  Kita memilih jenis kopi dan sajiannya, berarti kita membayar kopi dan pelayanan yang diberikan.  Sesuaikah harga dengan kepuasan ? relatif. Tidak ada standar baku yang namanya kepuasan.

Begitulah bius kopi bagi orang-orang di hilir. Ia begitu dicintai karena mampu memberi pilihan dan kepuasan. Andai kita bisa memindahkan pilihan dan kepuasan itu pada orang-orang di hulu, mungkin kisah indah secangkir kopi yang nikmat dan penuh sensasi sebanding dengan kisah indah petani kopi. Sayangnya, tidak demikian.  Tak ada pilihan musim bagi petani kopi, sekali pun mereka bisa bayar mahal untuk mendapatkan cuaca yang sangat baik untuk penjemuran.  Bagi mereka yang bisa membeli oven pengering bisa sedikit lega, tapi sebaik-baiknya panas tetaplah bersumber dari sang surya, dan sang surya tidak menjual layanan panasnya.  Juga tak ada pilihan menu hujan dan angin sesuai kadar yang kita inginkan, seperti para ahli roasting kopi yang bisa menentukan suhu dan waktu roasting sesuai yang diinginkan, yang mereka anggap ideal.  Hujan dan angin bisa tiba-tiba datang dengan hentakan yang merontokkan kembang-kembang kopi dan biji-biji  belia yang baru belajar menatap dunia.  Tak ada pilihan menu bagi si petani, bahkan di banyak tempat, dimana kopi-kopi spesial menjadi kopi andalan di café-café, biji-biji kopi itu tumbuh di atas tanah penuh sengketa. Petani kopi merawat kopi-kopi itu sebagai pertarungan. Sebab, sewaktu-waktu, mereka yang berkuasa, dapat merampas tanah-tanah tersebut, membabat pohon-pohon kopi, dan menggantinya dengan tembok-tembok menjulang tinggi.


Seberapa dekat sesungguhnya jarak kepekaan dalam menangkap atmosfir antara kopi di hilir dengan kopi di hulu ? Relatif, bisa sangat dekat, bisa sangat jauh.  Sebab ia ada di ruang pertautan, saat dimana indera perasa, perabaan batin, dan rasionalitas pikiran, bekerja secara seimbang.  Yaitu, ketika seseorang meneguk secangkir kopinya, Membiarkan seluruh indera perasanya bekerja, sedangkan alam pikirannya mengembara menuju bentangan kebun kopi dan petani yang berpeluh, lalu bathinnya mengingat semesta dengan doa.