Minggu, 22 Maret 2015

KOPI, dari tanah dan keringat petani, menuju gerakan perubahan sosial

(Sebuah catatan refleksi, dari perjalanan ziarah ke kebun-kebun kopi)

Khaldi, seorang penggembala kambing di dataran tinggi Ethiopia pada abad 8  yang selalu muncul dalam cerita penemuan pertama tanaman kopi, tak pernah membayangkan bahwa penemuan itu akan membawa pengaruh besar tidak hanya bagi perekenomian dunia, bahkan terhadap lahirnya gagasan pergerakan sosial di seluruh dunia.

Ethiopia, telah mengenal tanaman dan minuman kopi jauh sebelum Eropa menjadikan kopi sebagai komoditi yang menyumbang begitu besar terhadap kemajuan peradaban di Eropa, dan penyokong logistik ekspansi kekuasaan negara-negara Eropa di wilayah jajahannya.  Bahkan ketika abad 15, seorang haji asal Mysore-India, berhasil menyelundupkan biji kopi dan mulai membudidayakan tanaman tersebut di kampungnya, di India, negara-negara di Eropa masih begitu asing dengan minuman  tersebut. Seorang penyair asal Inggris, Sir George Sandys pada tahun 1600, dalam catatannya bahkan pernah menulis tentang orang-orang Turki yang gemar ngobrol hingga larut malam sambil menyeruput minuman yang warnanya sehitam jelaga, dan rasanya yang tidak biasa. Setelah itulah kemudian Eropa mulai mengenal kopi, yaitu sekitar tahun 1615, melalui pedagang-pedagang Venezia-Italia membawa pulang kopi dari negara jajirah arab, yang dulu dikenal dengan daerah Levant . Setelah penemuan itulah, baru kemudian Belanda, memulai penjelajahannya mengenai kopi, dengan membawanya dari Yaman menuju Ceylon (Sri Lanka), hingga nusantara. Dan mulai melakukan monopoli perdagangan kopi di Eropa mengalahkan kopi-kopi dari daerah asalnya, yaitu Yaman dan negara-negara jajirah arab lainnya. Dengan melakukan penanaman massal tanaman kopi didataran tinggi sepanjang Jawa, dengan system tanam paksa, koffie stelsel.

Kopi dan Gerakan Sosial
Kopi, merupakan alasan yang kuat bagi berkumpulnya orang-orang di ruang-ruang publik, selain  alkohol. Di negara-negara Eropa, popularitas kopi bahkan menyaingi minuman-minuman lokal. Pemerintah Jerman bahkan pernah melarang penjualan kopi di kedai-kedai minuman, karena perdagangan kopi di negara tersebut menjatuhkan penjualan minuman lokal mereka, yaitu bir.  Dan kopi Jawa, tentu saja, memiliki andil besar dalam memasok kebutuhan kopi Eropa pada masa itu, melalui kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.  Bahkan pada tahun 1830-an melalui system cultuurestelsel yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Jawa mampu memproduksi hingga mencapai hampir 60 ribu ton kopi arabika pertahun.  Kopi yang menaikkan pundi-pundi Pemerintah Hindia Belanda  secara drastis itu tentu saja diperoleh dari keringat petani-petani di tanah Jawa.  Untuk menggenjot terus produksi kopi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memperluas wilayah perkebunan kopinya hingga ke pulau-pulau lain di luar Jawa, termasuk Sumatera dan Sulawesi yang kini juga dikenal sebagai daerah-daerah penghasil kopi dengan karakter body kopinya yang khas.

Di Eropa minuman kopi mengisi peran penting dalam melahirkan gagasan-gagasan pergerakan, termasuk lahirnya revoluasi Perancis. Voltaire, filsuf yang berperan penting di balik revolusi perancis bahkan adalah seorang peminum kopi berat –konon Voltaire minum 50 cangkir kopi dalam sehari-- . Dalam catatannya, seorang ahli sejarah di Perancis; Jules Michelet, bahkan menyebutkan bahwa kopilah yang mebubah sejarah Perancis. “Kopi, minuman tak memabukkan. Stimulan mental yang kuat, meningkatkan kejernihan otak,” begitu dia kira-kira menyebut kehebatan minuman tersebut.  Procope Café adalah kedai kopi yang digemari para tokoh pencerah Perancis, seperti Voltaire, Rousseau, Denis Diderot, dan juga Napoleon Bonaparte.
Di Turki, tempat kopi menemukan peradabannnya, dimana proses pengolahan kopi mengalami pematangan dan penyempurnaan melalui penciptaan alat-alat penghalus dan teknik-teknis roasting yang semakin baik, tak pelak juga pernah menimbulkan kerisauan bagi penguasa.  Sultan Murrad IV, sang pewaris Dinasti Ottoman, menganggap kedai kopi telah berubah fungsi menjadi ajang perdebatan politik yang membahayakan bagi penguasa. Lalu melakukan tindakan represif terhadap pemilik kedai kopi, termasuk para peminum kopi.

Lalu, Bagaimana di Indonesia..?
Lama sejak Belanda meninggalkan jejak kakinya di Indonesia, kopi masih menjadi komoditi andalan di negeri ini. Meskipun nilainya sempat jatuh dan terpuruk di masa Pemerintahan Orde Baru. Tapi dalam sepuluh tahun terakhir, kopi kembali menjadi primadona, tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan dalam tiga besar penyuplai kebutuhan kopi dunia, selain Vietnam dan Brasil. Kopi juga telah mengubah wajah budaya dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Kopi adalah gaya hidup. Kopi telah berhasil mengubah style anak-anak muda. Jika sebelumnya, anak-anak muda gandrung minum minuman beralkohol dan bersoda, maka saat ini kopilah yang menjadi minuman yang digandrungin anak-anak muda.  Kopi bukan lagi minuman kakek-kakek atau orang-orang tua yang gemar berpikir berat. Kini kopi dinikmati orang-orang muda di café-café sambil melakukan obrolan-obrolan santai. Bahkan tak jarang kita menyaksikan sepasang kekasih duduk di café sambil minum kopi.

