Senin, 09 Oktober 2017

Menuju Yogya, Menjelang Perjalanan ke Suroloyo dan Kawasan Kebun Kopi Berkabut


Ziarah Kebun Kopi, Edisi : Jelajah Kopi Jawa (2)
(catatan intermezo, pengantar sebelum berkisah tentang kebun kopi Pak Wakhid di Suroloyo)

Menuju Yogya

Kami meninggalkan Garut bersamaan dengan petang yang kian tenggelam.  Menyusuri malam di sepanjang perjalanan menuju Yogya. Melewati Tasik, Banjar, Cilacap, Purwokerto. Kemudian menyusuri jalur Daendels Selatan, melintasi Kebumen, Wates, dan Bantul.  Perjalanan kami terasa panjang, sebab lelah setelah mengisi seharian penuh di Cikajang bagaimanapun menggiring tubuh kami untuk rehat di beberapa titik pemberhentian.  Meluruskan badan, memejamkan mata, atau kadang sekedar menyeduh kopi sambil berkelakar.  Pemberhentian bisa dimana saja, taman kota atau SPBU.  Lelah yang berlipat tentu dirasakan teman kami Yufik, yang melakukan tugas rangkap, menjabat driver sekaligus kameramen. Sehingga tak heran, jika memasuki pagi, kami belum juga tiba di Yogya.


Saya dibekap rindu sesaat ketika memasuki Kebumen, hanya dapat melayangkan pandangan pada papan jalan dengan panah ke kanan, Gombong. Sekelebat ingatan pada tanah kelahiran Ibu, Puring, pantai selatan. Jejak leluhur yang belum sempat saya ziarahi.  Yufik sahabat kami melajukan kendaraan dengan cukup tinggi. Mungkin udara pagi membuatnya lebih bersemangat.  Kenangan pada tanah leluhurpun buyar, kembali menatap awas, memperhatikan kiri kanan berharap menemukan warung makan. Matahari mulai meninggi, kami butuh makan pagi.


Totality Coffee
Matahari masih menyengat meskipun telah melewati puncaknya.  Menjelang pukul 2 siang, kami pun tiba di Gabusan. Misi kami satu, berkunjung ke tempat kerabat, saudara kami, Kang Iman Nitiprawira, Totality Coffee. 

Ini kujungan saya yang keempat di Totality Coffe, tapi bagi teman seperjalanan yang lain (Yufik, Wahab, Alex dan Oji) merupakan kunjungan kali pertama, kendati Yufik dan Wahab sudah mengenal Kang Iman jauh sebelum saya mengenal lelaki yang sudah saya anggap seperti keluarga tersebut.  Tepatnya ketika kang Iman yang berasal dari Garut Selatan, pernah sangat lama mendekam di Bandung, sebelum kini akhirnya menetap di Yogya.  Ketika mulai memasuki malam, satu lagi anggota tim bergabung, brother Wisnu alias Timbul, saudara kongkow di Bandung asli Wonogiri yang saat ini sedang stay di Yogya untuk beberapa bulan karena sedang ada satu pekerjaan. Ia cukup sering berkunjung ke kedai Kang Iman. Kelak ia akan meramaikan perjalanan kami mulai dari Suroloyo hingga kami berpisah setelah mengakhiri perjalanan di Bowongso-Wonosobo.  Anggota tim yang membuat saraf-saraf wajah kami bergerak aktif, karena banyolannya memaksa kami banyak tertawa.

Tidak sulit menemukan Totality Coffee, jika menuju Parangtritis dari arah Yogya pasti akan melewati kedai kopi ini. Letaknya di kanan jalan, seberang Restoran Parangtritis, tidak sampai 100 meter dari pasar seni Gabusan.  Kedai kopi ini sesungguhnya rumah, sebagian pengunjungnya adalah tetangga atau mereka yang sudah menjalin komunikasi akrab dengan kang Iman dan sesama pengungjung. Maka tak heran, jika datang kesini pada saat kedai sedang ada pengunjung lain, kita akan disapa dan diterima layaknya teman yang sudah kenal lama.  Bagi kami, kunjungan kesini tidak hanya untuk kangen-kangenan dengan Kang Iman, juga untuk izin menggunakan Totality Coffee sebagai markas sementara selama di Yogya.  Tentu saja, Alex dan Oji, tim logistik dengan sigap mulai melakukan observasi, mengenali dapur dan mengidentifikasi bahan-bahan yang dapat diolah sebagai ransum. Di tempat inilah kami membicarakan rencana detil ke Suroloyo. Di tempat ini kami menitipkan perlengkapan yang tidak perlu dibawa serta ke puncak Suroloyo untuk mengurangi beban tunggangan kami si mobil trooper menuju puncak. Di tempat ini juga kami istirahat semalam setelah dari Suroloyo, sambil membicarakan rencana perjalanan berikutnya menuju ke Temanggung dan Wonosobo.  

