(Sebuah catatan refleksi, dari perjalanan ziarah ke kebun-kebun kopi)
Khaldi,
seorang penggembala kambing di dataran tinggi Ethiopia pada abad 8
yang selalu muncul dalam cerita penemuan pertama tanaman kopi, tak
pernah membayangkan bahwa penemuan itu akan membawa pengaruh besar tidak
hanya bagi perekenomian dunia, bahkan terhadap lahirnya gagasan
pergerakan sosial di seluruh dunia.
Ethiopia, telah
mengenal tanaman dan minuman kopi jauh sebelum Eropa menjadikan kopi
sebagai komoditi yang menyumbang begitu besar terhadap kemajuan
peradaban di Eropa, dan penyokong logistik ekspansi kekuasaan
negara-negara Eropa di wilayah jajahannya. Bahkan ketika abad 15,
seorang haji asal Mysore-India, berhasil menyelundupkan biji kopi dan
mulai membudidayakan tanaman tersebut di kampungnya, di India,
negara-negara di Eropa masih begitu asing dengan minuman tersebut.
Seorang penyair asal Inggris, Sir George Sandys pada tahun 1600, dalam
catatannya bahkan pernah menulis tentang orang-orang Turki yang gemar
ngobrol hingga larut malam sambil menyeruput minuman yang warnanya
sehitam jelaga, dan rasanya yang tidak biasa. Setelah itulah kemudian
Eropa mulai mengenal kopi, yaitu sekitar tahun 1615, melalui
pedagang-pedagang Venezia-Italia membawa pulang kopi dari negara jajirah
arab, yang dulu dikenal dengan daerah Levant . Setelah
penemuan itulah, baru kemudian Belanda, memulai penjelajahannya mengenai
kopi, dengan membawanya dari Yaman menuju Ceylon (Sri Lanka), hingga
nusantara. Dan mulai melakukan monopoli perdagangan kopi di Eropa
mengalahkan kopi-kopi dari daerah asalnya, yaitu Yaman dan negara-negara
jajirah arab lainnya. Dengan melakukan penanaman massal tanaman kopi
didataran tinggi sepanjang Jawa, dengan system tanam paksa, koffie stelsel.
Kopi dan Gerakan Sosial
Kopi,
merupakan alasan yang kuat bagi berkumpulnya orang-orang di ruang-ruang
publik, selain alkohol. Di negara-negara Eropa, popularitas kopi
bahkan menyaingi minuman-minuman lokal. Pemerintah Jerman bahkan pernah
melarang penjualan kopi di kedai-kedai minuman, karena perdagangan kopi
di negara tersebut menjatuhkan penjualan minuman lokal mereka, yaitu
bir. Dan kopi Jawa, tentu saja, memiliki andil besar dalam memasok
kebutuhan kopi Eropa pada masa itu, melalui kekuasaan Pemerintah Hindia
Belanda. Bahkan pada tahun 1830-an melalui system cultuurestelsel yang
diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Jawa mampu memproduksi
hingga mencapai hampir 60 ribu ton kopi arabika pertahun. Kopi yang
menaikkan pundi-pundi Pemerintah Hindia Belanda secara drastis itu
tentu saja diperoleh dari keringat petani-petani di tanah Jawa. Untuk
menggenjot terus produksi kopi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
memperluas wilayah perkebunan kopinya hingga ke pulau-pulau lain di luar
Jawa, termasuk Sumatera dan Sulawesi yang kini juga dikenal sebagai
daerah-daerah penghasil kopi dengan karakter body kopinya yang khas.
Di Eropa minuman kopi mengisi peran penting dalam melahirkan gagasan-gagasan pergerakan, termasuk lahirnya revoluasi Perancis. Voltaire, filsuf yang berperan penting di balik revolusi perancis bahkan adalah seorang peminum kopi berat –konon Voltaire
minum 50 cangkir kopi dalam sehari-- . Dalam catatannya, seorang ahli
sejarah di Perancis; Jules Michelet, bahkan menyebutkan bahwa kopilah
yang mebubah sejarah Perancis. “Kopi, minuman tak memabukkan. Stimulan
mental yang kuat, meningkatkan kejernihan otak,” begitu dia kira-kira
menyebut kehebatan minuman tersebut. Procope Café adalah kedai kopi yang digemari para tokoh pencerah Perancis, seperti Voltaire, Rousseau, Denis Diderot, dan juga Napoleon Bonaparte.
Di
Turki, tempat kopi menemukan peradabannnya, dimana proses pengolahan
kopi mengalami pematangan dan penyempurnaan melalui penciptaan alat-alat
penghalus dan teknik-teknis roasting yang semakin baik, tak pelak juga pernah menimbulkan kerisauan bagi penguasa. Sultan Murrad IV, sang pewaris Dinasti Ottoman, menganggap
kedai kopi telah berubah fungsi menjadi ajang perdebatan politik yang
membahayakan bagi penguasa. Lalu melakukan tindakan represif terhadap
pemilik kedai kopi, termasuk para peminum kopi.
Lalu, Bagaimana di Indonesia..?
Lama
sejak Belanda meninggalkan jejak kakinya di Indonesia, kopi masih
menjadi komoditi andalan di negeri ini. Meskipun nilainya sempat jatuh
dan terpuruk di masa Pemerintahan Orde Baru. Tapi dalam sepuluh tahun
terakhir, kopi kembali menjadi primadona, tidak hanya menempatkan
Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan dalam tiga besar penyuplai
kebutuhan kopi dunia, selain Vietnam dan Brasil. Kopi juga telah
mengubah wajah budaya dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Kopi adalah
gaya hidup. Kopi telah berhasil mengubah style anak-anak muda.
