Mereka yang menanam dan mengolah bahan pangan, lalu menyajikannya bagi keberlangsungan hidup, sesungguhnya adalah pekerja seni, pengkriya, pengrajin. Mereka memberi sentuhan cita rasa pada peradaban. Demikian halnya mereka yang dengan sentuhannya telah mengolah kopi dengan sangat baik, menjelma minuman yang tersaji di meja-meja perjamuan, kedai-kedai rakyat, ruang-ruang perundingan, rumah-rumah kekerabatan, dan banyak tempat lain.
Kopi-kopi terbaik, tidak karena dilahirkan dari mesin-mesin pengolah kopi ternama. Mesin-mesin yang seolah-olah menjadi penanda mutu. Bukan juga karena penjualannya mampu menguasai pasar. Kopi-kopi terbaik, lahir, bermula dari benih yang mendekam pada tanah subur, yang diolah dengan tangan-tangan petani, memupuknya dengan cinta dan kasih sayang, seperti kasih sayang perempuan yang menjaga janinnya dalam kantung rahim kehidupan.
Kopi-kopi terbaik, lahir dari ketabahan dan kesabaran petani. Yang menjaga cita rasa kopinya dengan memilih, satu persatu biji kopi, lalu memetik hanya yang berwarna merah. Mereka tak mendustakan alam, tak menahan kehendak alam untuk menyempurnakan proses kelahiran biji kopi, mengikuti takdir genetis, sebagai cikal benih, penerus kehidupan pada tanaman kopi. Karena begitulah semesta bekerja, Ia membalurkan cita rasa pada kulit buah yang ranum merah.
Kopi-kopi terbaik, hadir dari doa panjang para pengolah. Yang mengucapkan syukur pada nikmat mentari, karenanya sari buah meresap dan mengering. Memperpanjang usia pada biji-biji kopi, memberinya waktu jeda, istirahat di gudang-gudang penyimpanan, sebelum merebakkan aroma magis saat merekah di penyangraian.
Lalu di tangan peracik, kopi terbaik bagaikan sketsa pada selembar kanvas. Intuisinya bekerja secepat kilat. Menangkap karakter, mengenali sifat. Ditangannya sketsa itu menjelma keindahan, kenikmatan. Menjadi karya seni dengan cita rasa tinggi.
Kopi terbaik itu, hadir dari sentuhan panjang cinta dan pengabdian para pengkriya, para seniman, para penjaga peradaban. Ia bernilai tinggi, semestinya bukan karena rantai distribusinya yang begitu panjang, tapi karena begitulah semestinya karya seni. Bernilai tinggi, karena cita rasanya bernilai tinggi. Takjim, pada mereka yang mengolah kopi sebagai pengabdian, lalu mempersembahkannya bagi kehidupan.
----------
(Catatan ini lahir setelah gagal memahami cara pandang Pemerintah (Kementerian Perindustrian) yang baru saja mencanangkan hari kopi Internasional untuk Indonesia, dengan menyediakan meja-meja khusus bagi mereka “pedagang” kopi, pelaku eksport, dan industri penyedia kopi instan sachet terbesar yang menguasai pasar kopi domestik. Tanpa kehadiran PETANI KOPI. Pemerintah yang memaknai kopi bukan sebagai karya seni dan hasil kerja budaya, tetapi sebagai industri). –catatan yang juga lahir dari obrolan pendek dengan para pengrajin kopi di rumah kopi Ranin, Cak tejo dan Mas Uji, matur nuwun sudah mencerahkan)-