Bulan sedang bulat penuh ketika kami mengisi malam terakhir di Totality Coffee.   Cahayanya menerangi hamparan pohon jagung di sisi kiri kedai kopi tersebut.  Satu persatu anggota tim mulai meringkuk ke dalam kantung tidur.  Seorang kawan tak tahan melawan serangan dingin yang mengepung ruangan dengan dinding terbuka tempat kami beristirahat, lelap namun sekujur tubuhnya menggigil.  Panas-dingin yang ekstrim oleh kemarau begitu terasa di Yogya.  Hawa dingin menusuk-nusuk tulang sejak malam hingga jelang fajar.  Matahari hanya memberi kehangatan sekejab saja. Pukul 8 pagi tubuh sudah mulai berkeringat oleh hawa panas yang ditiupkan si angin kering musim kemarau.  Menghadapi cuaca begitu, kami pun menduga, tantangan menuju Suroloyo dan lokasi-lokasi kebun kopi dataran tinggi yang akan kami datangi nanti, adalah udara dingin dan kabut tebal.

Totality coffee, kopi dan persaudaraan yang total. Terima kasih Kang Iman Nitiprawira, untuk persaudaraan dengan segenap cinta. Semoga berlimpah berkah, selalu dalam kasih sayang semesta.

Bersambung......














































Rabu, 27 September 2017

Ema yang Menyemai Benih, Cucu yang Menjaga Tradisi


Ziarah Kebun Kopi, Edisi : jelajah kopi jawa (1)

Ulin, Menemui Narasi-Narasi Kecil di Kebun Kopi

Ziarah ini agak berbeda dari ziarah-ziarah sebelumnya. Jika sebelumnya saya pergi sendiri ke kebun-kebun kopi petani yang menjadi tujuan perjalanan (kadang cukup ditemani kawan-kawan komunitas setempat), kali ini saya menjadi bagian dari tim jelajah kopi jawa. Tim jelajah kopi jawa bukanlah tim formal dan permanen. Tim ini hanya tim cair yang terdiri dari 6 orang (sekarang ber-enam, besok-besok bisa bertambah bisa berkurang). Kami dipersatukan oleh kesukaan kami meneguk kopi-kopi dari petani, mengulik peralatan sederhana untuk mengolah kopi, dan kesukaan kami merekam peristiwa-peristiwa asik terkait pengolahan kopi yang dilakukan petani kopi dari hulu ke hilir.  Tentu saja tim ini juga terdiri dari orang-orang yang suka jalan-jalan dan menikmati perjalanan. Maka, jadilah sepanjang jalan yang kami lalui menjadi ajang untuk kemerdekaan diri dan merayakan hidup.  Ulin ka kebon kopi, demikian kawan-kawan di tim jelajah kopi jawa menyebut perjalanan ini. Ulin sendiri dalam bahasa Sunda berarti main, atau pergi jalan-jalan. Kami memaknainya sebagai perjalanan yang menyenangkan untuk menemui narasi-narasi kecil (saya meminjam istilah yang sering digunakan mas Uji Sapitu ketika kami diskusi), atau cerita-cerita kecil yang sederhana tapi bermakna yang dilakukan petani-petani kopi dari hulu ke hilir.  Memotret kisah-kisah inspiratif yang dilakukan oleh Ma Okon dan Iqbal, Keluarga Pak Wakhid, Mas Mukidi, Pak Sukir, Mas Eed, dan kawan-kawan pemuda Salem.

Cikajang-Garut, Suroloyo-Kulonprogo, Temanggung, Mlandi dan Bowongso-Wonosobo, serta Salem-Brebes selatan. Tempat-tempat itu kami kunjungi dalam 11 hari perjalanan. Sayang, Guci, salah satu kawasan di kaki gunung slamet tidak jadi kami kunjungi karena teman kami yang sudah lama berkomunikasi dengan petani kopi disana batal ikut dalam perjalanan kami.   


Ema yang menyemai benih, Cucu yang menjaga tradisi

Menuju Cikajang
Tanggal 3 September, ketika azan subuh baru selesai berkumandang, kami memulai perjalanan menuju Cikajang-Garut.  Mengunjungi Ma Okon Winara, perempuan tua petani kopi menjadi tujuan pertama perjalanan kami. Kami belum pernah bertemua sebelumnya dengan Ma Okon. Tapi kisah Ma Okon merawat tanaman kopinya serta tradisi mengolah kopi secara tradisional untuk konsumsi sehari-hari sudah sering kami peroleh dari Noer Listanto.  Bagi para pegiat sastra di kota Bandung dan organisasi OI (Orang Indonesia), nama Noer Listanto sudah tak asing. Noer adalah anak muda pegiat sastra di Majelis Sastra Bandung (MSB), ia kerap menulis dan membaca puisi. Noer juga adalah pegiat di komunitas OI Jawa Barat.  Namun ketika di Cikajang, di kampung halamannya, nama Noer Listanto tidak setenar nama Iqbal. Padahal Noer Listanto sejatinya adalah Iqbal, cucu lelaki Ma Okon dari anak perempuannya yang ketiga. Sapaan Iqbal tentu sudah sangat melekat bagi keluarga dan orang-orang di kampungnya  sejak kecil hingga Noer dewasa. Kami pun akhirnya ikut menyapa anak muda itu dengan Iqbal, sambil sesekali kelepasan juga menyapa dengan Noer.

Rumah yang bersahaja dan suguhan teh hangat
Karena harus berhenti dulu di rumah teman kami untuk mengambil perbekalan serta menghadapi macet di beberapa titik menjelang masuk Garut dan Cikajang, akhirnya kami tiba di kediaman keluarga Iqbal sekitar pukul 09.30 WIB.  Ruang tamu rumah itu mungil dan artistik. Kursi-kursi yang seutuhnya berbahan dasar kayu didesain mengikuti lekuk aslinya, sangat alami. Terakhir kami mengetahui kalau apah-nya Iqbal adalah pengkriya yang mendesain dan membuat kursi-kursi itu, serta beberapa furniture lain di rumah Iqbal. 