Jika sebelumnya, anak-anak muda gandrung minum minuman beralkohol dan
bersoda, maka saat ini kopilah yang menjadi minuman yang digandrungin
anak-anak muda. Kopi bukan lagi minuman kakek-kakek atau orang-orang
tua yang gemar berpikir berat. Kini kopi dinikmati orang-orang muda di
café-café sambil melakukan obrolan-obrolan santai. Bahkan tak jarang
kita menyaksikan sepasang kekasih duduk di café sambil minum kopi.
Pertanyaan
mendasarnya adalah, kenapa pada saat rakyat Indonesia tidak lagi
menjadi sapi perah Pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi tuntutan
monopolinya atas perdagangan kopi, dan saat kopi sudah menjadi minuman
yang paling dibutuhkan di kedai-kedai kopi di negeri sendiri,
kisah-kisah pergerakan di kedai-kedai kopi di Eropa itu tidak terjadi di
Indonesia. Kopi memang telah menimbulkan ketergantungan bagi para
peminumnya, mereka peminum kopi di negeri ini nyaris sulit sekali
beraktivitas jika tak meneguk minuman itu dalam sehari. Di Indonesia,
kopi adalah revolusi itu sendiri. Dia mengubah banyak wajah. Kota-kota
memoles wajahnya dengan café-café dan baristanya yang bangga menyajikan
kopi hasil racikannya. Para poitisi memilih sudut-sudut tertentu di
kedai-kedai kopi untuk membicarakan muslihatnya. Begitupun para pemodal,
menggelontorkan uang bermilyar-milyar dalam perjanjian bisnis sambil
meyeruput kopi di café-café yang menjual kopi dengan harga termahal.
Nun
jauh di dataran-dataran tinggi di seluruh nusantara pengahasil kopi,
petani-petani masih menggunakan baju belelnya dalam mengolah tanah dan
merawat tanaman tersebut. Saat panen, yang waktunya harus mereka
nantikan dalam setahun masa penantian, mereka masih juga bertemu dengan
tengkulak-tengkulak yang bahkan tak jarang harus menjual biji-biji kopi
itu dengan sistem ijon.
Di perkebunan-perkebunan kopi di
ketinggian, yang tanahnya sangat baik bagi tumbuhnya kopi arabika, kopi
yang nilainya tinggi di pasar dunia. Perusahaan-perusahaan masih
mengelola perkebunan tersebut dengan gaya feodal yang tak berbeda dengan
perilaku Pemerintah Kolonial Belanda di masanya.. Mereka memperkerjakan
rakyat di daerah itu hanya sebagai buruh dengan upah murah. Lalu…,
dimanakah gerakan perubahan tersebut berada..? Dimanakah dan untuk
siapakah gerakan sosial itu terjadi…? Gerakan sosial itu adakah kita
temukan di negeri yang tanah dan airnya sangat disukai oleh kopi-kopi
terbaik yg dihasilkan negeri ini.
Kopi, dan ngopi memang
dua yang berbeda. Kopi, tanaman yang tumbuh di dataran-dataran tinggi
dengan biji-bijinya yang matang merah harus melewati perjalanannya yang
begitu panjang, melewati kanal-kanal berliku, hingga berakhir di
cangkir-cangkir mereka yang meneguknya. Ada banyak kisah yang terjadi
disepanjang perjalanannya, kisah air mata buruh kebun kopi dengan upah
murahnya, kisah keringat petani kopi yang berbuah harga jual murah,
kisah tanah-tanah yang masih harus diperebutkan. Kisah mesin-mesin
olahan kopi produksi lokal yang selalu dipandang sebelah mata oleh para
pengolah kopi yang dibius merk mesin-mesin kopi terkenal dari Jerman,
dan negara-negara lainnya.
Lalu.., ngopi.., yang ditandai
dengan suguhan atau sajian minuman kopi –dan bahkan kadang, mereka yang
ngopi tak selalu minum kopi—yang ditemui di perjamuan-perjamuan,
diskusi, atau kadang sekedar kongkow di kedai-kedai, kafe-kafe, adakah
juga melahirkan gagasan-gagasan gerakan sosial…? Mungkin ya, meski tak
sehebat lahirnya gagasan revolusi perancis. Faktanya, di kedai-kedai
kopi, di kampung-kampung, ngopi masih menjadi teman dalam perbincangan
kemasyarakatan. Ngopi, di kalangan aktivis gerakan sosial masih menjadi
ruang bagi lahirnya gagasan-gagasan progresif dan kritis. Meskipun,
faktanya juga, “ngopi”, kini, telah semakin identik dengan gaya hidup,
dengan tradisi kongkow, membentuk komunitas sosialita, dimana mereka tak
selalu sebagai peminum dan penikmat “kopi”, tak selalu menjadi
komunitas gerakan sosial, apalagi gerakan sosial yang menyoal
kisah-kisah sedih petani di hulu perjalanan kopi. Mungkin, perjalanan
kopi yang begitu panjang, telah menjauhkannya dari bau peluh petani,
yang tercium hanya wangi seduhan kopi berbalur parfum, aroma modernitas
alat peracik kopi, juga ornamen cantik penghias ruang kafe, yang harum
dan bersih dari tanah-tanah garapan.
Selamat Minum Kopi.
(ditulis
dan dibacakan untuk acara sarasehan budaya “Kopi, Sastra, dan Gerakan
Sosial, bersama komunitas Kalimetro-Malang, 22 Februari 2015, ditulis
dan diperbarui kembali dengan menyesuikan proses sarasehan dan
penambahan referensi dari buku “The Road Of Java Coffee”, yang ditulis
oleh Prawoto Indarto).