Pertanyaan mendasarnya adalah, kenapa pada saat rakyat Indonesia tidak lagi menjadi sapi perah Pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi tuntutan monopolinya atas perdagangan kopi, dan saat kopi sudah menjadi minuman yang paling dibutuhkan di kedai-kedai kopi di negeri sendiri, kisah-kisah pergerakan di kedai-kedai kopi di Eropa itu tidak terjadi di Indonesia.  Kopi memang telah menimbulkan ketergantungan bagi para peminumnya, mereka peminum kopi di negeri ini nyaris sulit sekali beraktivitas jika tak meneguk minuman itu dalam sehari. Di Indonesia, kopi adalah revolusi itu sendiri. Dia mengubah banyak wajah. Kota-kota memoles wajahnya dengan café-café dan baristanya yang bangga menyajikan kopi hasil racikannya.  Para poitisi memilih sudut-sudut tertentu di kedai-kedai kopi untuk membicarakan muslihatnya. Begitupun para pemodal, menggelontorkan uang bermilyar-milyar dalam perjanjian bisnis sambil meyeruput kopi di café-café yang menjual kopi dengan harga termahal.

Nun jauh di dataran-dataran tinggi di seluruh nusantara pengahasil kopi, petani-petani masih menggunakan baju belelnya dalam mengolah tanah dan merawat tanaman tersebut. Saat panen, yang waktunya harus mereka nantikan dalam setahun masa penantian, mereka masih juga bertemu dengan tengkulak-tengkulak yang bahkan tak jarang harus menjual biji-biji kopi itu dengan sistem ijon.

Di perkebunan-perkebunan kopi di ketinggian, yang tanahnya sangat baik bagi tumbuhnya kopi arabika, kopi yang nilainya tinggi di pasar dunia. Perusahaan-perusahaan masih mengelola perkebunan tersebut dengan gaya feodal yang tak berbeda dengan perilaku Pemerintah Kolonial Belanda di masanya.. Mereka memperkerjakan rakyat di daerah itu hanya sebagai buruh dengan upah murah.  Lalu…, dimanakah gerakan perubahan tersebut berada..? Dimanakah dan untuk siapakah gerakan sosial itu terjadi…? Gerakan sosial itu adakah kita temukan di negeri yang tanah dan airnya sangat disukai oleh kopi-kopi terbaik yg dihasilkan negeri ini.

Kopi, dan ngopi memang dua yang berbeda. Kopi, tanaman yang tumbuh di dataran-dataran tinggi dengan biji-bijinya yang matang merah harus melewati perjalanannya yang begitu panjang, melewati kanal-kanal berliku, hingga berakhir di cangkir-cangkir mereka yang meneguknya.  Ada banyak kisah yang terjadi disepanjang perjalanannya, kisah air mata buruh kebun kopi dengan upah murahnya, kisah keringat petani kopi yang berbuah harga jual murah, kisah tanah-tanah yang masih harus diperebutkan. Kisah mesin-mesin olahan kopi produksi lokal yang selalu dipandang sebelah mata oleh para pengolah kopi yang dibius merk mesin-mesin kopi terkenal dari Jerman, dan negara-negara lainnya.

Lalu.., ngopi.., yang ditandai dengan suguhan atau sajian minuman kopi –dan bahkan kadang, mereka yang ngopi tak selalu minum kopi—yang ditemui di perjamuan-perjamuan, diskusi, atau kadang sekedar kongkow di kedai-kedai, kafe-kafe, adakah juga melahirkan gagasan-gagasan gerakan sosial…? Mungkin ya, meski tak sehebat lahirnya gagasan revolusi perancis. Faktanya, di kedai-kedai kopi, di kampung-kampung, ngopi masih menjadi teman dalam perbincangan kemasyarakatan. Ngopi, di kalangan aktivis gerakan sosial masih menjadi ruang bagi lahirnya gagasan-gagasan progresif dan kritis. Meskipun, faktanya juga, “ngopi”, kini, telah semakin identik dengan gaya hidup, dengan tradisi kongkow, membentuk komunitas sosialita, dimana mereka tak selalu sebagai peminum dan penikmat “kopi”, tak selalu menjadi komunitas gerakan sosial, apalagi gerakan sosial yang menyoal kisah-kisah sedih petani di hulu perjalanan kopi.  Mungkin, perjalanan kopi yang begitu panjang, telah menjauhkannya dari bau peluh petani, yang tercium hanya wangi seduhan  kopi berbalur parfum, aroma modernitas alat peracik kopi, juga ornamen cantik penghias ruang kafe, yang harum dan bersih dari tanah-tanah garapan.
Selamat Minum Kopi.

(ditulis dan dibacakan untuk acara sarasehan budaya “Kopi, Sastra, dan Gerakan Sosial, bersama komunitas Kalimetro-Malang, 22 Februari 2015, ditulis dan diperbarui kembali dengan menyesuikan proses sarasehan dan penambahan referensi dari buku “The Road Of Java Coffee”, yang ditulis oleh Prawoto Indarto).