Ketika kami masuk, meja di ruang tamu sudah dipenuhi dengan teh hangat, ubi rebus, singkong goreng dan kue.  Tidak ada seduhan kopi. Kopi sangray produksi ma Okon dan Iqbal masih tersimpan rapi dalam kantung kemasan di atas meja yang sama.  Yufik teman saya yang asli Sunda berbisik; “ini teh Sunda”. Saya pun baru tahu, ternyata di masyarakat Sunda istilah ngopi itu tidak berarti minum kopi, biasanya jika kita berkunjung yang disajikan terlebih dulu kepada tamu adalah teh tawar hangat. Kendati mereka menyebut dengan, “mangga ngopi” atau “mangga diopi”, bukan berarti ada kopi yang disajikan.
Meski pun kami sering ketemu Iqbal Noer Listanto di Bandung, tapi suasana pertemuan di rumahnya di Cikajang sungguh berbeda. Ia tertawa ketika sambil bercandan kami bertanya, “jadi naon ieu teh hubungan na antara puisi jeung kopi”. Iqbal hanya menjawab sambil tertawa, “naon nya..”. Sampai akhirnya tiba ke pertanyaan sejak kapan dan kenapa ngurusin kopi ?

“Waktu itu saya dirumahkan sama pabrik tempat saya bekerja selama sebulan”, begitu Iqbal mulai mengisahkan awal mula ia mengolah dan menjual kopi sangray.  Pada saat itu ia menyempatkan untuk pergi pulang ke Cikajang untuk waktu yang cukup lama. Saat masih bekerja, Iqbal hanya bisa menyempatkan diri pulang ke Cikajang jika ada kesempatan libur. Kepulangannya untuk waktu lama tersebut bertepatan dengan saat masuk bulan panen kopi. Iqbal tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Selama  sebulan dimanfaatkannya untuk belajar mengolah kopi, mulai dari panen sampe olah dan siap minum. Mulailah ia menggeluti kopi. Belajar ke berbagai kenalan, ia juga belajar dari ema. Ia meminta input dari berbagai orang mengenai cita rasa kopinya, serta membuka diri untuk melakukan perbaikan-perbaikan.   Hingga akhirnya, kini memasuki tahun ketiga, Iqbal sudah dapat berbangga dengan kopi sangray produknya yang semakin dikenal oleh banyak teman.

Satu setengah jam berbincang-bincang di rumah Iqbal, serta telah juga berkenalan dengan apah dan mamahnya. Namun kami belum juga bertemu dengan Ma Okon. Ternyata ma Okon ada di rumahnya sendiri, tepat di samping kiri rumah Iqbal.  Seluruh proses pengolahan kopi dilakukan Iqbal bersama emaknya di rumah itu.  Kami mulai beranjak dari rumah Iqbal ketika sekitar pukul 11.30 Iqbal mengajak kami menuju rumah ema karena hidangan makan siang sudah disiapkan. Tentu saja ajakan penuh berkah tersebut kami sambut dengan suka cita. Benar saja, di teras rumah ma Okon, lembaran daun pisang yang memanjang dengan menu lengkap di atasnya sudah menanti.  Nasi liwet, ikan asin, sambal, kerupuk, lalap timun, daun pohpohan, leuncak. Ma Okon, dengan bahasa sundanya yang kental, mempersilahkan kami menikmati hidangan yang menurut kami sangat mewah itu.  

Merawat Pohon Kopi, Berawal dari Rasa Cinta
Setelah menikmati makan siang yang begitu nikmat, kami mulai dimanja dengan tutur ema mengisahkan perkenalan pertamanya pada tanaman kopi.  Dulu sekali, ketika ema masih anak-anak memasuki usia remaja, bapaknya yang seorang petani sudah menanam kopi di pekarangan. Tidak banyak, hanya ada 5 pohon, sebab hanya diperuntukkan sebagai tanaman pagar dan memenuhi konsumsi kopi keluarga.  Sejak itu ma Okon mulai suka dengan tanaman kopi. Ia merasa gembira ketika melihat bunga-bunga kopi yang wanginya memenuhi pekarangan mulai bermekaran. Kegembiraannya bertambah setiap melihat biji-biji kopi yang bulat kecil tampak mulai berwarna merah.  Ma Okon mulai menanam 2 pohon kopi di kebun dan merawatnya hingga besar.  Kemudian bertambah, bertambah, dan semakin banyak tersebar di lahan kebun yang tidak begitu luas.  

Kebun ma Okon memang tidak terlalu luas, tidak sampai 1 ha.  Tanah kebun milik bapaknya yang mencapai 3 ha sudah lama habis dibagi-bagi sebagai warisan.  Awalnya ma Okon hanya memiliki sepetak tanah kebun sekitar 70 tumbak, kini ada tiga petak yang diperoleh ma Okon dengan membeli, menyisihkan hasil kebun sedikit demi sedikit. Lokasi kebun mak Okon juga tidak berada dalam satu tempat, tersebar di tiga titik. Semuanya berada tidak jauh dari rumah. Di tanah kebun tersebut, ma Okon yang kini tak lagi muda, merawat sekitar 500 pohon kopi, semua jenis arabika.  "Ah...Ema mah resep we kana kopi teh. Ti ema leutik, resep ninggali kembang sareng buahna nu beureum." Begitu jawaban ema, ketika kami bertanya, kenapa ema Okon memilih menanam kopi.

Petik Merah
Kami melanjutkan obrolan dengan ema Okon sambil menuju kebun ema di 2 lokasi yang berbeda.  Kebun ema yang pertama kami kunjungi cukup dijangkau dengan 5 menit berjalan kaki.  Di kebun itu pohon-pohon kopi tumbuh subur dengan jarak tanam yang agak rapat.  Mungkin ema terlalu semangat nanam kopi, sementara luas lahannya kurang bisa memenuhi keinginannya.  Tidak banyak tersisa biji berwarna merah, hanya ada beberapa.  Tetapi di tiap pohon deretan biji kopi hijau masih terlihat kuat menempel pada dahan yang menjutai. Kata ema, biji hijau ini tabungan, beberapa minggu lagi, setelah merah ia akan siap dipetik.


Dari cerita ema kami ketahui, Iqbal cucunyalah yang menyarankan ema untuk memetik hanya biji yang berwarna merah.  Sebab kopi yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang berbeda, terasa lebih harum, manis tanpa getir. Secara ekonomis, tentu saja menjual hasil olahan biji kopi merah memberikan keuntungan yang lebih baik daripada menjual kopi dengan kualitas campur (biji merah dan hijau). Iqbal tidak berhenti sekedar menyarankan ema. Ia sendiri mengambil peran sebagai pembeli dan pengolah biji kopi petik merah yang oleh ema telah dikeringkan dalam bentuk gabah.  “Awalnya hanya sedikit, cuma berani minta ema menyisihkan biji kopi petik merah 20 kg saja untuk saya olah, itu pun sebenarnya ema agak ragu dengan keseriusan saya”, begitu Iqbal menuturkan perjalanan awalnya mengolah kopi ema.  Kopi yang tidak dijual ke Iqbal, oleh ema tetap dijual ke tengkulak. Bagaimana pun kopi-kopi tersebut tetap harus menghasilkan uang.  Hasil penjualan kopi itu yang menopang biaya hidup ema terutama untuk kebutuhan yang harus diperoleh dengan uang. 

Dalam dua tahun terakhir, kondisinya berubah. Kini ema tidak lagi menjual biji kopinya ke tengkulak. Semua hasil panen disalurkan ke Iqbal untuk diolah sendiri menjadi kopi sangray.  Bahkan tidak jarang Iqbal kehabisan stok greenbean, sebab pesanan untuk kopi sangray dari berbagai tempat semakin banyak masuk ke Iqbal.


Kebon ema sebagai sumber pangan
Kami melanjutkan berjalan kaki menuju kebun ema yang lokasinya lebih dekat lagi dari rumah, hanya 2 menit perjalanan.  Di kebun ini, pohon-pohon kopinya lebih pendek, karena usianya memang lebih muda. Rata-rata usia 2-3 tahun.  Sebagian baru belajar berbuah. Ema dan Iqbal berkeliling mencari biji merah yang tersisa.  Berbeda dengan kebun yang pertama, di kebun ini jarak tanam antara pohon kopi lebih jarang. Sebab, selain kopi ema juga menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman karbohidrat pengganti beras.  Di lahan kecil itu kami menemukan cabai, sayur, waluh, pisang, singkong dan jenis tanaman bumbu masak atau jejamuan.  Sesekali, tak sengaja kami menginjak tanah lembek sekitar tanaman.  Ternyata yang kami injak itu pupuk kandang dari kotoran sapi.  Menurut penuturan ma Okon, ia tak pernah membeli pupuk putih (istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pupuk kimia buatan). Awalnya karena ema tidak punya banyak uang untuk membeli pupuk. Meski pun ada penjual pupuk yang datang ke petani dan memberi utangan, tetap saja ema gak mau. Akhirnya ema menggunakan pupuk kandang. Tapi kini, setelah ema melihat pertumbuhan tanamannya yang sangat baik dengan pupuk kandang, ema memutuskan tetap menggunakan pupuk kandang, toh bahan bakunya berlimpah. Benar saja, ketika kami hendak kembali menuju rumah ema, tak jauh dari kebun ada dua ekor sapi perah yang sangat besar, yang selalu menghasilkan kotoran/feses. Salah satu sapi tersebut sedang bunting.  Berarti tak lama lagi sapi-sapi ema akan bertambah. Ma Okon menyerahkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut pada adiknya. Termasuk memerah susu dan menjual susu tersebut ke koperasi. 

Masih ada yang pada saat itu belum sempat kami susuri, yaitu balong ikan. Ema juga memelihara beberapa jenis ikan air tawar di balong miliknya. Sesekali, jika keluarganya ingin makan ikan mereka menjaring dari balong tersebut.

Saya jadi ingat hidangan makan siang di rumah ema. Ternyata sebagian dari bahan pangan yang tersaji berasal dari kebon ema.  Sewaktu berjalan menuju rumah, saya setengah becanda bertanya pada ma Okon, “Ma, upami aya nu ngagaleuh taneuh ema, kumaha ?” Ma Okon menghentikan langkahnya, sambil menoleh ke saya, ema menjawab: “moal dijual ku ema mah, dahar tina naon atuh, apaan ema teh padaharan na ti kebon”. Petani yang menerapkan pola bercocok tanam sistem tumpang sari seperti ema, tentu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah garapannya. Sebab tanah garapan itulah ruang hidup si petani,  sumber penghidupan baginya dan keluarga. Mereka memakan apa yang mereka tanam, mereka menanam apa yang mereka makan. 

Menyangray Kopi, Kopi Sangray
Lega rasanya, akhirnya setelah ulin ka kebon ema, kami pun bisa menikmati seduhan kopi sangray hasil olahan Iqbal. Masing-masing dari kami mencari posisi yang paling nyaman di rumah ema untuk menikmati kopi. Saya, Alex dan Ozi memilih duduk di teras rumah. Tak lama kemudian kami kembali disuguhi sepiring singkong goreng. Singkong dari kebun ema.  
 
Di halaman samping, antara rumah ema dengan rumah Iqbal, terlihat mamahnya sedang  menumbuk kopi gabah menggunakan lumpang kayu. Hentakan alunya yang keras menggetarkan tanah di sekitar lumpang. Suaranya terdengar ritmis. Sesekali hentakan alunya berhenti, mamah Iqbal membalik biji-biji tersebut, agar gabah yang di bagian bawah terkena hentakan alu dan kulitnya segera lepas. 


Sementara di dapur, ada Iqbal yang duduk di depan tungku sedang nyangray kopi, ditemani teman kami Yufik yang merekam proses menyangray.  Tak jauh dari Iqbal, tepatnya di pintu antara dapur dengan ruang tengah, ema duduk. Perempuan tua itu mengamati cucunya menyangray kopi, sesekali terdengar dialog antara mereka. Dialog antara nenek dan cucunya.  Dialog tentang kopi, dari hulu ke hilir. Dialog tentang menyangray.  Sambil mengaduk terus biji-biji kopi di atas wajan, sesekali tangan kiri Iqbal mengatur bara api.  Jika bara mulai meredup, pemuda itu segera membungkuk, meniupkan udara  melalui selongsong paralon kecil.  Aroma kopi sangray memenuhi ruangan, bahkan sampai ke halaman depan.  Hampir satu jam Iqbal menyangray, ia mulai siap-siap mengangkat wajan dan menuangkan biji kopi yang berwarna coklat itu ke atas nyiru.  Tangannya sigap menggapai adukan kayu, lalu meratakan biji-biji kopi agar tidak menumpuk di tengah, sehingga panasnya segera menguap. 

Menyangray kopi adalah tradisi yang biasa dilakukan ema untuk konsumsi kopi keluarga.  Sebelum melihat Iqbal menyangray, kami sempat menyaksikan proses bagaimana ema melakukan ritual itu.  Kami tak ingin mengusik ema, tidak ada obrolan. Hanya suara ritmis dari gesekan antara adukan kayu, wajan dan biji-biji kopi memenuhi ruang dapur.  Sesekali kami menangkap mimik wajah ema yang terlihat tekun, kadang bibirnya bergerak pelan, seperti berbisik, tampaknya ema sedang merapal doa.  Pada keluarga petani kopi, tradisi menyangray kopi untuk keluarga biasanya memang dilakukan ibu atau nenek. Proses menyangray biasanya mereka lakukan sambil shalawatan.  Entah karena mendoakan dan mensyukuri si biji-biji kopi, atau sedang mengisi waktu menyangray yang cukup lama untuk shalawatan sebagai ibadah tambahan. Tapi ritual itu membuat suasana menyangray lebih hikmat.  Meski pun hasil akhir sangrayan Iqbal berbeda dengan hasil ema yang cenderung hitam, tapi ema mengatakan ia senang karena ada cucunya yang meneruskan tradisi menyangray kopi. Bahkan tradisi itu tidak hanya untuk kebutuhan kopi di rumah, juga menjadi proses pengolahan kopi yang hasilnya dinikmati oleh orang-orang di luar mereka yang membeli kopi sangray olahan Iqbal.  Kopi-kopi itu, bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang jauh dari Cikajang.  Iqbal kerap mengirimkan kopi sangray kemasan yang pesanannya datang dari teman-teman atau temannya teman di daerah lain, beberapa bahkan membawanya sebagai oleh-oleh ke luar negeri.

Teman saya, Yufik sempat bertanya, “Iqbal, mau sampai kapan nyangray ? Gak tertarik mengganti dengan alat roasting kopi yang lebih canggih dan modern ?”. Iqbal diam sejenak, sambil senyum ia menjawab “gimana ya kang, tadinya kepikiran juga pake alat roasting yang lebih canggih, tapi kumaha, saya sudah pakai nama kopi sangray di kemasan, dan orang sudah pada tahu. Jadi, biar saja saya tetap menyangray secara tradisional, seperti kebiasaan ema”. Diam-diam, saya menyimpan kagum pada keteguhan Iqbal. Pada keteguhannya menjaga tradisi, dengan tetap juga menjaga cita rasa kopi. Sebab tidak ada yang salah dengan menyangray kopi cara manual, selama teknik yang dilakukan mampu menghasilkan karakter si kopi tersebut. Seperti yang dilakukan Iqbal.

Terima kasih, ema dan Iqbal
Hari mulai petang. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Yogya, sebelum mengunjungi Pak Wakhid di Suroloyo, Kulonprogo.  Kami menutup perjumpaan silaturahmi dengan foto bersama. Kemudian mendekap dan bersalaman dengan ema, sambil saling menyisipkan doa, agar semua selalu dalam kondisi sehat, kelak bertemu kembali.  Kami tak dapat menyembunyikan kegembiraan, melihat 3 kardus perbekalan telah disiapkan ema untuk kami di perjalanan.  Kecimpring, waluh, pisang, singkong, terong belanda.  Saya juga mengemas 3 bungkus kopi sangray yang sudah saya pesan sebelumnya pada Iqbal. Kelak, kopi sangray tersebut beserta kecimpring dari ema akan menjadi tali penghubung antara keluarga ema, keluarga Pak Wakhid, dan keluarga Pak Sukir. Menjadi penghubung rasa diantara sesama petani kopi. Hatur nuhun, Ema Okon Winara, terima kasih Iqbal Noer Listanto. 

Bersambung..,




Sabtu, 17 Juni 2017

Menekuri kopi, mengagumi para penemu/pengkriya, dan proses mencipta di balik secangkir kopi yang nikmat


Ada banyak hal yang dapat membawa kita pada proses penekuran tentang kekuatan karya dan proses penemuan yang melekat pada kemampuan manusia dalam mencipta, ia (manusia) yang juga sebagai mahluk Maha Karya Sang Maha Pencipta.  Maka, izinkanlah kali ini saya menekuri kopi tidak pada karakter rasa sebagai identitas si kopi, tetapi pada proses panjang penemuan kopi hingga ia hadir dengan beragam olahan dan penyajian yang membuat kehidupan ini menjadi hidup, begitu penuh warna.

Merujuk pada berbagai catatan tentang sejarah penemuan kopi, konon tanaman tersebut mulai dikenal oleh Suku Galla di Afrika Timur pada 1000 SM.  Konon juga, catatan lain menuliskan Khaldi sang penggembalalah orang yang pertama kali menemukan kopi di dataran tinggi Ethopia. Siapapun ia, yang telah menakhlukkan rasa ingin tahunya dengan memetik biji-biji kopi dan memberanikan diri memasak biji-biji tersebut untuk pertama kali, meneguknya, lalu merelakan tubuhnya mengalami reaksi (apapun bentuknya). Merekalah sang penemu.  Penemuan sederhana, seperti seorang pendaki yang menemukan jenis tanaman baru sebagai tanaman yang dapat dimakan di perjalanan. Atau seorang peladang yang membawa pulang seikat dedaunan yang baru dikenali lalu diolah sebagai jenis sayuran baru.  Mereka mungkin tak pernah membayangkan pengaruh temuan sederhana itu di masa depan.  Sejatinya, penemuan-penemuan awal yang sederhana itu adalah fondasi, pijakan petama, dari berbagai penemuan lanjutan yang mengikutinya, hingga berbagai penemuan tersebut kita pandang sebagai bagian dari bangunan besar peradaban. Penemuan dan penciptaan hal-hal baru berhubungan dengan kopi dapat kita telusuri di sepanjang perjalanan kehidupan dunia kopi itu sendiri. Mulai dari kopi di hulu hingga kopi di hilir.

Pikiran apa yang terlintas di benak penemu Ibrik (alat pembuat Turkish Coffee, disebut juga cezves atau briki) ketika menemukan ide membuat alat tersebut. Sehingga masyarakat Turki mempunyai tradisi membuat kopi dengan rasa eksotis yang dihasilkan si alat tersebut.  Mungkin nama mereka tak banyak disebut, terutama ketika Ibrik sudah menjadi produk industri yang dihasilkan secara massal. Maka yang kemudian tercantum di label produksi adalah nama perusahaan. Jika pun temuan suatu alat pengolah kopi dihasilkan sebagai bagian dari riset yang dilakukan oleh industri peralatan kopi, ia tidak bisa dilepaskan sebagai hasil karya manusia.

Dalam dunia budidaya tanaman (termasuk kopi), ada yang dikenal dengan istilah “pemuliaan” tanaman.  Suatu perlakuan yang bertujuan untuk menjaga kemurnian tanaman kopi, atau bisa juga untuk memperkuat daya tahan terhadap hama dan gangguan lain, atau bisa juga untuk memunculkan kekhasan kopi yang diperoleh dari mutasi alami tanaman kopi tersebut. Di samping itu, meskipun selalu menjadi kontroversi, namun dalam dunia bioteknologi, perkembangan yang bertujuan menghasilkan varietas baru tamaman kopi juga terus terjadi. Mereka, para peneliti dan penemu mempelajari susunan genetik tanaman kopi, dan mempelajari genom biji kopi, melalui berbagai ujicoba.  Saya sendiri tidak bisa membayangkan akan menghasilkan kopi seperti apa mereka di masa depan.  Pemuliaan dan pengembangan bioteknologi, sekalipun dilakukan di bawah bendera perusahaan benih dan industri kopi, tetaplah hasil pemikiran dan karya cipta manusia. Ada individu-individu penemu di belakang proses tersebut.  Di kalangan petani kopi sendiri, pemuliaan tanaman kopi dan kawin silang sehingga menghasilkan varietas baru atau menghasilkan tanaman kopi unggul sering terjadi. Mereka juga para penemu.

Para penemu, orang-orang kreatif juga kita jumpai dalam dunia peracikan dan penyajian minuman kopi. Penduduk Vienna tercatat sebagai pembuat Cappucino pertama, sekitar tahun 1680-an.  Hasil campuran kopi, krim dan madu yang menghasilkan warna coklat mengingatkan mereka pada warna jubah seorang Pendeta dari Ordo Capuchin yang ikut bertempur memperebutkan Vienna dari kekuasaan Turki.  Lalu mereka menamakan minuman kopi dengan krim dan madu tersebut sebagai Cappucino.  Siapa tepatnya peracik pertama yang menemukan racikan minuman tersebut..? Menemukan nama itu sama sulitnya menemukan nama orang yang pertama kali menemukan racikan karedok makanan khas orang Sunda. Mereka adalah para penemu. Orang-orang yang dengan sadar atau tanpa sadar, dipengaruhi oleh kekuatan ide dan kemampuan meracik, telah menghasilkan karya cipta yang dapat dinikmati oleh manusia lain. Bahkan menjadi inspirasi bagi berkembangnya proses penciptaan berikutnya, tanpa terpikir ingin mencatatkan namanya di lembar sejarah.

Jika ingin menekuri evolusi yang subjek utamanya adalah proses kriya segala hal yang berhubungan dengan kopi, maka rajin-rajinlah mengenali berbagai temuan di balik seduhan kopi yang kita nikmati. Di balik secangkir kopi itu ada racikan, ada alat peracik, ada alat roasting, ada jenis dan varietas kopi. Dan di belakang semua penemuan itu, ada makhluk yang bernama manusia.  Sejatinya, menghikmati secangkir kopi adalah menghikmati hasil kriya manusia.  Yang berarti juga menghikmati manusia sebagai Maha Karya Sang Maha Pencipta.

Penekuran kita tentang proses penemuan tersebut mungkin akan sampai pada pertanyaan, kapankah penemuan-penemuan tersebut akan berakhir ? Sama halnya dengan pertanyaan, kapan manusia tidak lagi menghasilkan hal-hal baru di dunia perkopian ? Atau, kapan manusia berhenti berkarya dan menciptakan sesuatu yang baru ? Mengenai semangat kreatif, Rabindranath Tagore, dalam bukunya Agama Manusia”, menuliskan; “……. ketika ceritanya mendekati penyelesaian, maka ditemukan kesulitan-kesulitan lain agar kisah petualangan bisa berlanjut. Karena kalau sampai pada penyelesaian yang benar-benar memuaskan berarti berakhirnya segala hal, dan bila demikian, anak besar bernama manusia tidak bisa berbuat lain kecuali menutup tirai dan pergi tidur”.  

Begitulah proses penciptaan itu berlangsung. Sepanjang manusia masih menjadi bagian dari kehidupan, maka proses kreatif untuk menghasilkan temuan dan karya-karya baru akan terus berlangsung, tak terkecuali di kancah perkopian.  Sebab ada hal yang sangat lahiriah melekat dalam diri manusia sebagai kesatuan penciptaannya oleh Sang Maha Pencipta yang tidak dapat dielakkan. Adalah hasrat untuk mewujudkan kemampuan nalar, imajinasi kreatif, cinta dan keinginan untuk saling terhubung dengan sesama manusia, memberikan yang terbaik bagi manusia lain. Salah satu perwujudannya melalui karya, penciptaan, penemuan-penemuan yang dapat didedikasikan kepada kehidupan dan kemajuan peradaban.

Untuk itu, sebagai penikmat kopi, patutlah kita mengucapkan terima kasih, serta tabik yang dalam bagi  mereka, individu-individu, yang telah mencurahkan segenap keutuhannya sebagai manusia untuk menghasilkan temuan dan karya-karya terbaik sehingga secangkir kopi yang nikmat tersaji di depan kita.



Selasa, 02 Mei 2017

True Brew Coffee itu ya Kopi Tubruk (seduhan yang jujur, mendustakannya seperti mengingkari bahwa hidup dan kehidupn kita pun sesungguhnya penuh tubruk-an)

Siapa yang tak tahu kopi tubruk, cara menyeduh kopi yang sudah sangat tua dan menjadi tradisi Indonesia, meski pun pada mulanya tradisi ini datang dari Timur Tengah dan diperkenalkan oleh para saudagar. Caranya begitu sederhana, murah dan mudah. Dalam sesi-sesi cupping (cicip-cicip kopi), seduhan yang biasa digunakan adalah tubruk. Mungkin karena cara ini menghasilkan seduhan kopi dengan rasa yang lebih jujur. Tidak ada kamuflase. Tidak ada manipulasi rasa. Hanya ada teknik-teknik yang berbeda yang biasa dilakukan para penyeduh kopi tubruk yang suka bereksperimen. Tapi secara umum, metode dan bahan yang digunakan sama. Seduhan ini adalah hasil benturan/tabrakan dari air bersuhu tinggi (bervariasi, antara 85-100 derajat) dengan bubuk kopi (kasar) bersuhu ruang.

Bagi penikmat kopi tubruk, mengatakan lebih menikmati seduhan lain (selain tubruk) adalah dusta. Seperti mengingkari kenyataan bahwa hidup dan kehidupan kita pun sesungguhnya penuh dengan benturan, tabrakan, tubrukan. Nubruk sana sini, ditubruk si itu si ini. Nubruk budaya, nubruk idiologi, agama, nilai, atau ditubruk karakter, sifat dan perilaku orang-orang yang berbeda. Kaget ? Tentu saja. Terkejut ? pasti. Selalu ada efek kejut yang dihasilkan. Kejutan, bagaimana pun mampu menguras emosi. Senang, suka, marah, sakit. Beragam rasa akan berhamburan. Mungkin itu yang kita peroleh dari seduhan kopi tubruk. Itu sebab kenapa kopi tubruk mampu mengeluarkan semua rasa dan karakter si kopi, karena efek kejut dari tubrukan yang dialaminya dan mengguyur seluruh bodinya.


Seperti halnya ketika kita baru diserang keterkejutan, kaget setelah ditubruk. Biasanya butuh waktu untuk pengendapan, dan mengambil intisari dari tubrukan yang kita alami. Pun, rasanya demikian juga dengan kopi tubruk. Pernah mengalami sensasi saat berhadapan dengan kopi tubruk yang hampir mencapai ampas ? Jika belum, cobalah, memang sudah tidak lagi hangat, bahkan mulai mendingin, tapi rasanya sungguh berbeda, kuat dan matang.

Senin, 03 April 2017

Kopi, dari hulu ke hilir (olah rasa, pikir dan bathin)

Kopi. Minuman hitam seperti jelaga itu begitu menyihir. Mencium, mencecap, dan meneguknya adalah ritual klasik yang telah menjadi candu bagi penikmatnya.  Orang-orang membicarakannya seperti membicarakan masa depan.  Bagi para pengkriya, pembicaraan seputar kopi sama bergairahnya dengan proses berkarya. Ampas dan kulit, bisa bernilai lebih tinggi dari minuman kopi itu sendiri.  Bagi pelaku industri, membicarakan mesin-mesin pengolah kopi dan perlengkapan alat seduh kopi adalah bisnis yang tak pernah mati. Mereka cermat tidak hanya menemukan kesesuaian material dan teknik penggunaan alat sehingga menghasilkan sensasi rasa, juga cerdas menangkap kebutuhan akan rasa puas, termasuk kepuasan atas prestise masyarakat kopi. Bagi para pebisnis, membicarakan kopi setara dengan membicarakan laba. Mereka berani bertarung dengan skala investasi yang kian menukik. Seakan tak ada limitasi, untuk mengejar keuntungan.

Duduklah di sebuah café. Ada banyak jenis kopi dan ragam penyajian. Kita bisa memilih, sesuai keinginan. Kadang rasa penasaran akan menggerakkan pilihan kita. Melihat alat yang unik, cara penyajian yang terkesan modern, ritual yang pakem, membuat mata kita sebisa mungkin tak berkedip. Agar setiap proses tak terlewatkan.  Tentu saja, dalam dunia yang segala sesuatunya berisfat komersil, pelayanan yang didapat pun bermakna transaksi.  Kita memilih jenis kopi dan sajiannya, berarti kita membayar kopi dan pelayanan yang diberikan.  Sesuaikah harga dengan kepuasan ? relatif. Tidak ada standar baku yang namanya kepuasan.

Begitulah bius kopi bagi orang-orang di hilir. Ia begitu dicintai karena mampu memberi pilihan dan kepuasan. Andai kita bisa memindahkan pilihan dan kepuasan itu pada orang-orang di hulu, mungkin kisah indah secangkir kopi yang nikmat dan penuh sensasi sebanding dengan kisah indah petani kopi. Sayangnya, tidak demikian.  Tak ada pilihan musim bagi petani kopi, sekali pun mereka bisa bayar mahal untuk mendapatkan cuaca yang sangat baik untuk penjemuran.  Bagi mereka yang bisa membeli oven pengering bisa sedikit lega, tapi sebaik-baiknya panas tetaplah bersumber dari sang surya, dan sang surya tidak menjual layanan panasnya.  Juga tak ada pilihan menu hujan dan angin sesuai kadar yang kita inginkan, seperti para ahli roasting kopi yang bisa menentukan suhu dan waktu roasting sesuai yang diinginkan, yang mereka anggap ideal.  Hujan dan angin bisa tiba-tiba datang dengan hentakan yang merontokkan kembang-kembang kopi dan biji-biji  belia yang baru belajar menatap dunia.  Tak ada pilihan menu bagi si petani, bahkan di banyak tempat, dimana kopi-kopi spesial menjadi kopi andalan di café-café, biji-biji kopi itu tumbuh di atas tanah penuh sengketa. Petani kopi merawat kopi-kopi itu sebagai pertarungan. Sebab, sewaktu-waktu, mereka yang berkuasa, dapat merampas tanah-tanah tersebut, membabat pohon-pohon kopi, dan menggantinya dengan tembok-tembok menjulang tinggi.


Seberapa dekat sesungguhnya jarak kepekaan dalam menangkap atmosfir antara kopi di hilir dengan kopi di hulu ? Relatif, bisa sangat dekat, bisa sangat jauh.  Sebab ia ada di ruang pertautan, saat dimana indera perasa, perabaan batin, dan rasionalitas pikiran, bekerja secara seimbang.  Yaitu, ketika seseorang meneguk secangkir kopinya, Membiarkan seluruh indera perasanya bekerja, sedangkan alam pikirannya mengembara menuju bentangan kebun kopi dan petani yang berpeluh, lalu bathinnya mengingat semesta dengan doa.